Monday, November 16, 2009
Hati Yang Lapang dan Bersinar..
Hidup dengan dada yang lapang adalah suatu nikmat yang sangat berharga dan dambaan setiap insan. Renungilah besarnya nikmat ini sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan Nabi-Nya terhadap karunia tersebut dalam firman-Nya,
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Al-Insyirâh :1)
Dan Nabi Musa ‘alaissalâm setelah beliau dimuliakan menjadi seorang rasul, maka awal doa beliau kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ,
“Berkata Musa: “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku,”…” (QS. Thohâ :25)
Banyak hal dalam tuntunan syari’at kita yang diterangkan sebagai tumpuan-tumpuan berpijak bagi seorang hamba agar senantiasa berhati lapang dan bercahaya.
Berikut ini, beberapa pilar pelapang dada seorang hamba, kami simpulkan dari keterangan Ibnul Qayyim[1] dan selainnya :
1. Memurnikan Tauhid.
Memurnikan peribadatan kepada Allah Taqaddasa Dzikruhu adalah tonggak keselamatan, tujuan dari penciptaan manusia, misi dakwah setiap nabi yang diutus kepada makhluk dan itulah adalah hakikat dari Islam yang bermakna berserah diri, ikhlash dan tunduk kepada-Nya. Maka sangat wajar bila memurnikan tauhid adalah hal yang sangat melapangkan dada dan meneranginya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm,
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar :22)
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Rabbmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran.” (QS. Al-An’âm :125-126)
Dan dengan memurnikan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla manusia akan hidup di bawah teduhan keamanan dan kesejahteraan. Sebagaimana dalam firman-Nya,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’âm :82)
Dan dalam Tanzil-Nya,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nûr : 55)
2. Berpegang teguh terhadap Al-Qur’ân dan As-Sunnah.
Allah Jalla wa ‘Alâ menurunkan Al-Qur`ân sebagai rahmat dan kebahagian bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89)
Dan Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`ân suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (QS. Al-Isrô` : 82)
Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyatakan,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيْغُ بَعْدِيْ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas suatu yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah seorangpun menyimpang darinya setelahku kecuali akan binasa.” [2]
Maka sangatlah lumrah bagi siapa yang berpegang teguh terhadap tuntunan Al-Qur`ân dan As-Sunnah akan senantiasa membuat dadanya lapang dan bersinar penuh petunjuk dan kebahagian tanpa ada kesensaraan. Sebagaimana dalam firman-Nya,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thôhâ : 123-124)
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur`ân ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (QS. Thôhâ : 1-3)
3. Berbekal Ilmu Syari’at.
Tatkala seluruh kebaikan bagi manusia tercakup dalam ilmu syari’at maka segala kebahagian dan ketenangan, keberhasilan dan kebahagian manusia sangat bertumpu pada ilmu syari’at. Karena itu Allah Ta’âlâ tidak memerintah Nabi-Nya untuk meminta tambahan nikmat apapun selain dari tambahan ilmu. Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan katakanlah, “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”.” (QS. Thôhâ : 114)
Dan dengan ilmu syari’at itulah diraihnya berbagai derajat keutamaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana dalam firman-Nya,
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujâdilah :11)
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Sesungguhnya ilmu itu melapangkan dada dan meluaskannya sehingga ia menjadi lebih luas dari dunia. Dan kejahilan akan mewariskan kesempitan, keterbatasan dan keterkurungan. Kapan ilmu seorang hamba semakin luas maka dadanya akan semakin lapang dan lebih meluas. Namun ini bukanlah pada setiap ilmu, bahkan hanya pada ilmu yang terwarisi dari Ar-Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang-orang yang berilmu (merekalah) yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling indah akhlaknya dan paling baik kehidupannya.” [3]
