Saturday, January 2, 2010

Adakah wanita lalai layak dinikahi?

“Kami bercanda ria dengan gadis-gadis dan merajut tali cinta dengan mereka, akan tetapi ketika kami hendak menikah, sama sekali kami tidak berfikir tentang gadis yang sudah menerjang pagar etika dan berkenalan dengan seorang pemuda yang asing darinya tanpa mengenal rasa malu atau risih… Mungkin Anda merasa keheranan dengan kata-kata ini, akan tetapi kami memandang hubungan kami dengan sebagian gadis sebagai hiburan semata…dan kalau kami hendak menikah, maka kami memandang dengan pandangan yang serius dan penuh kehati-hatian…“

Ini adalah kata-kata kebanyakan pemuda nakal, mereka berkenalan dengan para gadis dan mengikat tali hubungan yang diharamkan dengan mereka, akan tetapi mereka tidak pernah berfikir untuk menjadikan mereka sebagai istri…Bahkan mereka menganggap gadis-gadis tersebut tidak pantas untuk itu…

H.M.L berkata:”Aku tidak pernah memaksa seorangpun dari mereka untuk berbicara dan menjalin hubungan denganku. Dan sungguh aku tidak akan membiarkan saudari-saudariku melakukan hal ini, karena mereka bukanlah termasuk jenis ini (wanita murahan) yang aku kenal dengan baik…

Karena mereka yang suka bercanda dengan para pemuda melalui telephon hanyalah gadis murahan yang ada di jalanan…Seandainya mereka memiliki keluarga laki-laki, niscaya mereka akan menjadi bendungan yang kokoh dari terjerumusnya mereka ke dalam jurang yang bahaya ini”, selesai.

S.D –dia adalah pemuda yang baru berusia 21 tahun- berkata:”Aku sampai beberapa waktu lalu masih suka bercanda dengan sebagian gadis-gadis lewat telephon, akan tetapi sekarang aku tidak mau melakukannya lagi. Hal ini dikarenakan seorang pemuda pada masa-masa dini dari umurnya seperti ini, jiwanya sangat labil, kepribadiannya lemah. Oleh karena itu sangat mudah untuk terpengaruh atau meniru temannya, dan hal inilah yang aku alami.

Ketika aku mendapatkan seluruh temanku selalu bercanda dengan para gadis melalui telephon dan mereka memiliki pacar, akupun tergelincir di saat berusaha untuk meniru mereka!! Terus terang, gadis-gadis yang suka bercanda dengan laki-laki lewat telephon akhlaknya sangat rendah, walaupun aku menganggap hal ini adalah hal yang biasa, akan tetapi aku tidak rela bila saudari-saudariku melakukannya. Karena gaya hidup ini tidaklah ditempuh kecuali oleh wanita-wanita jalang”, selesai.

Kesimpulan ini bukanlah suatu hal yang aneh, karena seorang wanita yang berani untuk berkenalan dengan lelaki dan bercanda dengannya lewat telephon serta berjalan-jalan dengannya sekehendak hati adalah “wanita murahan”…bukan hanya di mata orang yang beragama saja, bahkan di mata para pemuda nakal sendiri…Kalau Anda bertanya kepada kebanyakan pemuda tersebut, Anda akan mendapatkan jawaban yang sama:”Siapa yang dapat menjamin kalau dia tidak akan berkenalan dengan lelaki lain setelah aku menikahinya?”.

Kita senang mendengar semangat para pemuda seperti ini, akan tetapi sangat disayangkan mereka hanya berfikir untuk diri sendiri dan tidak mau memikirkan saudara mereka sesama muslim. Padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabd:

إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم.

“Sesungguhnya apabila engkau mencari-cari aib orang lain, maka engkau telah atau hampir merusak mereka” (HR. Abu Dawud. Lihat Shahih Jaami’ush Shohgir no. 2295).

Kita berharap dari mereka agar mau menakar dengan satu takaran bukan dengan dua takaran.

Kemudian masih ada akibat yang pasti didapatkan yang terlalaikan oleh gadis penyeleweng ini, akan tetapi tidak lama lagi dia akan melihatnya sebagai kenyataan…Kenyataan ini diutarakan sendiri oleh para pemuda, yaitu mereka tidak pernah berfikiran untuk menjadikan gadis-gadis jenis ini sebagai istri, bahkan hanya sekedar terminal untuk hiburan.

Kalaupun sempat ada seorang pemuda disaat melamun berfikir untuk menikah dengan gadis yang terjalin dengannya”tali…” niscaya pihak-pihak lain akan campur tangan dan melarangnya untuk menikah dengan gadis ini. Mereka adalah keluarganya, apabila mereka adalah keluarga yang memiliki pamor yang baik…

Seorang gadis bernama F.B berkata:”…aku tidak merasa kalau aku telah ketagihan untuk bercanda lewat telephon, padahal aku betul-betul yakin kalau hubungan antara seorang gadis dan lelaki dengan cara seperti ini adalah sebuah kesalahan. Hubunganku dengan salah seorang pemuda berlanjut sehingga bersemilah benih cinta, akan tetapi keluarganya melarangnya untuk melamarku, kemudian berakhirlah kisahku dengannya…”, selesai.

Apabila gadis ini telah mengetahui hasil yang pasti dia dapatkan, lalu kenapa dia tidak berhenti semenjak awal dan menutup pintunya dari terpaan badai fitnah yang menyambar-nyambar?!

Ini adalah pengakuan dari para pemuda yang telah mencoba untuk meniti jalan yang penuh dengan penghianatan, janji palsu, serta kata-kata kotor. Dan pengakuan dari para gadis yang pernah mencoba jalan yang sama, mereka semua mengakui akan bahayanya jalan yang mereka lalui, serta hasil negative yang sudah menanti mereka.

