Friday, January 29, 2010

USHULUTS TSALATSAH (TIGA LANDASAN UTAMA)

Penulis: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Disunting bahasanya oleh,
Ummu Syauqina Nurharyati Husna Bt Mohd Khalid.

MUQADDIMAH

Ukhti Saudaraku....

Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda.
Ketahuilah, bahwa wajib bagi kita untuk mendalami empat masalah, iaitu :

1) Ilmu, ialah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil.

2) Amal, ialah menerapkan ilmu ini.

3) Da’wah, ialah mengajak orang lain kepada ilmu ini.

4) Sabar, ialah tabah dan tangguh menghadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu, mengamalkannya dan berda’wah kepadanya.


Dalilnya, firman Allah Ta’ala : “ Demi masa. Sesungguhnya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shalih dan saling nasihat menasihati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasihat-menasihati untuk (berlaku) sabar”. (Al-’Ashr : 1-3).


Imam Asy-Syafi’i[1] Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :

”Seandainya Allah hanya menurunkan surah ini saja sebagai hujjah buat makhluk-Nya, tanpa hujjah lain, sungguh telah cukup surat ini sebagai hujjah bagi mereka”.

Dan Imam Al-Bukhari[2] Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :

”Bab Ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan”.

Dalilnya firman Allah Ta’ala : “ Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada sesembahan (yang Haq) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu”. (Muhammad : 19).


Dalam ayat ini, Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk berilmu (agama).... .[3] sebelum ucapan dan perbuatan.

Ukhti Saudaraku....

Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda.

Dan ketahuilah, bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan mengamalkan ketiga perkara ini (beriman, beramal lalu berdakwah) :

1. Bahwa Allah-lah yang menciptakan kita dan yang memberi rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita begitu sahaja dalam kebingungan, tetapi mengutus kepada kita seorang rasul, maka barangsiapa mentaati rasul tersebut pasti akan masuk surga dan barangsiapa menyalahinya pasti akan masuk neraka.

Allah Ta’ala berfirman : ” Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang rasul yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul, tetapi Fir’aun mendurhakai rasul itu, maka Kami siksa ia dengan siksaan yang berat”. (Al-Muzammil : 15-16).


2. Bahwa Allah tidak rela, jika dalam ibadah yang ditujukan kepada-Nya, Dia dipersekutukan dengan sesuatu apapun, baik dengan seorang malaikat yang terdekat atau dengan seorang Nabi yang diutus menjadi Rasul.

Allah Ta’ala berfirman : ”Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang-pun di dalamnya disamping (menyembah) Allah”. (Al-Jinn : 18).


3. Bahwa barangsiapa yang mentaati Rasulullah serta mentauhidkan Allah, tidak boleh bersahabat dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu keluarga dekat.

Allah Ta’ala berfirman : ”Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah mantapkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya dan mereka akan dimasukkan-Nya ke dalam syurga-syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah redha kepada mereka dan mereka pun redha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”. (Al-Mujaadalah : 22).

Ukhti Saudaraku....

Semoga Allah membimbing Anda untuk taat kepada-Nya.

Ketahuilah, bahwa Islam yang merupakan tuntunan Nabi Ibrahim adalah ibadah kepada Allah semata dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Itulah yang diperintahkan Allah kepada seluruh umat manusia dan hanya itu sebenarnya mereka diciptakan-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku”. (Adz-Dzaariyaat : 56).


Ibadah dalam ayat ini, artinya : Tauhid. Dan perintah Allah yang paling agung adalah Tauhid, iaitu : Memurnikan ibadah untuk Allah semata-mata. Sedang larangan Allah yang paling besar adalah syirik, yaitu : Menyembah selain Allah di samping menyembah-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya”. (An-Nisaa : 36).


Kemudian, apabila anda ditanya : Apakah tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh manusia ? Maka hendaklah anda jawab :

Iaitu mengenal Tuhan Allah ‘Azza wa Jalla, mengenal agama Islam, dan mengenal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

MENGENAL ALLAH, ‘AZZA WA JALLA

Apabila anda ditanya : Siapakah Tuhanmu ? Maka katakanlah : Tuhanku adalah Allah, yang memelihara diriku dan memelihara semesta alam ini dengan segala ni’mat yang dikurniakan-Nya. Dan dialah sembahanku, tiada sesembahan yang haq selain Dia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Artinya : Segala puji hanya milik Allah Tuhan Pemelihara semesta alam”. (Al-Faatihah : 1).

Semua yang ada selain Allah disebut Alam, dan aku (penulis) adalah salah satu dari semesta alam ini.

Selanjutnya jika anda ditanya : Melalui apa anda mengenal Tuhan ? Maka hendaklah anda jawab : Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah : malam, siang, matahari dan bulan. Sedang di antara ciptaan-Nya ialah : tujuh langit dan tujuh bumi beserta segala mahluk yang ada di langit dan di bumi serta yang ada di antara keduanya.

Firman Allah Ta’ala : “Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah” (Fushshilat : 37).

Dan firman-Nya : “Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang, sentiasa mengikutinya dengan cepat. Dan Dia (ciptakan pula) matahari dan bulan serta intang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah hanya hak Allah mencipta dan memerintah itu. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam”. (Al-A’raaf : 54).


Tuhan inilah yang haq disembah. Dalilnya, firman Allah Ta’ala : “Artinya : Wahai manusia ! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”. (Al-Baqarah : 22).

Ibnu Katsir[4] Rahimahullah Ta’ala, mengatakan : ”Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah”.[Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, (Cairo, Maktabah Dar At-Turats, 1400H) jilid. 1 hal. 57.]