4. Kecintaan Kepada Allah.
Salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh seorang yang beriman bahwa kecintaannya kepada Allah adalah yang terbesar dan melebihi kecintaannya kepada seluruh makhluk. Allah berfirman,
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah :165)
Kecintaannya kepada Allah tersebut akan mengantar seorang hamba menuju kehidupan yang sangat indah, kelapangan hati dan ketenangan jiwa karena rongga hatinya hanya terpenuhi oleh kecintaan kepada Allah dan ketergantungan kepada-Nya. Wajarlah bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءُ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا للهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga (sifat) yang tidaklah terdapat pada seseorang, pasti ia akan mendapatkan kelezatan iman; hendaknya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai melebihi selain keduanya, dan ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan hanya karena Allah, serta ia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” [4]
5. Senantiasa bertaubat.
Menyadari kekurangan, menyesali kesalahan dan bertaubat kepada Yang Maha Mencipta adalah diantara sifat-sifat yang memberikan berbagai keajaiban dalam kehidupan seorang hamba dan sangat menerangi hati serta melapangkan dadanya. Karena itu, sikap senantiasa bertaubat sangat ditekankan dalam tuntunan syari’at Islam yang mulia. Allah menjamin keberuntungan bagi orang-orang yang senatiasa bertaubat,
“Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (Q.S. An-Nûr :31)
Dari doa Nabi Ibrahim ‘alaissalâm untuk mengujudkan keamanan dan kesejahteraan pada negeri Mekkah yang dirintisnya,
“Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan berilah taubat untuk kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah :128)
Dan sangatlah indah kehidupan orang-orang yang bertaubat tatkala sifat mulia mereka itu akan memberikan berbagai keutamaan dan kenikmatan sebagai hamba-hamba yang dicintai oleh Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah :222)
6. Dzikir.
Dzikir adalah penyejuk hati dan penenang jiwa. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d :28)
Dengan dzikir seorang hamba akan mendapatkan pengampunan dan pahala yang sangat besar,
“…dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Ahzâb :35)
Dan keberuntungan bagi orang-orang yang banyak berdzikir,
Dan dzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah :10)
Dan sungguh dzikir membuat hati seorang hamba menjadi lapang dan bersinar tanpa ada kerugian seperti yang terjadi pada orang-orang lalai,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari dzikir kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munâfiqûn :9)
7. Berbuat baik kepada Makhluk.
Memberi manfaat kepada makhluk dengan harta, badan, kedudukan dan selainnya dari berbagai bentuk perbuatan baik adalah hal yang sangat melapangkan dada seorang hamba dan meneranginya. Karena itu Allah ‘Azza wa Jalla memerintah dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl :90)
Dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةِ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةِ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesusngguhnya Allah telah menetapkan untuk berbuat kebajikan terhadap segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh perbaiklah cara membunuhnya, apabila kalian menyembelih perbaiklah cara menyembelihnya dan hendaknya salah seorang dari kalian mempertajam pisaunya dan membuat tenang sembelihannya.” [5]
Dan di akhirat kelak Allah menjanjikan,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Adz-Dzâriyât :15-16)
Demikian beberapa pilar pelapang dada seorang mukmin. Dan perlu diketahui bahwa segala perkara yang bertentangan dengan apa yang disebutkan di atas pasti akan memberikan kesempitan, kesesakan dan gundah gulana. Karena itu, tidak seorang pun yang lebih sempit hatinya dari pelaku kesyirikan. Dan siapa yang berpaling dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah maka ia akan senantiasa berada dalam berbagai kesengsaraan. Orang yang tidak memiliki ilmu syar’iy akan jauh dari makna ketenangan. Hati yang tergantung kepada selain Allah akan merasakan berbagai kepedihan dan kepahitan. Dan hati yang lalai dari dzikir kepada Allah bagaikan ikan yang dipisahkan dari air. Dan jeleknya hubungan dengan makhluk lain akan melahirkan berbagai problem dalam kehidupan. Dan demikianlah seterusnya.
Tentunya banyak tuntunan pelapang dada yang belum bisa diuraikan disini. Namun kami berharap keterangan-keterangan di atas bisa menjadi pencerahan dan penyenjuk bagi setiap muslim dan muslim dalam mempersiapkan bekal untuk menyonsong kehidupan kekal abadi di akhirat kelak. Waffaqallâhu Al-Jamî’ li mâ yuhibbihu wa yardhâhu.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُوْلِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ.