Ini sangat jelas sebagai pertanda terbaliknya pandangan para pemuda terhadap para gadis serta sikap mereka yang menganggap gadis-gadis tersebut bersifat sangat jelek dan rendah. Sedang mereka tidak rela kalau saudari-saudari mereka seperti gadis-gadis tersebut. Ini adalah bukti bahwa mereka menganggap gadis-gadis tersebut sebagai perempuan murahan, tidak punya kehormatan dan rasa malu, serta rusak moral mereka…

Dan ini juga adalah gambaran seorang gadis yang terbalik, gadis yang hanyut dalam pacaran, padahal dia menyadari kalau dia hanya sebagai alat hiburan (pengisi kekosongan) dalam kehidupan pemuda tersebut. Dia tidak akan naik martabatnya menjadi seorang istri…Dimana letak sikap jujur terhadap diri sendir dan kemandirian sikap?!

اتــق الله فـتـقوى

جاوزت قلت امرئ إلا وصل

ليــس من يقـطع طــرقا

انـما من يتـق الله البــطل

Bertaqwalah kepada Allah karena taqwa kepada Allah tidaklah

Masuk di hati seseorang kecuali dia akan berhasil

Bukanlah pahlawan orang yang berhasil memotong jalan

Akan tetapi orang yang bertaqwa kepada Allah dialah pahlawan




Sumber: Dlohiyah Mu’aakasah

http://abdurrahman.wordpress.com/2007/10/15/wanita-wanita-yang-tidak-pantas-untuk-dinikahi/#more-419

Wanita-wanita yang dicoretkan Dalam Kitabullah(al-Quran)

Al-Qur`an telah bertutur tentang dua wanita shalihah yang keimanannya telah menancap kokoh di relung kalbunya. Dialah Asiyah bintu Muzahim, istri Fir’aun, dan Maryam bintu ‘Imran. Dua wanita yang kisahnya terukir indah di dalam Al-Qur`an itu merupakan sosok yang perlu diteladani wanita muslimah saat ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:


Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika istri Fir’aun berkata: “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga. Dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.”

(Perumpamaan yang lain bagi orang-orang beriman adalah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. (At-Tahrim: 11-12)

Asiyah bintu Muzahim, istri Fir’aun, dan Maryam bintu ‘Imran adalah dua wanita kisahnya terukir indah dalam Al-Qur`an. Ayat-ayat Rabb Yang Maha Tinggi menuturkan keshalihan keduanya dan mempersaksikan keimanan yang berakar kokoh dalam relung kalbu keduanya. Sehingga pantas sekali kita katakan bahwa keduanya adalah wanita yang manis dalam sebutan dan indah dalam ingatan. Asiyah dan Maryam adalah dua dari sekian qudwah (teladan) bagi wanita-wanita yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan uswah hasanah bagi para istri kaum mukminin.

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam kitab tafsirnya: “Allah yang Maha Tinggi berfirman bahwasanya Dia membuat permisalan bagi orang-orang yang membenarkan Allah dan mentauhidkan-Nya, dengan istri Fir’aun yang beriman kepada Allah, mentauhidkan-Nya, dan membenarkan Rasulullah Musa 'alaihissalam. Sementara wanita ini di bawah penguasaan suami yang kafir, satu dari sekian musuh Allah.

Namun kekafiran suaminya itu tidak memudharatkannya, karena ia tetap beriman kepada Allah. Sementara, termasuk ketetapan Allah kepada makhluk-Nya adalah seseorang tidaklah dibebani dosa orang lain (tapi masing-masing membawa dosanya sendiri, -pent.1), dan setiap jiwa mendapatkan apa yang ia usahakan.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/ Tafsir Ath-Thabari, 12/162)

Pada diri Asiyah dan Maryam, ada permisalan yang indah bagi para istri yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari akhir. Keduanya dijadikan contoh untuk mendorong kaum mukminin dan mukminat agar berpegang teguh dengan ketaatan dan kokoh di atas agama. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an/ Tafsir Al-Qurthubi, 9/132)

Seorang istri yang shalihah, ia akan bersabar dengan kekurangan yang ada pada suaminya dan sabar dengan kesulitan hidup bersama suaminya. Tidaklah ia mudah berkeluh kesah di hadapan suaminya atau mengeluhkan suaminya kepada orang lain, apalagi mengghibah suami, menceritakan aib/ cacat dan kekurangan sang suami.

Bagaimana pun kekurangan suaminya dan kesempitan hidup bersamanya, ia tetap bersyukur di sela-sela kekurangan dan kesempitan tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memilihkan lelaki muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir sebagai pendamping hidupnya. Dan tidak memberinya suami seperti suami Asiyah bintu Muzahim yang sangat kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berbuat aniaya terhadap istri karena ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Tersebutlah, ketika sang durjana yang bergelar Fir’aun itu mengetahui keimanan Asiyah istrinya, ia keluar menemui kaumnya lalu bertanya: “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah bintu Muzahim?” Merekapun memujinya.

Fir’aun berkata: “Ia menyembah Tuhan selain aku.” Mereka berkata: “Kalau begitu, bunuhlah dia.”

Maka Fir’aun membuat pasak-pasak untuk istrinya, kemudian mengikat kedua tangan dan kedua kaki istrinya, kemudian menyiksanya di bawah terik matahari. Jika Fir’aun berlalu darinya, para malaikat menaungi Asiyah dengan sayap-sayap mereka. Asiyah berdoa: “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga.”

Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengabulkan doa Asiyah dengan membangunkan sebuah rumah di surga untuknya. Dan rumah itu diperlihatkan kepada Asiyah, maka ia pun tertawa. Bertepatan dengan itu Fir’aun datang.