Dan macam-macam ibadah yang diperintah Allah itu, antara lain : Islam (Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji), Iman, Ihsan, Do’a, Khauf (takut), Raja’ (pengharapan), Tawakkal, Raghbah (penuh harap), Rahbah (cemas), Khusyu’ (tunduk), Khasyyah(takut), Inabah (kembali kepada Allah), Isti’anah (memohon pertolongan), Isti’adzah (meminta perlindungan), Istighatsah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan), Dzabh (penyembelihan) Nadzar dan macam-macam ibadah lainnya yang diperintahkan oleh Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Artinya : Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (Al-Jinn : 18).



Karena itu barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka dia adalah musyrik dan kafir.

Firman Allah Ta’ala : Artinya : "Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka benar-benar balasannya ada pada tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang kafir itu”. (Al-Mu’minuun :117).

Dalil-dalil macam Ibadah :

1. Dalil Do’a.

Firman Allah Ta’ala : “Artinya : Dan Tuhanmu berfirman : Berdo’alah kamu kepada-Ku niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina-dina”. (Ghaafir : 60).

Dan diriwayatkan dalam hadits :

“Artinya : Do’a itu adalah intisari ibadah”. ( Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami’ Ash-Shahiih, kitab Ad-Da’waat, bab 1. “Maksud hadits ini adalah bahwa segala macam ibadah, baik yang umum maupun yang khusus, yang dilakukan seorang mu’min, seperti mencari nafkah yang halal untuk keluarga, menyantuni anak yatim dll, semestinya diiringi dengan permohonan redha Allah dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh karena itu Do’a (permohonan dan pengharapan tersebut) disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sari atau otak ibadah, karena sentiasa harus mengiringi gerak ibadah”).

2. Dalil Khauf (takut).

Firman Allah Ta’ala : “Artinya : Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Ali ‘imran : 175).


3. Dalil Raja’ (pengharapan).

Firman AllahTa’ala. “Artinya : Untuk itu barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhanya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (Al-Kahfi : 110).

4. Dalil Tawakkal (berserah diri).

Firman Allah Ta’ala : “Artinya : Dan hanya kepada Allah-lah supaya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Al-Maa’idah : 23).

“Artinya : Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang akan mencukupinya”. (Ath-Thalaaq : 3).


5. Dalil Raghbah (penuh minat), Rahbah (cemas) dan Khusyu’ (tunduk).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Sesungguhnya mereka itu sentiasa berlomba-lomba dalam (mengerjakan) kebaikan-kebaikan serta mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh minat (kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu selalu tunduk hanya kepada Kami”. (Al-Anbiyaa : 90).


6. Dalil Khasy-yah (takut).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku”. (Al-Baqarah : 150).


7. Dalil Inabah (kembali kepada Allah).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu serta berserah dirilah kepada-Nya (dengan mentaati perintah-Nya), sebelum datang adzab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat tertolong (lagi)”. (Az-Zumar : 54).


8. Dalil Isti’anah (memohon pertolongan).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan”. (Al-Faatihah : 4).


Dan diriwayatkan dalam hadits : “Artinya : Apabila kamu memohon pertolongan, maka memohonlah pertolongan kepada Allah”. (Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami’ ‘Ash-Shahiih, kitab Shifaat Al-Qiyaamah wa Ar-Raqa’iq wa Al-Wara : bab 59 dan riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad. Beirut Al-maktab Al-Islami 1403H jilid 1 hal. 293, 303, 307).

9. Dalil Isti’adzah (meminta perlindungan).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Katakanlah Aku berlindung kepada Tuhan yang Menguasai subuh”. (Al-Falaq : 1).


Dan firman-Nya : “Artinya : Katakanlah Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Penguasa manusia”.(An-Naas : 1-2).

10. Dalil Istighatsah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : (Ingatlah) tatkala kamu meminta pertolongan kepada Tuhanmu untuk dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu”. (Al-Anfaal : 9).


11. Dalil Dzabh (penyembelihan).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Katakanlah. Sesungguhnya shalatkku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sesuatu-pun sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri (kepada-Nya)”. (Al-An’am : 162-163).

Dalil dari Sunnah : “Artinya : Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) bukan karena Allah”. (Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al-Adhaahi, bab 8 dan riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108, 118 dan 152)

12. Dalil Nadzar.

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang siksanya merata di mana-mana”. (Al-Insaan : 7).


MENGENAL ISLAM

Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.

I. Rukun (Tingkatan) Islam
Adapun tingkatan Islam, rukunnya ada lima :

1) Syahadat (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa “Laa Ilaaha Ilallaah” (Tiada sesembahan yang haq selain Allah) dan Muhammad adalah Rasulullah.

2) Mendirikan shalat.

3) Mengeluarkan zakat.

4) Puasa pada bulan Ramadhan.

5) Dan Haji ke Baitullah Al-Haram.

1. Dalil Syahadat.

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Allah menyatakan bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Dia, dengan sentiasa menegakkan keadilan (Juga menyatakan demikian itu) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tiada sesembahan (yang haq) selain Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Imraan : 18).

“Laa Ilaaha Ilallaah” artinya : Tiada sesembahan yang haq selain Allah.

Syahadat ini mengandung dua unsur : menolak dan menetapkan “Laa Ilaaha”, adalah menolak segala sembahan selain Allah. “Illallaah” adalah menetapkan bahwa penyembahan itu hanya untuk Allah semata-mata, tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu didalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di dalam kekuasaan-Nya.