[1] Dalam kitabnya Zâdul Ma’âd 2/22-26, cet. Ke-3 dari Mu`assah Ar-Risalah
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/126, Ibnu Mâjah no. 5, 43, Ibnu Abi ‘Âshim no. 48-49 dan Al-Hâkim 1/96 dari hadits Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu. Dan dishohihkan oleh Al-Albâny dalam Zhilâlul Jannah 1/27.
[3] Zâdul Ma’âd 2/23
[4] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu.
[5] Hadits Syaddâd bin Aus radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim.
Sumber :
http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=PenyejukHati&article=83
untuKmu..Kaum Hawa..
Pembaca, mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala memberikan keberkahan pada kita semua, adalah merupakan suatu ketetapan dari Allah subhanahu wata’ala ketika Allah telah menetapkan bagi kaum hawa untuk mengalami apa yang dinamakan haid (menstruasi). Pasti setiap wanita akan mengalami masa haid sebagai salah satu tanda dari baligh baginya.
Maka pada pembahasan kali ini akan kami sajikan untuk anda beberapa hal yang berhubungan dengan haid dikarenakan begitu peliknya permasalahan ini. Demikian pula permasalahan haid sangat berhubungan erat dengan permasalahan ibadah lainnya, bahkan dalam permasalahan halal dan haramnya suatu ibadah tertentu.
Pengertian Haid
Haid ditinjau secara bahasa bermakna mengalir. Adapun jika ditinjau secara pengertian dalam syari’at islam bermakna darah yang mengalir yang merupakan tabiat dari seorang wanita yang keluar dari dasar rahim dan akan berulang pada periode (waktu) tertentu.
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama apakah ada batasan umur tertentu pada pemulaan haid dan batasan umur berhenti dari masa haid (menopause). Namun yang benar dalam masalah ini bahwa tidak ada batasan umur tertentu untuk seorang wanita mulai haid dan tidak mengalami haid lagi. Hal ini berdasarkan keumuman dalil pada surat Al Baqarah ayat ke-222 (artinya):
“Dan mereka bertanya padamu tentang haid, (maka) katakan bahwa dia (haid) merupakan suatu gangguan, maka jauhilah para wanita ketika mereka sedang haid.”
Demikian pula dalam permasalahan waktu berlangsungnya haid, maka tidak ada batasan tertentu. Hanya saja kebanyakan (mayoritas) para wanita mengalami masa haidnya selama 6 sampai 7 hari.
Ciri-ciri Darah Haid
1. Berwarna kehitam-hitaman dan mudah dikenali. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari shahabiyyah Fatimah Bintu Abi Hubais ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Adapun darah haid, maka berwarna hitam yang dikenal…”
2. Memiliki bau yang tidak sedap, sebagaimana dijelaskan pada hadits di atas dengan lafazh:
يُعْرِِِفُ namun dengan
3. Kekuning-kuningan dan keruh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Malik ketika ibu dari Alqamah Bin Abi Alqamah berkata: “Para wanita diutus kepada ‘Aisyah Ummul Mu’minin dengan membawa sebuah dirojah (wadah kecil) yang di dalamnya terdapat kursuf (pembalut) yang terdapat warna kekuning-kuningan bekas darah haid, mereka bertanya tentang shalat, maka ‘Aisyah menjawab: “Janganlah kalian shalat sampai kalian melihat pembalut tadi berwarna putih yang diinginkan dengan itu telah suci dari haid.”
Namun cairan keruh dan kekuning-kuningan tidaklah menunjukkan seorang wanita haid kecuali pada hari-hari yang memang sedang haid. Adapun jika keluar selain pada hari-hari haid, maka tidak dianggap haid, sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Atiyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah ketika dia berkata:
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap warna kekuning-kuningan dan keruh sedikitpun setelah suci sebagai haid.”
