Wednesday, February 24, 2010

Perhatikan amalan hati ini...


Ditulis:al-Bamalanjy
Penyusun dan disunting:Ummu Jauharah at-Taqqiyah

Sumber Rujukan,
Oleh: Syaikh Kholid bin Ali al-Musyaiqih – hafizhohulloh -.

الحمد لله والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد

Sesungguhnya amalan teragung yang hendaknya sangat diperhatikan oleh seorang muslim, lebih khusus seorang penuntut ilmu, adalah amalan-amalan hati. Kerana hati adalah penentunya amalan badan. Oleh karena itulah Nabi - shollallohu ‘alaihi wa sallam - bersabda,

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى

“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niat-niat, dan seseorang hanyalah mendapatkan yang dia niatkan.”

Dan para ulama pun telah memberikan perhatian terhadap amalan-amalan hati. Mereka telah menulis berbagai karya tulis tentangnya. Maka sudah selayaknya bagi seorang penuntut ilmu untuk melihat dan memperhatikan hatinya, kerana sebagaimana sabda Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam -

إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب

“Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika rosak maka rosaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, dia adalah hati.”

Maka wajib bagi seorang penuntut ilmu – selalu dan selamanya – untuk memperhatikan hatinya, selalu menggantungkannya kepada Alloh – ‘azza wa jalla -, dengan ikhlas, tawakal, rasa takut, harap, rohbah, roghbah, meminta pertolongan, dan selainnya. Dan hendaknya dia memenuhi hatinya dengan rasa khosy-yah (rasa takut terhadap dzat yang diagungkan -pent). Hendaknya ilmunya mendorong dia untuk khosy-yah kepada Alloh ‘azza wa jalla, bertakwa kepada-Nya, berkeinginan kuat terhadap kebaikan, menjauh dari keburukan, bersegera mengamalkan kebaikan-kebaikan. Dan hendaknya dia benar-benar waspada dari sifat kibir (sombong, menolak kebenaran dan meremehkan manusia -pent), ‘ujub (membanggakan diri), hasad, permusuhan, riya`, sum’ah, dan berbagai amalan hati lain yang kerosakan dan bahayanya sangat besar terhadap seorang penuntut ilmu dalam perjalanan ilmiyahnya.

Dan hendaknya seorang penuntut ilmu memakmurkan hatinya dengan mengingat Alloh, senantiasa membiasakan lisannya untuk berdzikir kepada Alloh dalam seluruh waktu dan keadaannya. Alloh ta’ala berfirman,

أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah, dengan mengingat Alloh, hati-hati menjadi tenang.”

Adapun berpaling dari dzikir, adalah sebab matinya hati, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,

مثل الذي يذكر ربه والذي لا يذكر ربه مثل الحي والميت

“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Robbnya dengan orang yang tidak berdzikir kepada Robbnya, seperti orang yang hidup dan yang mati.”

Dan di antara hal yang hendaknya diperhatikan seorang penuntut ilmu untuk kebaikan hatinya adalah hendaknya hatinya selamat dari perasaan dengki, hasad, permusuhan, kebencian terhadap seseorang dari kaum muslimin. Kebersihan hati dari penyakit-penyakit ini adalah jalan untuk kebersihan hati.

Akhirnya,saya nasihatkan kepada saudara saya para penuntut ilmu, untuk berusaha sungguh-sungguh memperbaiki hati mereka dengan segala hal yang boleh mendekatkan mereka kepada Alloh dan menjauhkan dari apa yang Alloh – subhanahu wa ta’ala - haramkan.

Semoga Alloh memberi taufiq kepada semuanya, kepada apa yang dicintai dan diridhoi-Nya.
Dan aku memohon kepada Alloh agar Dia memperbaiki hati-hati kita, amalan-amalan kita, dengan anugerah dan kemurahan-Nya.

Sebab Kurangnya Rasa Bersyukur...

Alloh menyebutkan dalam kitab-Nya, bahawa makhluk tidak akan mampu menghitung nikmat-nikmatNya kepada mereka. Alloh ‘Azza min Qo`il berkata,

وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا

“Dan seandainya kalian menghitung nikmat Alloh, kalian tidak akan (mampu) menghitungnya.” (an-Nahl: 18)

Maknanya, mereka tidak akan mampu bersyukur atas nikmat-nikmat Alloh dengan cara yang dituntut. Karena orang yang tidak mampu menghitung nikmat Alloh, bagaimana mungkin dia akan mensyukurinya?