Tafsiran syahadat tersebut diperjelas oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kepada kaumnya : ‘Sesungguhnya aku menyatakan lepas dari segala yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang telah menciptakan-ku, karena sesungguhnya Dia akan menunjuki’. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka sentiasa kembali (kepada tauhid)”. (Az-Zukhruf : 26-28).


“Artinya : Katakanlah (Muhammad) : ‘Hai ahli kitab ! Marilah kamu kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, yaitu ; hendaklah kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya serta janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka :’Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang muslim (menyerahkan diri kepada Allah)”. (Ali ‘Imran : 4).


Adapun dalil syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kalangan kamu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) untukmu, amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (At-Taubah : 128).

Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah, berarti : mentaati apa yang diperintahkannya, membenarkan apa yang diberitakannya, menjauhi apa yang dilarang serta dicegahnya, dan menyembah Allah hanya dengan cara yang disyariatkannya.

2. Dalil Shalat dan Zakat serta makna Tauhid.

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya lagi bersikap lurus, dan supaya mereka mendirikan Shalat serta mengeluarkan Zakat. Demikian itulah tuntunan agama yang lurus”. (Al-Bayyinah : 5).

3. Dalil Shiyam

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu untuk melakukan shiyam, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (Al-Baqarah : 183).


4. Dalil Haji.

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan hanya untuk Allah, wajib bagi manusia melakukan haji, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha tidak memerlukan semesta alam”. (Al ‘Imran : 97).


II. Tingkatan Iman.

Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat “LaiIlaaha Ilallaah”, sedang cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu adalah salah satu dari cabang Iman.

Rukun Iman ada enam, yaitu :

1) Iman kepada Allah.

2) Iman kepada para Malaikat-Nya.

3) Iman kepada Kitab-kitab-Nya.

4) Iman kepada para Rasul-Nya.

5) Iman kepada hari Akhirat, dan

6) Iman kepada Qadar, yang baik dan yang buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam semesta ini adalah diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Dalil keenam rukun ini, firman Allah Ta’ala. “Artinya : Berbakti (pada ALLAH) itu bukanlah sekedar menghadapkan wajahmu (dalam shalat) ke arah Timur dan Barat, tetapi berbakti (dan Iman) yang sebenarnya ialah iman seseorang kepada Allah, hari Akhirat, para Malaikat, Kitab-kitab dan Nabi-nabi...”. (Al-Baqarah : 177).

Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan sesuai dengan qadar”. (Al-Qomar : 49).

III. Tingkatan Ihsan.

Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu :

“Artinya : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. (Pengertian Ihsan tersebut adalah penggalan dari hadits Jibril, yang dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, sebagaimana akan disebutkan).


Dalilnya, firman Allah Ta’ala. “Artinya : Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan”. (An-Nahl : 128).

Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan bertakwallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesunnguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Asy-Syu’araa : 217-220).


Serta firman-Nya. “Artinya : Dalam keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur’an yang kamu baca, serta pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan, tidak lain kami adalah menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya”. (Yunus : 61).


Adapun dalilnya dari Sunnah, ialah hadits Jibril[5] yang masyhur, yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuhnya tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menyandarkan kelututnya pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau, dan berkata :

‘Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam’, maka beliau menjawab :’Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah serta Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana’.

Lelaki itu pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kata Umar:’Kami merasa heran kepadanya, ia bertanya kepada beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata : ‘Beritahulah aku tentang Iman’.Beliau menjawab :’Yaitu : Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk’. Ia pun berkata : ‘Benarlah engkau’.Kemudian ia berkata :

‘Beritahullah aku tentang Ihsan’. Beliau menjawab :Yaitu : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamumelihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu’. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab : ‘Orang yang ditanya tentang hal tersebut tidak lebih tahu dari pada orang yang bertanya’.

AKhirnya ia berkata :’Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu’. Beliau menjawab : Yaitu : ‘Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun bangunan yang tinggi’. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu, semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi bertanya : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ? Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.

Beliau pun bersabda : ‘Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian”. (Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al-Iman, bab 1, hadits ke 1. Dan diriwayatkan juga hadits dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-Iman, bab 37, hadits ke 1.)

MENGENAL NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdullah, bin ‘Abdul Muthallib, bin Hasyim. Hasyim adalah termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa Arab, sedang bangsa Arab adalah termasuk keturunan Nabi Isma’il, putera Nabi Ibrahim Al-Khalil. Semoga Allah melimpahkan kepadanya dan kepada Nabi kita sebaik-baik shalawat dan salam.

Beliau berumur 63 tahun, diantaranya 40 tahun sebelum beliau menjadi nabi dan 23 tahun sebagai nabi dan rasul.

Beliau diangkat sebagai nabi dengan “Iqra” yakni surah Al-’Alaq : 1-5, dan diangkat sebagai rasul dengan surah Al-Mudatstsir.

Tempat asal beliau adalah Makkah.

Beliau diutus Allah untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid. Dalilnya, firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Wahai orang yang berselimut ! Bangunlah, lalu sampaikanlah peringatan. Agungkanlah Tuhanmu. Sucikalah pakaianmu. Tinggalkanlah berhala-berhala itu. Dan janganlah kamu memberi, sedang kamu menginginkan balasan yang lebih banyak. Serta bersabarlah untuk memenuhi perintah Tuhanmu”. (Al-Mudatstsir : 1-7).


Pengertian : “Sampaikanlah peringatan”, ialah menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.“Agungkanlah Tuhanmu”. Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan beribadah kepada-Nya semata-mata.“Sucikanlah pakaianmu”, maksudnya ; Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan syirik. “Tinggalkanlah berhala-berhala itu”, artinya : Jauhkan dan bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.