Melihat Asiyah tertawa, Fir’aun berkata keheranan: “Tidakkah kalian heran dengan kegilaan Asiyah? Kita siksa dia, malah tertawa.”

Menghadapi beratnya siksaan Fir’aun, hati Asiyah tidak lari untuk berharap kepada makhluk. Ia hanya berharap belas kasih dan pertolongan dari Penguasa makhluk, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia berdoa agar diselamatkan dari siksaan yang ditimpakan Fir’aun dan kaumnya serta tidak lupa memohon agar diselamatkan dari melakukan kekufuran sebagaimana yang diperbuat Fir’aun dan kaumnya.2

Akhir dari semua derita dunia itu, berujung dengan dicabutnya ruh Asiyah untuk menemui janji Allah Subhanahu wa Ta'ala.3

Istri yang shalihah akan menjaga dirinya dari perbuatan keji dan segala hal yang mengarah ke sana. Sehingga ia tidak keluar rumah kecuali karena darurat, dengan izin suaminya. Kalaupun keluar rumah, ia memperhatikan adab-adab syar‘i. Dia menjaga diri dari bercampur baur apalagi khalwat (bersepi-sepi/ berdua-duaan) dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

Ia tidak berbicara dengan lelaki ajnabi (non mahram) kecuali karena terpaksa dengan tidak melembut-lembutkan suara. Dan ia tidak melepas pandangannya dengan melihat apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia ingat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji Maryam yang sangat menjaga kesucian diri, sehingga ketika dikabarkan oleh Jibril  bahwa dia akan mengandung seorang anak yang kelak menjadi rasul pilihan Allah, Maryam berkata dengan heran:


“Bagaimana aku bisa memiliki seorang anak laki-laki sedangkan aku tidak pernah disentuh oleh seorang manusia (laki-laki) pun dan aku bukan pula seorang wanita pezina.” (Maryam: 20)

Wanita shalihah akan mengingat bagaimana keimanan Maryam kepada Allah dan bagaimana ketekunannya dalam beribadah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala memilihnya dan mengutamakannya di atas seluruh wanita.

Ingatlah ketika malaikat Jibril berkata: “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikan dan melebihkanmu di atas segenap wanita di alam ini (yang hidup di masa itu).” (Ali ‘Imran: 42)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:


“Cukup bagimu dari segenap wanita di alam ini (empat wanita, yaitu:) Maryam putri Imran, Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, dan Asiyah istri Fir’aun.”4

Yakni cukup bagimu untuk sampai kepada martabat orang-orang yang sempurna dengan mencontoh keempat wanita ini, menyebut kebaikan-kebaikan mereka, kezuhudan mereka terhadap kehidupan dunia, dan tertujunya hati mereka kepada kehidupan akhirat. Kata Ath-Thibi, cukup bagimu dengan mengetahui/ mengenal keutamaan mereka dari mengenal seluruh wanita. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Manaqib)

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda memuji Asiyah dan Maryam5:


“Orang yang sempurna dari kalangan laki-laki itu banyak, namun tidak ada yang sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam putri Imran. Sungguh keutamaan ‘Aisyah bila dibanding para wanita selainnya seperti kelebihan tsarid di atas seluruh makanan.”7

Di antara keutamaan Asiyah adalah ia memilih dibunuh daripada mendapatkan (kenikmatan berupa) kerajaan (karena suaminya seorang raja). Dan ia memilih azab/ siksaan di dunia daripada mendapatkan kenikmatan yang tadinya ia reguk di istana sang suami yang dzalim.

Ternyata firasatnya tentang Musa benar adanya ketika ia berkata kepada Fir’aun saat mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Musa 'alaihissalam sebagai anak angkatnya:

(agar ia menjadi penyejuk mata bagiku).8 (Fathul Bari 6/544)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Ayat-ayat ini (surat At-Tahrim ayat 10-12) mengandung tiga permisalan, satu untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin.”

Setelah beliau menyebutkan permisalan bagi orang kafir, selanjutnya beliau berkata: “Adapun dua permisalan bagi orang-orang beriman, salah satunya adalah istri Fir’aun.

Sisi permisalannya: Hubungan seorang mukmin dengan seorang kafir tidaklah bermudharat bagi si mukmin sedikitpun, apabila si mukmin memisahkan diri dari orang kafir tersebut dalam kekafiran dan amalannya.

Karena maksiat yang diperbuat orang lain sama sekali tidak akan berbahaya bagi seorang mukmin yang taat di akhiratnya kelak, walaupun mungkin ketika di dunia ia mendapatkan kemudharatan dengan sebab hukuman yang dihalalkan bagi penduduk bumi bila mereka menyia-nyiakan perintah Allah, lalu hukuman itu datang secara umum (sehingga orang yang baik pun terkena).

Istri Fir’aun tidaklah mendapatkan mudharat karena hubungannya dengan Fir’aun, padahal Firaun itu adalah manusia paling kafir. Sebagaimana istri Nabi Nuh dan Nabi Luth 'alaihimassalam tidak mendapatkan kemanfaatan karena hubungan keduanya dengan dua utusan Rabb semesta alam.

Permisalan yang kedua bagi kaum mukminin adalah Maryam, seorang wanita yang tidak memiliki suami, baik dari kalangan orang mukmin ataupun dari orang kafir. Dengan demikian, dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga macam wanita:

Pertama: wanita kafir yang bersuamikan lelaki yang shalih.9
Kedua: wanita shalihah yang bersuamikan lelaki yang kafir.
Ketiga: gadis perawan yang tidak punya suami dan tidak pernah berhubungan dengan seorang lelakipun.