Beberapa Keadaan Wanita Haid
1. Wanita yang mengetahui kebiasaan waktu-waktu datangnya haid. Wanita jenis ini menjalankan haidnya sesuai dengan bilangan hari yang biasa dialaminya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabiyyah Ummu Habibbah bintu Jahsyin ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Berdiamlah sebagaimana kebiasaan haid menahanmu, kemudian mandi dan shalatlah.”
2. Wanita yang tidak mengetahui dan tidak mempunyai kebiasaan waktu-waktu haidnya namun bisa membedakan darah yang keluar apakah darah haid atau bukan. Maka dia menjalankan haid ketika mengetahui bahwa yang keluar adalah darah haid. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari shahabiyyah Fatimah Bintu Abi Hubais ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَأَمْسِكِي عَنْ الصَّلاَةِ فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Apabila darah haid, maka berwarna hitam yang sudah dikenal, jika demikian berhentilah shalat, namun jika selain itu berwudhulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.”
3. Wanita yang tidak mempunyai kebiasaan waktu-waktu haid yang dia ketahui dan tidak bisa membedakan antara darah haid atau bukan. Maka baginya untuk bersandar kepada kebiasaan waktu-waktu haid kebanyakan wanita pada umumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan kecuali An Nasa’i dari shahabiyyah Hamnah Bintu Jahsyin ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنْ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ فِي عِلْمِ اللَّهِ ثُمَّ اغْتَسِلِي فَإِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكِ يُجْزِئُكِ وَكَذَلِكِ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ
“Sesungguhnya itu adalah dorongan dari syaithan, maka laksanakanlah haid selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Apabila kamu telah suci, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari. Lakukanlah shalat dan puasa, sesungguhnya hal itu cukup bagimu. Dan demikian itulah hendaknya kamu kerjakan sebagaimana para wanita mengalami haid.”
Beberapa hukum yang berkaitan dengan permasalahan haid
1. Bagi wanita haid baginya untuk tidak mengerjakan shalat dan juga tidak berpuasa, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan juga Muslim ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah bintu Abi Hubais:
“Jika haid menimpamu, maka tinggalkan (jangan kerjakan) shalat…”
Maka jika ada wanita yang sedang mengalami haid kemudian berpuasa atau mengerjakan shalat, maka tidak sah puasa atau shalatnya tersebut bahkan dia telah melakukan suatu kemaksiaatan kepada Allah dan rasulNya karena telah dilarang oleh syari’at.
2. Jika wanita tersebut sudah selesai dari masa haidnya, maka dibebankan baginya untuk mengqada’ (mengganti) puasa dan tidak dibebankan baginya untuk mengqada’ shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan juga Muslim, dari Aisyah ketika ia berkata:
“Kami mengalami haid, maka kami diperintah untuk mengqada’ puasa dan kami tidak diperintah untuk mengqada’ shalat.”
3. Tidak boleh bagi seorang suami menggauli yang sedang haid, namun boleh untuk bersenang-senang dengannya selain senggama seperti mencium, mengusap dan sebagainya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Al Imam At Tirmidzi dan lainnya dari Anas bin Malik ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Kerjakan semuanya (pada wanita haid) kecuali nikah (jima’).”
Dan dalam lafazh lain:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ
“Kerjakan semuanya (pada wanita haid) kecuali jima’.”
Barang siapa yang menjima’-i wanita yang sedang haid, maka dia telah melakukan suatu dosa besar karena dia telah jatuh pada suatu hal yang telah diharamkan syari’at. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh At Al Imam At Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya: “Barang siapa yang mendatangi wanita haid (senggama) atau mendatangi wanita pada duburnya atau mendatangi dukun, maka sungguh dia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam .”
Adapun bagi orang yang menjima’-i wanita haid terjadi perbedaan pendapat apakah baginya kafarat atau tidak ada kafarat namun dia mendapatkan dosa. Namun yang benar dia mendapatkan kafarat dengan bersedekah satu atau setengah dinar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dari sahabat Abdullah bin Abbas. Ia berkata: “Dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam , tentang seseorang yang mendatangi istrinya yang haid, beliau bersabda:
يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ
“Baginya untuk bersedekah satu atau setengah dinar.”