Beliaupun melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu beliau di mi’rajkan (diangkat naik) ke atas langit dan disyari’atkan kepada beliau shalat lima waktu. Beliau melakukan shalat di Makkah selama tiga tahun. Kemudian, sesudah itu, beliau diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah, pengertiannya, ialah : Pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islami.

Hijrah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam. Dan kewajiban tersebut hukumnya tetap berlaku sampai hari kiamat.

Dalil yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu firman Allah Ta’ala. “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan zhalim terhadap diri mereka sendiri[6], kepada mereka malaikat bertanya :’Dalam keadaan bagaimana kamu ini .?
‘Mereka menjawab : Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah). Para malaikat berkata : ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (kemana saja) di bumi ini ?. Maka mereka itulah tempat tinggalnya neraka Jahannam dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk empat kembali. Akan tetapi orang-orang yang tertindas di antara mereka, seperti kaum lelaki dan wanita serta anak-anak yang mereka itu dalam keadaan tidak mampu menyelamatkan diri dan tidak mengetahui jalan(untuk hijrah), maka mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah adalah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun”. (An-Nisaa : 97-99).


Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman ! Sesungguhnya, bumi-Ku adalah luas, maka hanya kepada-Ku saja supaya kamu beribadah”. (Al-Ankabut : 56).

Al-Baghawi[7], Rahimahullah, berkata : ”Ayat ini, sebab turunnya, adalah ditujukan kepada orang-orang muslim yang masih berada di Makkah, yang mereka itu belum juga berhijrah. Karena itu, Allah menyeru kepada mereka dengan sebutan orang-orang yang beriman”.

Adapun dalil dari Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Hijrah tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum ditutup, sedang pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari barat”. (Hadits Riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 4, hal. 99. Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Al-Jihad, bab 2, dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya, kitab As-Sam, bab 70).

Setelah Nabi Muhammad menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji, adzan, jihad, amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta syariat-syariat Islam lainnya.

Beliau-pun melaksanakan untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun. Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam keadaan lestari.

Inilah agama yang beliau bawa : Tiada suatu kebaikan yang tidak beliau tunjukkan kepada umatnya dan tiada suatu keburukan yang tidak beliau peringatkan kepada umatnya supaya di jauhi. Kebaikan yang beliau tunjukkan ialah tauhid serta segala yang dicintai dan diredhai Allah, sedang keburukan yang beliau peringatkan supaya dijauhi ialah syirik serta segala yang dibenci dan tidak disenangi Allah.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia, dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk mentaatinya. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Katakanlah. ‘Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua”. (Al-Araaf : 158).


Dan melalui beliau, Allah telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita, firman Allah Ta’ala. “..Pada hari ini[8], telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku lengkapkan kepadamu ni’mat-Ku serta Aku redhai Islam itu menjadiagama bagimu”. (Al-Maaidah : 3).

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga wafat, ialah firman Allah Ta’ala.

“Artinya :Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka-pun akan mati (pula). Kemudian, sesungguhnya kamu nanti pada hari kiamat berbantah- bantahan di hadapan Tuhanmu”. (Az-Zumar : 30-31).

Manusia sesudah mati, mereka nanti akan dibangkitkan kembali.

Dalilnya firman Allah Ta’ala. “Artinya : Berasal dari tanahlah kamu telah Kami jadikan dan kepadanya kamu Kami kembalikan serta darinya kamu akan Kami bangkitkan sekali lagi” (Thaa-haa : 55).

Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalamnya (lagi) dan (pada hari Kiamat) Dia akan mengeluarkan kamu dengan sebenar-benarnya”. (Nuh : 17-18).

Setelah manusia dibangkitkan, mereka akan di hisab dan diberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka, firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Dan hanya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat buruk sesuai dengan perbuatan mereka dan memberi alasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan (pahala) yang lebih baik (surga)”. (An-Najm : 31).

Barangsiapa yang tidak mengimani kebangkitan ini, maka dia adalah kafir, firman Allah Ta’ala.

“Artinya : (Kami telah mengutus) rasul-rasul menadi penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan, supaya tiada lagi suatu alasan bagi menusia membantah Allah sebelum (diutusnya), serta beliulah penutup para nabi”. (An-Nisaa : 165).

“Artinya : Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakan : ‘Tidaklah demikian. Demi Tuhanku, kamu pasti akan dibangkitkan dan niscaya akan diberitakan kepadamu apapun yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah amat mudah bagi Allah”. (At-Taghaabun : 7).

Allah telah mengutus semua rasul sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala.

“Artinya : (Kami telah mengutus) rasul-rasul menjadi penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan supaya tiada lagi suatu alasan bagi manusia membantah Allah setelah (diutusnya) para rasul itu ..” (An-Nisaa :165).

Rasul pertama adalah Nabi Nuh ‘Alaihissalam[9], Dan rasul terkahir adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta beliaulah penutup para nabi. Dalil yang menunjukkan bahwa rasul pertama adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Sesungguhnya Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya ..” (An-Nisaa : 163).

Dan Allah telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad, dengan memerintahkan mereka untuk beribadat kepada Allah semata-mata dan melarang mereka beribadah kepada thagut. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan) :’Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thagut itu ..”. (An-Nahl : 36).

Dengan demikian, Allah telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir terhadap thagut dan hanya beriman kepada-Nya. Ibnu Al-Qayyim[10], Rahimahullah Ta’ala, telah menjelaskan pengertian thagut tersebut dengan mengatakan. “Artinya : Thagut, ialah setiap yang diperlakukan manusia secara melampui batas (yang telah ditentukan oleh Allah), seperti dengan disembah, atau diikuti atau dipatuhi”.