Jenis yang pertama, ia tidak mendapatkan manfaat karena hubungannya dengan suami tersebut.

Jenis kedua, ia tidak mendapatkan mudharat karena hubungannya dengan suami yang kafir.

Jenis ketiga, ketiadaan suami tidak bermudharat sedikitpun baginya.

Kemudian, dalam permisalan-permisalan ini ada rahasia-rahasia indah yang sesuai dengan konteks surat ini. Karena surat ini diawali dengan menyebutkan istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan kepada mereka dari saling membantu menyusahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam10.

Bila mereka (istri-istri Nabi) itu tidak mau taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak menginginkan hari akhirat, niscaya tidak bermanfaat bagi mereka hubungan mereka dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana istri Nuh dan istri Luth tidak mendapatkan manfaat dari hubungan keduanya dengan suami mereka. Karena itulah di dalam surah ini dibuat permisalan dengan hubungan nikah11 bukan hubungan kekerabatan.

Yahya bin Salam berkata: “Allah membuat permisalan yang pertama untuk memperingatkan ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu 'anhuma. Kemudian memberikan permisalan kedua bagi keduanya untuk menganjurkan keduanya agar berpegang teguh dengan ketaatan.

Adapula pelajaran lain yang bisa diambil dari permisalan yang dibuat untuk kaum mukminin dengan Maryam. Yaitu, Maryam tidak mendapatkan mudharat sedikit pun di sisi Allah dengan tuduhan keji yang dilemparkan Yahudi dan musuh-musuh Allah terhadapnya. Begitu pula sebutan jelek untuk putranya, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mensucikan keduanya dari tuduhan tersebut.

Perlakuan jahat dan tuduhan keji itu ia dapatkan padahal ia adalah seorang ash-shiddiqah al-kubra (wanita yang sangat benar keimanannya, sempurna ilmu dan amalnya12), wanita pilihan di atas segenap wanita di alam ini. Lelaki yang shalih (yakni Isa putra Maryam 'alaihissalam) pun tidak mendapatkan mudharat atas tuduhan orang-orang fajir dan fasik terhadapnya.


Sebagaimana dalam permisalan dengan istri Nuh dan Luth ada peringatan bagi ‘Aisyah dan juga Hafshah dengan apa yang diperbuat keduanya terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (At-Tafsirul Qayyim, hal. 396-498)

Demikian, semoga menjadi teladan dan pelajaran berharga bagi para istri shalihah…
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Tanzil-Nya:

“Dan tidaklah seseorang melakukan suatu dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Al-An’am: 164)

2 Faedah: Al-’Allamah Al-Alusi rahimahullahu dalam tafsirnya mengatakan: “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa beristi`adzah (minta perlindungan) kepada Allah dan mohon keselamatan dari-Nya ketika terjadi ujian/ cobaan dan goncangan, merupakan kebiasaan yang dilakukan orang-orang shalih dan sunnah para nabi. Dan ini banyak disebutkan dalam Al-Qur`an.” (Ruhul Ma’ani fi Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim was Sab’il Matsani, 13/791)

3 Jami’ul Bayan fi Ta‘wilil Qur`an 12/162, Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an/ Tafsir Al-Qurthubi
9/132, Ruhul Ma’ani 13/790, An-Nukat wal ‘Uyun Tafsir Al-Mawardi 6/47.

4 HR. At-Tirmidzi no. 3878, kitab Manaqib ‘an Rasulillah, bab Fadhlu Khadijah radhiallahu 'anha, dari hadits Anas bin Malik radhiallahu 'anhu. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 6181.

5 Ada sebagian atsar yang menyebutkan bahwa Maryam dan Asiyah diperistri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di surga, sebagaimana riwayat Ath-Thabrani dari Sa’ad bin Junadah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya Allah menikahkan aku di surga dengan Maryam bintu Imran, istri Fir’aun (Asiyah), dan dengan (Kultsum) saudara perempuannya Musa 'alaihissalam.”

Namun hadits ini lemah, Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 812) mengatakan hadits ini mungkar.

Adapun pendapat yang mengatakan Maryam dan Asiyah adalah nabi dari kalangan wanita sebagaimana Hajar dan Sarah, tidaklah benar karena syarat nubuwwah (kenabian) adalah dari kalangan laki-laki, menurut pendapat yang shahih. (Ruhul Ma’ani, 13/793)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Tidaklah Kami mengutus rasul sebelummu kecuali dari kalangan laki-laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka.” (An-Nahl: 43)

6 Tsarid adalah makanan istimewa berupa daging dicampur roti yang dilumatkan.

7 HR. Al-Bukhari no. 3411, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Qaulillahi Ta’ala: Wa Dharaballahu Matsalan lilladzina Amanu… . Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim no. 6222, kitab Fadha`il Ash-Shahabah.

8 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Maka Musa dipungut oleh keluarga Fir’aun yang kemudian ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah istri Fir’aun kepada suaminya: ‘Ia adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kalian membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak.’ Sedangkan mereka tiada menyadari.” (Al-Qashash: 8-9)

9 Yaitu istri Nabi Nuh 'alaihissalam dan istri Nabi Luth 'alaihissalam

10 Lihat surat At-Tahrim ayat 1 sampai 5.

11 Hubungan istri dengan suaminya; istri Nuh dengan suaminya, istri Luth dengan suaminya, dan Asiyah dengan suaminya Fir‘aun.

12 Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 875

13 Kisah Ifk ini (tuduhan zina terhadap ‘Aisyah) beserta pernyataan kesucian ‘Aisyah diabadikan dalam Al-Qur`an, surah An-Nur ayat 11-26.