Barangsiapa ingin mendapatkan kesempurnaan dari kaffarah-nya hendaknya dia bersedekah satu dinar. Namun bagi yang bersedekah setengah dinar, maka cukup untuk membayar kaffarah-nya tersebut. Beberapa ulama ada yang berpendapat ukuran satu dinar 4,25 gram emas. Namun tidak mengapa bagi seseorang untuk menilai kadar dinar sesuai dengan ukuran daerahnya masing-masing.
4. Dilarang bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya yang sedang haid. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Ath Thalaq ayat ke-1 (artinya):
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka mendapati masa ‘iddahnya (yang wajar).”
Yakni ketika mereka suci dan belum digauli. Dan juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan orang yang menceraikan istrinya yang sedang haid untuk rujuk, kemudian menceraikannya kembali ketika istrinya suci apabila dia kehendaki.
5. Hukum menyentuh Al Qur’an bagi wanita haid. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ tentang hal ini. Namun pendapat yang benar insya Allah adalah tidak bolehnya wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan juga pendapat Asy Syaikh Shalih Al Fauzan, Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin serta ulama yang lainnya. Dalil dari pendapat ini:
1) firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Waqi’ah ayat ke-79 (artinya):
“Tidaklah menyentuhnya (Al Qur’an) kecuali orang-orang yang suci.”
2) Hadits ‘Amr Bin Hazm yang diriwayatkan oleh Al Imam Malik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang menyentuh Al Qur’an kecuali dia dalam keadaan suci.”
Dalam riwayat At Thabarani dan juga Ad Daruquthni, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah engkau menyentuh al qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”
Namun dibolehkan bagi wanita haid untuk melafazhkan atau membaca ayat-ayat Al Qur’an, wallahu a’lam.
6. Bagi wanita haid dilarang untuk thawaf di Ka’bah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kerjakan apa yang dikerjakan orang yang berhaji selain engkau thawaf di Bait (Ka’bah).”
7. Dibolehkan bagi wanita haid masuk ke masjid apabila ada kepentingan yang mendesak tanpa ditinggal/di dalam masjid. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim ketika Aisyah berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan aku untuk mengambil khumrah (sejenis sajadah) di dalam masjid, kemudian aku berkata: “Aku sedang haid”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah khumrah tersebut karena haid itu tidak berada pada tanganmu.”
Kapan dibolehkan untuk mendatangi istri yang telah berhenti haid
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang prmasalahan ini. Diantara mereka ada yang berpendapat bolehnya digauli ketika darah telah berhenti walaupun belum mandi besar serta beberapa rincian lainnya. Namun sebagian yang lain mensyaratkan bolehnya digauli ketika darah telah berhenti dan telah mandi besar. Maka yang benar, wallahu a’lam, adalah pendapat yang kedua. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Baqarah ayat ke-222 (artinya):
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ البقرة: ٢٢٢
“Dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka suci.”
حَتَّى يَطْهُرْنَ
maksudnya adalah terhentinya darah dan telah mandi besar. Al Imam Mujahid berkata: “Ayat ini juga telah ditafsirkan oleh Ibnu Abbas semakna dengan tafsir Mujahid di atas.”
Di dalam Majmu’ Fatawa (21/624) disebutkan: “Adapun wanita yang haid apabila telah berhenti darahnya, maka tidak boleh suaminya untuk menggaulinya sampai wanita tersebut mandi besar apabila dia mampu mandi. Apabila tidak mampu mandi, maka bertayammum, sebagaimana pendapat jumhur ‘ulama seperti Al Imam Malik, Al Imam Ahmad dan Al Imam Asy Syafi’i.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang haid. Mudah-mudahan dengan ini kita bisa menjalankan ibadah di atas bimbingan ilmu dan bukan di atas bimbingan hawa nafsu dan perasaan belaka. Allahul Musta’an. Wallahu a’lam bishshawab.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=266&print=1
Kewajiban wanita setelah selesai masa haidnya adalah mandi. Itu dilakukannya dengan menggunakan air yang benar-benar suci ke seluruh badannya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Apabila kamu sedang mengalami haid, maka tinggalkanlah shalat dan apabila telah berhenti, maka mandi dan shalatlah. ” (H.R. Al-Bukhari)
Cara Mandi Setelah Haid
Berniatlah untuk menghilangkan hadats atau bersuci untuk melaksanakan shalat dan sejenisnya.