Dan Thagut itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada lima :

1) Iblis, yang telah dilaknat oleh Allah.

2) Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela.

3) Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.

4) Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib, dan

5) Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman. “Artinya : Tiada paksaan dalam (memeluk) agama ini. Sungguh telah jelas kebenaran dari kesesatan. Untuk itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka dia benar-benar telah berpegang teguh dengan tali yang terkuat, yang tidak akan terputus tali itu. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah : 256).

Ingkar kepada semua thagut dan iman kepada Allah saja, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tadi, adalah hakekat syahadat “Laa Ilaaha Ilallah”.

Dan diriwayatkan dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Pokok agama ini adalah Islam[11], dan tiangnya adalah shalat, sedang ujung tulang punggungnya adalah jihad fi sabilillah”. (Hadits Shahih riwayat Ath-Thabarani dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, dan riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami Ash-Shahih, kitab Al-Imaan, bab 8).

Hanya Allah-lah Yang Mahatahu. Semoga shalawat dan salam sentiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad kepada keluarga dan para sahabatnya.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i Al-Hasyim Al-Quraisy Al-Muthallibi (150-204H - 767-820M) Salah seorang imam Empat. Dilahirkan di Gaza (Palestina) dan meninggal di Cairo. Diantara karya ilmiyahnya Al-Umm, Ar-Risalah dan Al-Musnad.

[2] Abu ‘Abdillah Miuhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al- Bukhari (194-256H - 810-870M) Seorang Ulama ahli Hadits. Untuk mengumpulkan hadits ia telah menempuh perjalanan yang panjang, mengunjungi Khurasan, Irak, Mesir dan Syam. Kitab-kitab yang disusunnya antara lain Al-Jaami Ash-Shahih (yang lebih dikenal dengan Shahih Bukhari), At-Taarikh, Adh-Dhu’afaa, Khalq Af’aal al-Ibaad.

[3] Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-’ilm, bab.10.

[4] Abu Al-Fidaa : Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasy Ad-Dimasyqi (701-774H - 1302-1373M). Seorang ahli ilmu hadits, tafsir, fiqh dan sejarah. Diantara karyanya : Tafsir Al-Qur’aan Al-Azhim, Thabaqat Al-Fuqahaa Asy Syafiiyyun, al-Bidayah wa An-Nihayah (sejarah), Ikhtishaar ‘Uluum Al-Hadits, Syarh Shahih Al-Bukhari (belum sempat dirampungkannya).

[5] Disebut hadits Jibril, karena Jibril-lah (malaikat) yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menanyakan kepada beliau tentang, Islam, Iman dan masalah hari Kiamat. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada kaum muslimin tentang masalah-masalah agama.

[6] Yang dimaksud dengan orang-orang yang zhalim terhadap diri mereka sendiri dalam ayat ini, ialah orang-orang penduduk Makkah yang sudah masuk Islam tetapi mereka tidak mau hijrah bersama Nabi, padahal mereka mampu dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada diantara mereka yang terbunuh.

[7] Abu Muhammad Al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farra’ atau Ibnu Al-Farra’. Al Baghawi (436-510H - 1044-1117M). Seorang ahli dalam bidang fiqh, hadits dan tafsir. Di antara karyanya : At-Tahdziib (fiqh), Syarh As-Sunnah (hadits), Lubaab At-Ta’wiil fi Ma’aalim At-Tanziil (tafsir).

[8] Maksudnya, adalah hari Jum’at ketika wukuf di Arafah, pada waktu Haji Wada.

[9] Selain dalil dari Al-Qur’an yang disebutkan Penulis, yang menunjukkan bahwa Nabi Nuh adalah rasul pertama, di sana juga ada hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Nuh adalah rasul pertama yang di utus kepada penduduk bumi ini, seperti hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al-Anbiya, bab 3 dan riwayat Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Iman, bab. 84. Adapun Nabi Adam Alaihissalam, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari, Radhiyallahu anhu. Beliau adalah nabi pertama. Dan disebutkan dalam hadits ini bahwa jumlah para nabi ada 124 ribu orang, dari jumlah tersebut sebagai rasul 315 orang, dan dalam riwayat lain disebutkan 310 orang lebih. Lihat : Imam Ahmad, Al-Musnad, jilid 5, hal. 178, 179 dan 265.

[10] Abu Abdillah : Muhammad bin Abu Bakar, bin Ayyub, bin Said, Az-Zur’i,Ad-Dimasqi, terkenal dengan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (691-751H - 1292 - 1350M). Seorang ulama yang giat dan gigih dalam mengajak umat Islam pada zamannya untuk kembali kepada tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah serta mengikuti jejak para Salaf Shalih. Mempunyai banyak karya tulis, antara lain : Madaarij As-Salikin, Zaad Al-Ma’aad, Thariiq Al-Hijratain wa Baab As-Sa’aadatain, At-Tibyaan fi Aqwaam Al-Qur’aan, Miftah Daar As-Sa’aadah.

[11] Silahkan melihat kembali pengertian Islam yang disebutkan oleh Penulis, dalam Tiga Landasan Utama bagian 3/4 (Kitab Utsuluts Tsalatsah, Muhammad bin Abdul Wahhab).