Menumbuhkan Suasana Ibadah di dalam Rumah

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah


Bagi seorang muslim ataupun muslimah, menjalani kehidupan rumah tangga adalah bagian dari ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena disadari, hidup berumah tangga merupakan pelaksanaan dari sunnah1 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana beliau mengancam orang yang membenci sunnah ini sebagai orang yang tidak menyepakati jalan yang beliau lalui. Shahabat Nabi yang mulia Anas bin Malik radhiallahu 'anhu menuturkan:

Datang tiga orang shahabat ke rumah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam guna menanyakan tentang ibadah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika dikabarkan bagaimana ibadah beliau, seakan-akan mereka menganggapnya kecil. Mereka berkata: ‘Di mana posisi kita dibanding Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam? Sementara Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang’.

Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun aku, aku akan shalat malam semalam suntuk’.

Yang satu lagi berkata: “Aku akan puasa sepanjang masa dan tidak pernah berbuka’.

Yang lainnya mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita maka aku tidak akan menikah selama-lamanya”.

Datanglah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dikabarkan ucapan mereka itu kepada beliau. Maka beliau pun bersabda: “Apakah kalian yang mengatakan ini dan itu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada Allah.

Akan tetapi aku puasa dan aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur, dan aku menikahi para wanita. Siapa yang membenci sunnahku2 maka ia bukan termasuk orang yang berjalan di atas jalanku’.”3

Demikianlah, karena menikah adalah ibadah, hidup berumah tangga adalah ibadah sehingga dalam perjalanan rumah tangganya sehari-hari tak lepas dari nilai ibadah. Ia upayakan agar rumah tangganya selalu dipenuhi dengan amalan ketaatan, perbuatan baik dan takwa yang dilakukan seluruh penghuni rumah. Ia memerintahkan mereka, menganjurkan dan mendorong mereka untuk beramal shalih, karena demikianlah yang diperintahkan Rabbnya Subhanahu wa Ta'ala:

“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rizki kepadamu bahkan Kamilah yang memberimu rizki dan balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)

Al-’Allamah Asy-Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di4 rahimahullahu berkata menafsirkan ayat :

“Anjurkan keluargamu untuk menegakkan shalat, dorong mereka untuk mengerjakannya baik shalat yang wajib maupun yang sunnah. Perintah untuk melakukan sesuatu mencakup perintah untuk melakukan seluruh perkara yang dibutuhkan guna menyempurnakan sesuatu tersebut. Sehingga perintah shalat dalam ayat ini mencakup perintah untuk mengajari keluarga tentang amalan shalat, apa yang bisa memperbaiki shalat, apa yang bisa merusaknya, dan apa yang bisa menyempurnakannya.

Yakni: bersabarlah dalam menegakkan shalat, dengan hukum, rukun, adab-adab, dan khusyuknya. Karena hal itu berat bagi jiwa, akan tetapi sepantasnya jiwa itu dipaksa dan dibuat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan shalat.

Sabar bersama amalan shalat itu berlangsung terus menerus. Karena bila seorang hamba mengerjakan shalat sesuai dengan apa yang diperintahkan, niscaya amalan agama selain shalat akan lebih terjaga dan lebih lurus. Namun bila ia menyia-nyiakan shalat, niscaya amalan lainnya lebih tersia-siakan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 517)

Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji salah seorang nabinya yang mulia, Nabi Ismail 'alaihissalam, dengan firman-Nya:

“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya Ismail adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dia menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, dan dia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 54-55)

Al-Allamah Abu Ats-Tsana` Syihabuddin As-Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi5 rahimahullahu berkata:

“Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

(Dia menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat) dalam rangka menyibukkan diri dengan yang paling penting yaitu seorang lelaki (suami/ kepala rumah tangga) setelah ia menyempurnakan dirinya ia mulai menyempurnakan orang yang paling dekat dengannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


“Berilah peringatan kepada keluarga/ kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu`ara’: 214)


“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat.” (Thaha: 132)


“Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Atau ia bertujuan untuk menyempurnakan semua orang dengan terlebih dahulu menyempurnakan mereka (anggota keluarganya/ orang yang terdekat dengannya) karena mereka merupakan qudwah/ contoh teladan yang akan ditiru oleh manusia.” (Ruhul Ma‘ani, 9/143)

Sabda Nabi yang mulia pun turut menjadi pendorongnya untuk menganjurkan keluarganya kepada kebajikan. Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki (suami) yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya hingga istrinya pun shalat. Bila istrinya enggan, ia percikkan air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati seorang wanita (istri) yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suaminya hingga suaminya pun shalat. Bila suaminya enggan, ia percikkan air ke wajahnya.”6

Al-Allamah Al-‘Azhim Abadi rahimahullahu menerangkan hadits di atas dengan menyatakan bahwa Allah merahmati seorang lelaki yang shalat tahajjud pada sebagian malam dan ia membangunkan istrinya ataupun wanita yang merupakan mahramnya, baik dengan peringatan atau nasehat hingga si istri pun mengerjakan shalat walau hanya satu raka‘at.

Bila istrinya enggan untuk bangun karena ngantuk yang sangat atau perasaan malas yang lebih dominan, ia memercikkan air ke wajah istrinya. Yang dimahukan di sini adalah ia berlaku lembut kepada istrinya dan berusaha membangunkannya untuk mengerjakan amalan ketaatan kepada Rabbnya selama memungkinkan, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


“Tolong menolonglah kalian dalam perbuatan kebaikan dan ketakwaan.”