Mengucapkan : Bismillahirrahmanirrahiim (dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Meratakan air ke seluruh badan.
Menyela-nyela dasar rambut kepala dan apabila rambutnya lebat cukup menyela-nyelanya dengan air. Alangkah baiknya ketika menyela-nyela rambut tersebut dicampur dengan sabun, shampoo atau alat pembersih lainnya.
Setelah selesai mandi, disunnahkan mengoleskan kapas yang telah diberi minyak wangi atau sejenis wangi-wangian lainnya ke dalam farji (vagina).
Sebagaimana perintah Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam kepada Asma’ tentang hal ini (H.R. Muslim).Dinukil dari Buku : Panduan Fiqih Praktis bagi wanita, penulis : Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan; penerjemah : Muhtadin Abrori, Editor : Ayip Syafrudin, Abu Ziyad Abdullah Majid ; Penerbit : Pustaka Sumayyah
Teman yang Buruk?
مَثَلُ الْـجَلِيْسِ الصَّالـِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ. فَحَامِلُ الْـمِسْكِ إِمَّا أَنْ يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً
Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa teman dapat memberikan pengaruh negatif ataupun positif sesuai dengan kebaikan atau kejelekannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan teman bergaul atau teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi. Bila duduk dengan penjual minyak wangi, engkau akan dapati satu dari tiga perkara sebagaimana tersebut dalam hadits.
Paling minimnya engkau dapati darinya bau yang harum yang akan memberi pengaruh pada jiwamu, tubuh dan pakaianmu. Sementara kawan yang jelek diserupakan dengan duduk di dekat pandai besi. Bisa jadi beterbangan percikan apinya hingga membakar pakaianmu, atau paling tidak engkau mencium bau tak sedap darinya yang akan mengenai tubuh dan pakaianmu.
Dengan demikian jelaslah, teman pasti akan memberi pengaruh kepada seseorang. Dengarkanlah berita dari Al-Qur`an yang mulia tentang penyesalan orang zalim pada hari kiamat nanti karena dulunya ketika di dunia berteman dengan orang yang sesat dan menyimpang, hingga ia terpengaruh ikut sesat dan menyimpang.
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً. يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلاً. لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولً
Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, andai kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh ia telah menyesatkan aku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku.’
Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29)‘Adi bin Zaid, seorang penyair Arab, berkata,
عَنِ الْـمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْـمُقَارَنِ يَقْتَدِيإِذَا كُنْتَ فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ وَلاَ تُصَاحِبِ
الْأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي
Tidak perlu engkau bertanya tentang (siapa) seseorang itu, namun tanyalah siapa temannyaKarena setiap teman meniru temannyaBila engkau berada pada suatu kaum maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari merekaDan janganlah engkau berteman dengan orang yang rendah/hina niscaya engkau akan hina bersama orang yang hinaKarenanya lihat-lihat dan timbang-timbanglah dengan siapa engkau berkawan.