Wednesday, January 27, 2010

Thoharah Wanita

Disediakan oleh: Mohamad Abdul Kadir bin Sahak
Rujukan utama: Qawa’id wa Masa’il fi Toharah al-Mar’ah al-Muslimah
Oleh: Syeikhah binti Muhammad al-Qasim.
Penyemak: Dr. Abdullah bin Nasir al-Salami. Ustaz Fiqh al-Muqaran, Ma’had al-‘Aliy li al-Qadha’
*** Nota ini dibentang di dalam slot kuliah toharah wanita, Daurah Siswi USM di Institut al-Qayyim, Pulau Pinang, pada 22 Januari 2010.

-----------------------

Pertama: Kaedah dan Permasalahan Haid

Haid: Darah tabi’e yang keluar disebabkan oleh sifat-sifat yang selamat (normal) yang keluar dari pangkal rahim wanita selepas baligh dengan cara yang betul dan pada waktu yang tertentu.[1]

Pengertian lain disebut: Haid adalah darah yang berlaku kepada kaun wanita dengan tuntutan penciptaannya tanpa sebab dan berlaku pada masa yang diketahui, ia berupa darah normal yang keluar bukan disebabkan sakit, luka, terjatuh atau bersalin.[2]

Allah s.w.t. berfirman: (maksudnya): “Mereka bertanya kepada engkau tentang haid, katakan kepada mereka ia berupa kotoran, maka kamu semua jauhilah wanita ketika mereka haid dan jangan mendekati mereka (jangan menyetubuhi) ketika mereka haid sehinggalah mereka bersuci, apabila mereka bersuci dan datangilah mereka dalam bentuk yang disuruh oleh Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci.” (al-Baqarah: 222)

Permasaalahan Berkaitan Haid

1. Haid yang keluar lebih dari tempoh biasa. Yang lebih itu dikira haid.
Contoh: tempoh biasa selama lima hari, kemudian dia keluar lebih dari tempoh biasa kepada tujuh hari. Dalam keadaan ini tempoh lebih itu dikira sebagai haid. jadilah haidnya tujuh hari.

2. Haid yang keluar kurang dari tempoh biasa. Ia dikira berdasarkan tempoh yang kurang itu. Contoh: kebiasaannya lima hari, kemudian ia berkurang kepada empat hari. Maka haidnya dikira selama empat hari sahaja.

3. Haid keluar lebih dari tempoh biasa disebabkan suatu penghalang. Contoh: seorang wanita menggunakan Intra-Uterine Device (IUDs - Alat Kawalan Kehamilan). Kemudian tempoh haidnya bertambah dari lima hari ke lapan hari selepas menggunakannya. Tempoh haidnya dikira selama lapan hari. Tambahan tempoh keluar darah itu dikira sebagai haid, dalam masa yang sama dia perlu melakukan pemeriksaan doktor untuk kepastian IUD nya berada dalam kedudukan yang betul, dan tidak menyebabkan luka dan pendarahan.

4. Haid datang awal dari biasa. Contoh: kebiasaannya haid datang pada akhir bulan. Kemudian datang awal seminggu atau sepuluh hari sebagai contoh. Maka ia dikira sebagai haid.

5. Haid datang lewat dari biasa. Contoh: kebiasanya dia datang pada pertengahan bulan, kemudian dia datang pada akhir bulan. Maka haid dikira pada akhir bulan apabila dia datang.

Kaedah dalam persoalan di atas:

متى رأت الدم فهي حائض ومتى طهرت منه فهي طاهر سواء زادت عن عادتها أم نقصت وسواء تقدمت أو تأخرت

“Apabila kelihatan darah, ia dikira haid. Apabila bersih daripada darah, ia dikira suci samaada lebih dari tempoh kebiasaan atau kurang, samaada terawal atau terlewat.”

6. Kadang-kadang darah haid keluar mengalir berterusan dalam tempoh haid. (ini merupakan keadaan kebanyakan wanita) Contoh: tompoh haidnya lima hari dan darahnya keluar mengalir berterusan setelah itu bersih.

7. Haid keluar terpisah-pisah dan berhenti-henti dalam tempoh kebiasaannya. Maka apabila ada darah dikira haid. Apabila tidak ada darah dan kering dikira suci. Contoh: tempoh biasa haid selama lapan hari, datang dalam sesuatu bulan selama empat hari kemudian berhenti dua hari, kemudian datang semula selama dua hari. Maka empat hari pertama dikira haid, dua hari pertengahan yang bersih dan kering dikira suci (perlu solat dan puasa) dan dua hari berikutnya bersama darah dikira haid. Ini kerana kebiasaan haidnya adalah lapan hari. Ini kerana asal hukum darah yang keluar dari kemaluan wanita dikira sebagai darah haid, selama tidak dipastikan darah itu bukan darah haid. Inilah pandangan Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah.

8. Asalnya, darah yang dikira haid adalah yang datang sehari semalam[3], kerana Nabi s.a.w. mengaitkannya berdasarkan kebiasaan wanita. Sabda baginda:

تَحَيَّضِيْ فِيْ عِلْمِ اللهِ سِتًا أوْ سَبْعًا كَمَا تَحِيْضُ النِّسَاءُ وَيَطْهُرْنَ

Maksudnya: “Kiralah haid seperti dalam ilmu Allah, enam hari atau tujuh hari, sama seperti haidnya para wanita.”[4]

Tidak ada kebiasaan haid yang berlaku kurang dari sehari semalam. Oleh itu darah yang keluar kurang dari sehari semalam tidak dikira sebagai haid.

Kaedah yang digunakan:

إذا انقطع الدم يوما وليلة فأكثر بين أيام الحيض فهذا طهر, وإن انقطع أقل من يوم وليلة فالدم في حكم الحيض

Maksudnya: “Apabila darah berhenti sehari semalam atau lebih diantara hari-hari haid, ia dikira suci. Jika berhenti kurang dari sehari semalam, maka darah yang keluar dikira darah haid.”