Hadits ini menunjukkan bolehnya bahkan disenangi memaksa seseorang untuk melakukan amal kebaikan. Sebagaimana hadits ini menerangkan tentang pergaulan yang baik antara suami dengan istrinya, kelembutan yang sempurna, kesesuaian, kecocokan dan kesepakatan di antara keduanya. (Lihat Aunul Ma‘bud, kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

“Apabila seorang lelaki (suami) membangunkan keluarganya di waktu malam hingga keduanya mengerjakan shalat atau shalat dua rakaat semuanya, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang berzikir.”7

Dalam riwayat yang dikeluarkan An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz:

“Apabila seorang lelaki (suami) bangun di waktu malam dan ia membangunkan istrinya lalu keduanya mengerjakan shalat dua rakaat, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat/ berdzikir kepada Allah.”

Yang dimaksud dengan keluarga dalam hadits di atas meliputi istri, anak-anak, kerabat, budak laki-laki maupun perempuan. (Aunul Ma‘bud, kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail). Dan hadits di atas tidaklah menunjukkan syarat harus suami yang membangunkan istrinya namun yang dimaukan adalah bila salah seorang dari keduanya terbangun di waktu malam maka ia membangunkan yang lain (Syarhu Sunan Ibni Majah, Al-Imam As-Sindi, 1/401)

Sungguh beruntung pasangan suami istri atau keluarga yang mengamalkan hadits di atas karena mereka akan tercatat sebagai orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah. Dan ganjarannya, mereka akan beroleh ampunan berikut pahala yang besar, sebagaimana Rabbul ‘Izzah berfirman:

“Kaum laki-laki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah, Allah menyiapkan bagi mereka ampunan-Nya dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

Kasih sayang dan kelembutan seorang suami ataupun seorang istri kepada keluarganya semestinya tidak menghalanginya untuk menasehati dan menganjurkan mereka agar senantiasa meningkatkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana hal ini diperbuat qudwah shalihah dan uswah hasanah kita, Rasul yang mulia Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada keluarganya. Di mana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membangunkan mereka untuk mengerjakan shalat malam. 'Aisyah radhiallahu 'anha mengabarkan:

“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat malam sedangkan aku tidur dalam keadaan melintang di atas tempat tidurnya. Bila beliau hendak shalat witir beliau pun membangunkan aku, maka aku pun mengerjakan witir.” 8

Ummu Salamah radhiallahu 'anha, istri beliau yang lain juga berkisah:

“Suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbangun. Beliau bersabda: “Maha suci Allah, fitnah apakah yang diturunkan pada malam ini dan perbendaharaan apakah yang diturunkan pada malam ini? Siapakah yang akan membangunkan para penghuni kamar-kamar itu9.

Berapa banyak orang yang berpakaian di dunia ini namun di akhirat ia telanjang10.”

Tidak sebatas istri-istrinya, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga membangunkan anak dan menantunya untuk mengerjakan shalat, sebagaimana dikisahkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu:

Suatu malam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendatanginya dan Fathimah putri Nabi, seraya berkata: “Tidakkah kalian berdua bangun untuk mengerjakan shalat?”11
Ibnu Baththal rahimahullahu berkata:

“Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat malam (shalat lail/ tahajjud) dan membangunkan keluarga serta kerabat yang tidur agar mengerjakan shalat malam tersebut.” (Fathul Bari, 3/15-16)

Ath-Thabari rahimahullahu menyatakan, seandainya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui adanya keutamaan yang besar dalam shalat lail niscaya beliau tidak akan mengusik putrinya dan anak pamannya pada waktu yang memang Allah jadikan sebagai saat ketenangan/ istirahat bagi makhluk-Nya.

Akan tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memilih keduanya agar memperoleh keutamaan itu daripada merasakan lelapnya dan enaknya tidur. Beliau lakukan hal tersebut dalam rangka menjalankan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: (Perintahkanlah keluargamu untuk shalat). (Fathul Bari, 3/16)

Demikianlah seharusnya hidup berumah tangga. Sepasang insan yang beriman kepada Allah dan hari akhir selalu dipenuhi dengan ibadah dan amal ketaatan kepada Allah, ajakan dan anjuran kepada anggota keluarga untuk mengerjakan kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Sehingga kita dapatkan keluarga muslim adalah keluarga yang senantiasa berlomba-lomba kepada kebaikan, terdepan dalam menjalankan titah Ar-Rahman:


“Berlomba-lombalah kalian kepada kebaikan.” (Al-Baqarah: 148)


“Bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Yang demikian itu adalah keutamaan Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah memiliki keutamaan yang besar.” (Al-Hadid: 21)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

1 Yang dimaksud dengan sunnah di sini adalah jalan/ cara bukan sunnah yang merupakan lawan dari wajib/ fardlu

2 Membenci sunnahku yakni meninggalkan jalanku dan mengambil selain jalanku (Fathul Bari, 9/133)

3 HR. Al-Bukhari no. 5063, kitab An-Nikah, bab At-Targhib fin Nikah dan Muslim no. 3389, kitab An-Nikah, bab Istihbabun Nikah ….

4 Lahir 12 Muharram 1307 H (1886 M) dan wafat 24 Jumadits Tsaniyah 1376 H (1955 M)

5 Wafat th. 1270 H

6 HR. Abu Dawud no. 1308 kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail, An-Nasa`i no. 1609 bab At-Targhib fi Qiyamil Lail dan Ibnu Majah no. 1336 bab Ma Ja`a Fiman Ayqazha Ahlahu Minal Laili, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 2/303

7 HR. Abu Dawud no. 1309 kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail, dan Ibnu Majah no. 1335 bab Ma Ja`a Fiman Aiqazha Ahlahu Minal Laili. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, Shahih Ibni Majah, dan Al-Misykat no. 1238.