Dampak Teman yang Jelek Ingatlah, berteman dengan orang yang tidak baik agamanya, akhlak, sifat, dan perilakunya akan memberikan banyak dampak yang jelek. Di antara yang dapat kita sebutkan di sini:1. Memberikan keraguan pada keyakinan kita yang sudah benar, bahkan dapat memalingkan kita dari kebenaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ. قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ إِنِّي كَانَ لِي قَرِينٌ. يَقُولُ أَئِنَّكَ لَمِنَ الْمُصَدِّقِينَ. أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَدِينُونَ. قَالَ
هَلْ أَنْتُمْ مُطَّلِعُونَ. فَاطَّلَعَ فَرَآهُ فِي سَوَاءِ الْجَحِيمِ. قَالَ تَاللهِ إِنْ كِدْتَ لَتُرْدِينِ. وَلَوْلاَ نِعْمَةُ رَبِّي لَكُنْتُ مِنَ الْمُحْضَرِينَ
Lalu sebagian mereka (penghuni surga) menghadap sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) memiliki seorang teman. Temanku itu pernah berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan hari berbangkit?
Apakah bila kita telah meninggal dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan.” Berkata pulalah ia, “Maukah kalian meninjau temanku itu?" Maka ia meninjaunya, ternyata ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala. Ia pun berucap, “Demi Allah! Sungguh kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidak karena nikmat Rabbku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.”
(Ash-Shaffat: 50-57)Dengarkanlah kisah wafatnya Abu Thalib di atas kekafiran karena pengaruh teman yang buruk. Tersebut dalam hadits Al-Musayyab bin Hazn, ia berkata, "Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah.
Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)2.
Teman yang jelek akan mengajak orang yang berteman dengannya agar mau melakukan perbuatan yang haram dan mungkar seperti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang munafikin.
َMereka menginginkan andai kalian kafir sebagaimana mereka kafir hingga kalian menjadi sama.” (An-Nisa`: 89)3.
Tabiat manusia, ia akan terpengaruh dengan kebiasaan, akhlak, dan perilaku teman dekatnya. Karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang itu menurut agama teman dekat/sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat1.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 927)4. Melihat teman yang buruk akan mengingatkan kepada maksiat sehingga terlintas maksiat dalam benak seseorang. Padahal sebelumnya ia tidak terpikir tentang maksiat tersebut.5.
Teman yang buruk akan menghubungkanmu dengan orang-orang yang jelek, yang akan memudaratkanmu.6. Teman yang buruk akan menggampangkan maksiat yang engkau lakukan sehingga maksiat itu menjadi remeh/ringan dalam hatimu dan engkau akan menganggap tidak apa-apa mengurangi-ngurangi dalam ketaatan.7.
Karena berteman dengan orang yang jelek, engkau akan terhalang untuk berteman dengan orang-orang yang baik/shalih sehingga terluputkan kebaikan darimu sesuai dengan jauhnya engkau dari mereka.8. Duduk bersama teman yang jelek tidaklah lepas dari perbuatan haram dan maksiat seperti ghibah, namimah, dusta, melaknat, dan semisalnya.
Bagaimana tidak, sementara majelis orang-orang yang jelek umumnya jauh dari dzikrullah, yang mana hal ini akan menjadi penyesalan dan kerugian bagi pelakunya pada hari kiamat nanti. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ تَعَالَى فِيْهِ، إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
Tidak ada satu kaum pun yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berzikir kepada Allah ta’ala dalam majelis tersebut melainkan mereka bangkit dari semisal bangkai keledai2 dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka." (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 77)
Demikian… Semoga ini menjadi peringatan!(Dinukil secara ringkas dengan perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan, hal. 95-99)1 Seseorang akan berperilaku seperti kebiasaan temannya dan juga menurut jalan serta perilaku temannya.
Maka hendaknya setiap kita merenungkan dan memikirkan dengan siapa kita bersahabat. Siapa yang kita senangi agama dan akhlaknya maka kita jadikan ia sebagai teman, dan yang sebaliknya kita jauhi. Karena yang namanya tabiat akan saling meniru dan persahabatan itu akan berpengaruh baik ataupun buruk. (
Tuhfatul Ahwadzi, kitab Az-Zuhd, bab 45)2 Sama dengan bangkai keledai dalam bau busuk dan kotornya. ('Aunul Ma'bud, kitab Al-Adab, bab Karahiyah An Yaqumar Rajulu min Majlisihi wala Yadzkurullah)http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=