Contoh lain:

1. Tempoh biasa haid seseorang itu tujuh hari. Pada hari kelima darah berhenti bermula dari subuh hingga hujung malam, dimana jika disentuh dia tidak mendapati sebarang kesan. Kemudian haid itu datang semula pada hari keenam dan ketujuh. Maka hari kelima dikira hari yang bersih dari haid, kerana bersih dari haid dikira dengan kering darah pada kebiasaannya dan kadang-kadang dengan keluar cecair bewarna jernih (الْقَصَّةُ الْبَيْضَاءُ).

2. Tempoh biasa haid tujuh hari. Pada hari kelima darah berhenti bermula dari subuh hingga ke waktu asar. Ini dikira hukum haid kerana kurang dari sehari semalam.

9. Darah datang selepas tempoh biasa dan setelah mandi dua hari atau lebih sebagai contoh. Asalnya darah yang datang selama sehari semalam dikira darah haid seperti yang telah dinyatakan sebelum ini, selagi tidak dapat dipastikan ia bukan disebabkan luka atau pendarahan. Contoh: Tempoh biasa haid yang sedia diketahui oleh seseorang wanita itu adalah empat hari. Kemudian bersih kemudian darah kembali semula pada hari keenam dan ketujuh. Maka darah pada hari keenam dan ketujuh itu dikira darah haid.

10. Sekiranya tempoh haid bertambah dari tempoh kebiasaan haidnya dalam salah satu bulan. Tambahan itu dikira sebagai haid. contoh: sekira tempoh haidnya lima hari. Tetapi dalam salah satu bulan, darah keluar berterusan sehingga sebelas hari, kemudian bersih. Ini bermakna darah haidnya bagi bulan tersebut ialah sebelas hari.
Sekiranya darah berterusan. Dia boleh tunggu sehingga tempoh paling lama haid iaitulah selama lima belas hari[5].

Jika darah itu keluar hingga ke tempoh ini, setelah selesai tempoh dia perlu mandi dan dia dikira suci. Sekalipun darah terus keluar. Dia perlu berwudhu setiap kali solat dan membasuh kesan darah jika terkena pakaian. Darah yang keluar itu dikira darah istihadhah. Inilah mazhab jumhur ulama.

Adapun jika darah tersebut berterusan keluar sehingga bulan berikutnya. Ia dikira seorang yang mustahadah. Orang yang mustahadhah yang dimaksudkan di sini ialah orang yang mendapati darah keluar sebulan penuh atau kebanyakan hari, darah itu tidak berhenti melainkan sehari atau dua hari sahaja. Maka hukum-hakamnya adalah seperti berikut:

Keadaan pertama: seorang wanita yang sedia ketahui kebiasaan haidnya sebelum ditimpa Istihadah. yang mana kebiasaannya sebelum ditimpa istihadhah, haidnya selama lima atau lapan hari di awal bulan atau dipertengahannya. Maka dia mengetahui waktu dan bilangan harinya. Maka wanita ini selama tempoh dan waktu itu dia dikira haid. Setelah tamat tempoh kebiasaan haidnya, dia perlu mandi dan menunaikan solat. Darah yang tinggal itu dikira darah istihadah. Dia perlu berwudhu setiap kali solat. Jika keadaan ini menyukarkan, dia boleh berwudhu dan melakukan jama’ antara zohor dengan asar dan maghrib dan isyak.

Keadaan kedua: Jika kebiasaan darah haidnya tidak dapat dikenal pasti. Akan tetapi darahnya (istihadhahnya) pada beberapa hari berbeza dan memiliki sifat darah haid: lebih hitam, pekat dan berbau darah haid. Sedangkan pada hari-hari yang lain darah yang keluar tidak memiliki cirri-ciri darah haid. Warnanya merah, tidak pekat dan tidak berbau seperti darah haid. Maka dalam keadaan ini darah yang keluar dan mempunyai ciri-ciri haid dikira sebagai darah haid. adapun yang tidak mempunyai ciri-ciri darah haid dikira darah istihadah.

Keadaan ketiga: Jika darah haid yang keluar bukan dari kebiasaan yang dikenali. Darah itu juga tidak memiliki ciri-ciri yang dapat membezakan antara darah haid dan yang lainnya. Maka darah itu dikira sebagai darah haid dalam tempoh kebiasaan selama enam atau tujuh hari pada setiap bulan. Kerana tempoh ini adalah kebiasaan yang terjadi kepada kebanyakan wanita. Ini bukan bermakna dia boleh pilih hari ikut suka dia. Sebaliknya dia hendaklah bertanya kepada ahli keluarga perempuannya. Seperti emak, adik beradik dan emak saudara. Sebagai contoh kebanyakan mereka darah haidnya adalah lima hari. Maka dia mengira darah haidnya sama seperti mereka. Demikianlah cara dia kiaskan keadaannya dengan kebiasaan wanita ahli keluarganya sehingga Allah sembuhkan dia daripada istihadah.

Hasilnya: Yang dipegang itu dirujuk kepada kebiasaan (jika diketahui kebiasaan itu), atau melalui perbezaan dengan cara mengenal pasti (ciri-ciri yang ada), dan jika dua cara ini tidak dapat dilakukan, haid dikira enam atau tujuh hari berdasarkan kebiasaan ahli keluarga wanita yang berada di sekelilingnya.