8 HR. Al-Bukhari no. 997 kitab Al-Witr, bab Iqazhun Nabiyyi Ahlahu bil Witr dan Muslim no. 1141, bab I‘tirad baina Yadayil Mushalli

9 Yang beliau maksudkan adalah istri-istri beliau agar mereka bangun guna mengerjakan shalat (Fathul Bari 3/15)

10 HR. Al-Bukhari no. 1126, kitab At-Tahajjud, bab Tahridlin Nabiyyi  ‘ala Qiyamil Laili wan Nawafil min Ghairi Ijab…

11 HR. Al-Bukhari no. 1127 kitab At-Tahajjud, bab Tahridlin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam ‘ala Qiyamil Laili wan Nawafil min Ghairi Ijab… dan Muslim no. 1815, kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, bab Ma Ruwiya Fiman Namal Laila Ajma‘ Hatta Ashbaha.


Ada Saatnya…

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Manusia tidak selamanya bisa menghadirkan hati untuk selalu mengingat akhirat. Dalam hidup berumah tangga, ada saat-saat bagi kita untuk bercanda dengan anak-anak, bermesraan dengan suami, dan kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Bagaimana mengelola itu semua sehingga kehidupan kita senantiasa dalam naungan syariat?

Mungkin pernah terlintas di benak kita bahwa hari-hari bersama suami dan anak-anak kadang dipenuhi dengan kelalaian. Kita disibukkan untuk melayani mereka, mengurusi dan mempersiapkan kebutuhan mereka. Belum lagi menyempatkan diri untuk duduk bermesraan dan bercengkerama dengan suami, ditambah dengan bermain dan bersenda gurau dengan anak-anak.

Bersama mereka, kita selalu tertawa dan seakan lupa dengan kehidupan setelah kehidupan ini. Bersama mereka, seakan kita merasa kebersamaan ini akan kekal, tidak akan ada perpisahan. Yang ada hanyalah kebahagiaan demi kebahagiaan, kesenangan demi kesenangan. Bersama mereka seakan kita hidup hanya untuk dunia…

Bersama mereka kita terbuai, lupa dan lalai…

Namun saat duduk sendiri dalam keheningan malam, bersimpuh di hadapan Ar-Rahman, ketika orang-orang yang dikasihi sedang terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka, timbul ingatan dan kesadaran bahwa semua itu tidaklah kekal, bahwa ada saat perjumpaan dengan Ar-Rahman.

Di sana ada kenikmatan yang menanti dan ada azab yang tak terperikan. Hati menjadi lunak hingga mata pun mudah meneteskan butiran beningnya, terasa tak ingin berpisah dengan perasaan seperti ini. Ingin selalu rasa ini menyertai, ingin selalu tangis ini mengalir membasahi pipi…. Ingin dan ingin selalu ingat dengan akhirat, berpikir tentang akhirat di sepanjang waktu tanpa lupa sedetik pun dan tanpa lalai sekerdip mata pun.

Demikian pula ketika kita duduk di majelis dzikir, majelis ilmu yang haq, mendengar ceramah seorang ustadz tentang dunia dengan kefanaan dan kerendahannya, tentang akhirat dengan kemuliaannya, tentang targhib dan tarhib, tentang kenikmatan surga dan azab neraka… Kembali kita ingat bahwa tawa canda dan kegembiraan kita dalam rumah tangga, bersama suami dan anak-anak, adalah kefanaan.

Ada kehidupan setelah kehidupan dunia yang hanya sementara ini.
Pikiran seperti ini bisa saja suatu saat timbul di benak kita, sehingga terkadang membuat kita terusik, didera keresahan dan kebimbangan. Benarkah sikapku? Salahkah perbuatanku?

Saudariku…

Perasaan yang mungkin agak mirip dengan yang pernah engkau rasakan juga pernah dialami para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hanzhalah Al-Asadi radhiallahu 'anhu seorang shahabat yang terhitung dalam jajaran juru tulis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertutur:

Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu.
“Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya1.

“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.

“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.

“Bila kita berada di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, –pent.) menyibukkan kita2, hingga kita banyak lupa/
lalai,” kataku.

“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu3,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.

Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.

“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

“Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, –pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/ lalai4,” jawabku.

Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada di sisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat wal Isytighal bid Dunya)

Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas dengan lafadz:

“Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim no. 6901)

Hanzhalah radhiallahu 'anhu dengan kemuliaan dirinya sebagai salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidaklah membuatnya merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Bahkan ia merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di majelis Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam rasa khauf (takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya, dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala), berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat.

Namun ketika keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan.

Karena mereka tidaklah dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)

Ketika Hanzhalah radhiallahu 'anhu mengeluhkan perasaan dan keadaan dirinya yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bila keadaannya sama dengan keadaannya ketika bersama beliau, merasa hatinya itu lunak dan takut kepada Allah.

Terus keadaannya demikian di mana pun ia berada, niscaya para malaikat dengan terang-terangan akan menyalaminya di majelisnya, di atas tempat tidurnya dan di jalan-jalannya.
Namun yang namanya manusia tidaklah bisa demikian.

Ada waktunya ia bisa menghadirkan hatinya untuk mengingat akhirat, dan ada saatnya ia lemah dari ingatan akan akhirat. Ketika waktunya ingat akan akhirat, ia bisa menunaikan hak-hak Rabbnya dan mengatur perkara agamanya. Saat waktunya lemah, ia mengurusi bagian dari kehidupan dunianya ini.

Dan tidaklah seseorang dianggap munafik bila demikian keadaannya, karena masing-masingnya merupakan rahmah atas para hamba. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqa`iq wal Wara’, bab ke 59, Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/560)

Al-Imam As-Sindi rahimahullahu menjelaskan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan mereka bahwa biasanya hati itu tidak selamanya dapat dihadirkan untuk selalu ingat akhirat. Namun hal itu tidaklah memudharatkan bagi keberadaan iman di dalam hati, karena kelalaian/ saat hati itu lupa tidaklah melazimkan (mengharuskan) hilangnya keimanan.” (Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/559-560)

Demikianlah ajaran yang diberikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya, kepada para suami dan tentunya juga untuk para istri. Kesibukan dalam rumah tangga, bersenda gurau dengan suami dan bermain-main dengan anak-anak hingga kadang membuat lupa dan lalai, bukanlah suatu dosa yang dapat menghilangkan keimanan dalam hati.