Barangkali seorang hamba tidak dikatakan lalai jika dia mengerahkan segenap usahanya untuk bersyukur, dengan mewujudkan ubudiyah (penghambaan) kepada Alloh, Robb semesta alam, sesuai dengan firmanNya,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kalian kepada Alloh, menurut kemampuan kalian.” (at-Taghobun: 16)

Sikap meremehkan yang kami maksudkan adalah, jika seorang manusia senantiasa berada dalam nikmat Alloh siang dan malam, ketika safar maupun mukim, ketika tidur maupun terjaga, kemudian muncul dari perkataan, perbuatan dan keyakinannya sesuatu yang tidak sesuai dengan sikap syukur sama sekali. Sikap peremehan inilah yang kita ingin mengetahui sebagian sebab-sebabnya. Kemudian kita sampaikan obatnya dengan apa yang telah Alloh bukakan. Dan taufiq hanyalah di tangan Alloh.

Di antara sebab-sebab ini:

Sebab pertama: Lalai dari nikmat Alloh.

Sesungguhnya banyak manusia yang hidup dalam kenikmatan yang besar, baik nikmat yang umum mahupun khusus. Akan tetapi dia lalai darinya. Dia tidak mengetahui bahawa dia hidup dalam kenikmatan. Itu kerana dia telah terbiasa dengannya dan tumbuh berkembang padanya. Dan dalam hidupnya, dia tidak pernah mendapatkan selain kenikmatan. Sehingga dia menyangka bahawa perkara (hidup) ini memang seperti itu sahaja.

Seorang manusia jika tidak mengenal dan merasakan kenikmatan, bagaimana mungkin dia mensyukurinya? Kerana syukur, dibangun di atas pengetahuan terhadap nikmat, mengingatnya dan memahami bahawa itu adalah nikmat pemberian Alloh kepadanya.
Sebagian salaf berkata, “Nikmat dari Alloh untuk hambaNya adalah sesuatu yang majhulah (tidak diketahui). Jika nikmat itu hilang barulah dia diketahui.” [Robii’ul Abror 4/325]

Sesungguhnya banyak manusia di zaman kita ini senantiasa berada dalam kenikmatan Alloh, mereka memenuhi perut mereka dengan berbagai makanan dan minuman, memakai pakaian yang paling indah, bertutupkan selimut yang paling baik, menunggangi kenderaan yang paling bagus, kemudian mereka berlalu untuk urusan mereka tanpa mengingat-ingat nikmat dan tidak mengetahui hak bagi Alloh. Maka mereka seperti binatang, mulutnya menyela-nyela tempat makanan, lalu jika telah kenyang dia pun berlalu darinya. Dan semacam ini pantas bagi binatang.

Jika kenikmatan telah menjadi banyak dengan mengalirnya kebaikan secara terus-menerus dan bermacam-macam, manusia akan lalai dari orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat itu. Dia menyangka bahwa orang lain seperti dia, sehingga tidak muncul rasa syukur kepada Pemberi nikmat. Oleh karena itu, Alloh memerintahkan hambaNya untuk mengingat-ingat nikmatNya atas mereka – sebagaimana telah dijelaskan. Karena mengingat-ingat nikmat akan mendorong seseorang untuk mensyukurinya. Alloh berfirman,

وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ

“Dan ingatlah nikmat Alloh padamu, dan apa yang telah diturunkan Alloh kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Alloh memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkanNya itu.” (al-Baqarah: 231)

Sebab kedua: Kebodohan terhadap hakikat nikmat

Sebahagian orang tidak mengetahui nikmat, tidak mengenal dan tidak memahami hakikat nikmat. Dia tidak tahu bahawa dirinya berada dalam kenikmatan, kerana dia tidak mengetahui hakikat nikmat. Bahkan mungkin dia memandang pemberian nikmat Alloh kepadanya sangat sedikit sehingga tidak pantas untuk dikatakan sebagai kenikmatan. Maka orang yang tidak mengetahui nikmat, bahkan bodoh terhadapnya, tidak akan boleh mensyukurinya.

Sesungguhnya ada sebahagian manusia yang jika melihat suatu kenikmatan diberikan kepadanya dan juga kepada orang lain, bukan kekhususan untuknya, maka dia tidak bersyukur kepada Alloh. Karena dia memandang dirinya tidak berada dalam suatu kenikmatan selama orang lain juga berada pada kenikmatan tersebut. Sehingga banyak orang yang berpaling dari mensyukuri nikmat Alloh yang sangat besar pada dirinya yang berupa anggota badan dan indera, dan juga nikmat Alloh yang sangat besar pada alam semesta ini.

Ambilah sebagai contoh, nikmatnya penglihatan. Ini merupakan nikmat Alloh yang sangat agung yang banyak dilalaikan oleh manusia. Siapakah yang mengetahui kenikmatan ini, memperhatikan haknya dan menyukurinya? Alangkah sedikitnya mereka itu.