Ada saatnya memang manusia itu lupa dan lalai karena memang demikian tabiat mereka yang Allah Subhanahu wa Ta'ala ciptakan. Yang dicela hanyalah bila ia terus tenggelam dalam kelalaian, ridha terlena dengan keadaan yang demikian, dan memang enggan untuk bangkit memperbaiki diri. Pikirannya hanya dunia dan dunia, tanpa mengingat akhirat.

Namun bila terkadang lupa kemudian ingat, ia bersemangat kembali. Demikianlah sifat manusia, manusia bukanlah malaikat yang mereka memang diciptakan semata untuk taat dan selalu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, selalu mengerjakan dengan sempurna apa yang diperintahkan, tanpa lalai sedikitpun.


“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak pula mereka merasa letih. Mereka selalu bertasbih kepada Allah siang dan malam tiada hentinya-hentinya.” (Al-Anbiya`: 19-20)

Para malaikat itu tidak pernah lelah, tidak pernah bosan dan jenuh karena kuatnya raghbah (harapan) mereka (kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala), sempurnanya mahabbah (cinta) mereka, dan kuatnya tubuh mereka.

Mereka tenggelam dalam ibadah dan bertasbih di seluruh waktu mereka. Sehingga tidak ada waktu mereka yang terbuang sia-sia dan tidak ada waktu mereka yang luput dari ketaatan. Tujuan mereka selalu lurus, sebagaimana lurusnya amalan mereka. Dan mereka diberi kemampuan untuk melakukan semua itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6) [Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal. 862, Taisir Al-Karimir Rahman hal. 520-521]

Itulah sifat-sifat malaikat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia. Dan manusia, sekali lagi bukanlah malaikat. Pada diri manusia ada kelalaian dan sifat lupa. Kadang semangat dalam menjalankan ketaatan, kadang pula futur (lemah semangat). Kadang hatinya tersibukkan mengingat kematian dan kampung akhirat, kadang pula ia sibuk mengurus dunianya. Begitulah sifat manusia, ada saatnya begini, ada saatnya begitu.

Dan orang yang demikian keadaannya tidaklah bisa dicap munafik, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menolak cap seperti itu ketika diucapkan oleh Hanzhalah radhiallahu 'anhu.

Dengan penjelasan di atas, kita berharap dapat mengambil pelajaran bahwa kita tidaklah dituntut untuk menjadi seorang yang ghuluw (berlebihan melampaui batas).

Sehingga karena tak ingin dilalaikan dengan kesibukan rumah tangga, dengan suami dan anak, kita pun memilih hidup membujang agar bisa sepenuhnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Atau jika kita sudah berumah tangga, lalu kita terapkan sikap ekstrim;

tidak boleh ada canda tawa dengan suami, tak boleh ada gurauan karena dianggap sia-sia, harus diam berzikir. Tidak ada berkasih mesra karena membuang waktu dan itu hanyalah perbuatan ahlud dunya, orang-orang yang cinta dunia, sementara kita orientasinya akhirat. Tidak perlu mengajak anak-anak bermain.

Rumah tidak perlu terlalu diurusi dan ditata, masak sekedarnya tidak usah enak-enak, tidak perlu ada perawatan tubuh dan kecantikan, tidak perlu repot dengan dandanan dan penampilan di depan suami, tidak mengapa pakai baju yang sudah sobek, semuanya sekedarnya… Toh ini cuma kehidupan dunia, toh semua ini melalaikan dan buang waktu… Benarkah? Tentunya tidak! Bila ada seorang istri yang melakukannya atau berpikir seperti itu, maka benar-benar hal itu bersumber dari kebodohannya.

Tapi kita katakan, urusilah rumah tanggamu dengan baik. Perhatikan suami dan anak-anakmu. Usahakan untuk memberikan yang terbaik dan ternyaman untuk mereka, baik dari sisi pelayanan, penyediaan makanan, penataan rumah dan sebagainya sesuai dengan kemampuan yang ada dengan tiada memberatkan. Kalau dikatakan hal itu melalaikan dari akhirat maka jawabannya hadits Hanzhalah radhiallahu 'anhu di atas.

Dan tengok pula rumah tangga nabawiyyah yang kerap kami singgung kisahnya dalam ini. Bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berumah tangga dan bagaimana istri-istri beliau, demikian pula istri-istri para shahabat radhiallahu 'anhum. Merekalah sebaik-baik contoh.

Demikianlah, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi taufik kepada kita semua. Amin!!!
Wallahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena saat itu Hanzhalah melewati Abu Bakr dalam keadaan Hanzhalah menangis. (Sebagaimana disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzi dalam Sunannya no. 2514)

2 Karena kita harus memperbaiki penghidupan/mata pencaharian kita dan mengurusi mereka. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)

Dalam riwayat lain, Hanzhalah radhiallahu 'anhu berkata mengeluhkan keadaan dirinya: “Kemudian aku pulang ke rumah lalu tertawa ceria bersama anak-anakku dan bermesraan dengan istriku.” (HR. Muslim no. 6901)

3 Dalam riwayat lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu berkata: “Aku juga melakukan seperti apa yang engkau sebutkan.”

4 Seakan-akan kami belum pernah mendengar sesuatu pun darimu. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqaiq wal Wara’, bab ke 59)