Seandainya seseorang mengalami kebutaan, lalu Alloh mengembalikan penglihatannya dengan suatu sebab yang Alloh takdirkan, apakah dia akan memandang penglihatannya pada keadaan yang kedua ini sebagaimana kelalaiannya terhadap yang pertama? Tentu tidak, karena dia telah mengetahui nilai kenikmatan ini setelah dia kehilangan nikmat tersebut. Maka orang ini mungkin akan bersyukur kepada Alloh atas nikmat penglihatan ini, akan tetapi dengan cepat dia akan melupakannya. Dan ini adalah puncak kebodohan, karena rasa syukurnya bergantung kepada hilang dan kembalinya nikmat tersebut. Padahal sesuatu (kenikmatan) yang langgeng lebih berhak disyukuri daripada (kenikmatan) yang kadang-kadang terputus. [Lihat Mukhtashor Minhajil Qoshidin, hlm 288]

Sebab ketiga: Pandangan sebagian manusia kepada orang yang berada di atasnya.

Jika seorang manusia melihat kepada orang yang diatasnya, yaitu orang-orang yang diberi kelebihan atasnya, dia akan meremehkan karunia yang Alloh berikan kepadanya. Sehingga dia pun kurang dalam melaksanakan kewajiban syukur. Kerana dia melihat bahawa apa yang diberikan kepadanya adalah sedikit, sehingga dia meminta tambahan untuk boleh menyusul atau mendekati orang yang berada diatasnya. Dan ini ada pada kebanyakan manusia. Hatinya sibuk dan badannya letih dalam berusaha untuk menyusul orang-orang yang telah diberi kelebihan atasnya berupa harta dunia. Sehingga keinginannya hanyalah untuk mengumpulkan dunia. Dia lalai dari bersyukur dan melaksanakan kewajiban ibadah, yang sebenarnya dia diciptakan untuk hal tersebut (ibadah).
Telah datang suatu hadits dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلىَ مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فيِ الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلىَ مَن هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ

“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan atasnya dalam masalah harta dan penciptaan, hendaknya dia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya, yang dia telah diberi kelebihan atasnya.” [Riwayat Muslim (2963) dan lihat Jami’ul Ushul (10/142)]

Sebab keempat: Melupakan masa lalu.

Di antara manusia ada yang pernah melewati kehidupan yang menyusahkan dan sempit. Dia hidup pada masa-masa yang menegangkan dan penuh rasa takut, baik dalam masalah harta, penghidupan atau tempat tinggal. Dan tatkala Alloh memberikan kenikmatan dan karunia kepadanya, dia enggan untuk membandingkan antara masa lalunya dengan kehidupannya sekarang agar menjadi jelas baginya karunia Robb atasnya. Barangkali hal itu akan membantunya untuk mensyukuri nikmat-nikmat itu. Akan tetapi dia telah tenggelam dalam nikmat-nikmat Alloh yang sekarang dan telah melupakan keadaannya terdahulu. Oleh karena itu engkau lihat banyak orang yang telah hidup dalam kemiskinan pada masa-masanya yang telah lalu, namun mereka kurang bersyukur dengan keadaan mereka yang engkau lihat sekarang ini.

Setiap manusia wajib untuk mengambil pelajaran dari kisah yang ada dalam hadits shohih [Hadits panjang dari Abu Huroiroh,

“Sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan Bani Isroil, orang yang punya penyakit kusta, orang yang botak dan orang yang buta...” diriwayatkan oleh al-Bukhori (3277) dan Muslim (2946)] (yang maknanya),

Sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan Bani Isroil yang ingin Alloh uji. Mereka adalah orang yang punya penyakit kusta, orang yang botak dan orang yang buta. Maka ujian itu menampakkan hakikat mereka yang telah Alloh ketahui sebelum menciptakan mereka. Adapun orang yang buta, maka dia mengakui pemberian nikmat Alloh kepadanya, mengakui bahawa dahulu dia adalah seorang yang buta lagi miskin, lalu Alloh memberikan penglihatan dan kekayaan kepadanya. Dia pun memberikan apa yang diminta oleh pengemis, sebagai bentuk syukur kepada Alloh. Adapun orang yang botak dan orang yang berpenyakit kusta, mereka mengingkari kemiskinan dan buruknya keadaan mereka sebelum itu. Keduanya berkata tentang kekayaan itu, ‘Sesungguhnya aku mendapatkannya dari keturunan.’

Inilah keadaan kebanyakan manusia. Tidak mengakui keadaannya terdahulu berupa kekurangan, kebodohan, kemiskinan dan dosa-dosa, (tidak mengakui) bahwasanya Alloh lah yang memindahkan dia dari keadaannya semula kepada kebalikannya, dan memberikan kenikmatan tersebut.

Diterjemahkan dari makalah Syaikh Abdulloh bin Sholih al-Fauzan hafizhohulloh, dengan judul
التقصير في الشكر وأسبابه
Sumber (berbahasa arab): http://www.alfuzan.islamlight.net/index.php?option=content&task=view&id=2053&Itemid=47