Cecair Kekuningan (الصفرة) dan Keruh (الكدرة)

Cecair kekuningan (الصفرة) adalah cecair yang keluar seperti nanah dan kekuningan. Cecair keruh pula seperti air kotor, bukan seperti warna darah.

Soalan: Bagaimana seorang wanita boleh mengetahui kesuciannya?

Jawapan:

1. Kebersiahannya diketahui dengan cecair jernih yang keluar dari rahim ketika berhentinya darah haid.

2. Dengan keringnya faraj. Jika diletakkan sapu tangan, ia dikeluarkan dalam keadaan kering. Maksud kering di sini ialah kering daripada cecair seperti darah, kekuningan dan kekeruhan. Ini kerana kemaluan wanita kebiasaannya tidak sunyi dari keadaan basah.

Kaedah danpersoalan kekuningan dan kekeruhan ini ialah:

1. Kekuningan dan kekeruhan yang keluar pada masa haid dikira sebagai haid. contoh: kebiasaan haid selama lima hari. Dalam salah satu bulan, darah haid datang selama dua hari, kemudian pada hari ketiga datang kekuningan dan kekeruhan, kemudian dua hari yang akhir datang semula darah haid. semua hari-hari ini dikira haid.

2. Kekuningan dan kekeruhan jika bersambung dengan hari-hari haid sebelum bersih darinya, dikira sebagai haid. contoh: darah haid datang selama lima hari. Selepas itu datang kekuningan dan kekeruhan selama dua hari, kemudian datang cecair jernih. Maka haid dikira selama tujuh hari.

3. Kekuningan dan kekeruhan yang datang setelah bersih dari haid tidak dikira. Contoh: tempoh darah haid telah selesai, dan seseorang mendapati dirinya telah bersih dari haid. Selepas itu kelihatan ada cecair kekuningan dan kekeruhan. Cecair ini tidak dikira sebagai haid. sebaliknya dikira sebagai cecair kekuningan dan kekeruhan ini sebagai Istihadah. Hukumnya sama seperti hukum istihadah. Perlu wudhu bila masuk waktu solat, dan perlu basuh kesannya yang kena pakaian. *Perlu beristinjak darinya. Dia tidak dikira haid apabila ada pemisahan antara keduanya dengan jelas.

Kaedah:

الصفرة والكدرة إذا كانت في أثناء زمن الحيض أو متصلة به قبل الطهر تكون حيضا

“Kekuningan dan kekeruhan jika datang ketika masa haid atau bersambungan dengan masa haid sebelum suci ia dikira sebagai haid.”
Ummu ‘Atiyyah r.a. berkata:

كنا لا نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر شيئا

Maksudnya: “Kami tidak mengira kekuningan dan kekeruhan yang datang selepas suci daripada haid itu sebagai haid.”[6]

4. Kekuningan dan kekeruhan sebelum keluarnya darah haid atau ia datang ketika masa haid bersama rasa sakit haid atau datang berterusan sebelum darah haid, dikira sebagai darah haid. perinciannya seperti di bawah:

- Kekuningan dan kekeruhan sebelum haid, jika ia terputus-putus bersama rasa sakit haid dikira sebagai haid. contoh: jika kelihatan kekuningan atau kekeruhan dalam tempoh sehari, dua hari atau tiga hari, bersama dengan rasa sakit haid, kemudian datang darah haid, maka tiga hari yang awal sebeluh haid dikira sebagai haid.

- Kekuningan atau kekeruhan sebelum haid jika datang secara terputus-putus tanpa rasa sakit haid dikira sebagai istihadhah.

- Kekuningan dan kekeruhan sebelum haid, jika datang secara berterusan dikira sebagai haid. contoh: jika kelihatan kekuningan atau kekeruhan selama tiga hari secara berterusan, kemudian pada hari keempat datang darah haid. maka tiga hari tersebut dikira sebagai haid.

- Kekuningan dan kekeruhan pada hari pertama haid bersama rasa sakit haid dikira sebagai haid.

5. Keluar lendir bertali nipis dan kehitaman atau kekeruhan pada hari pertama haid bersama dengan rasa sakit haid, dikira sebagai haid dengan syarat ia berterusan tanpa kering. Adapun jika lendir itu datang, kemudian berhenti, ia tidak dikira sebagai haid. ini kerana haid tidak datang kurang dari sehari semalam.

6. Sekiranya telah bersih seperti keluar cecair jernih selepas haid, kemudian datang pula kekuningan dan kekeruhan, kemudian cecair jernih sekali lagi, kemudian datang pula kekuningan dan kekeruhan. Maka cecair jenih yang pertama itu tanda habisnya haid.

7. Jika warna kekuningan dan kekeruhan yang bersambung dengan haid beransur-ansur bertukar warna kepada warna kuning, dia pula berterusan, maka perlu menunggu sehingga keluar cecair jernih dan kering. Adapun kalau perubahan warna ke kuning itu terputus-putus. Tidak dilihat melainkan sekali sahaja dalam sehari contohnya. Cecair jernih pula lewat keluar sehingga tiga hari contohnya. Maka suci dikira ketika melihat pertama kali warna kuning yang terputus itu.

Tambahan:

1. Jika seseorang wanita didatangi haid ketika sudah masuk waktu solat dan dia masih belum menunaikan solat tersebut. Dia perlu mengqadhakan solat itu apabila suci. Demikian juga dia suci, dan waktu solat ketika itu masih berbaki dalam kadar satu rakaat atau lebih. Dia kena tunaikan solat itu berdasarkan hadith:

مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ

Maksudnya: “Sesiapa yang mendapat satu rakaat dari solat subuh, sebelum terbitnya matahari, dia telah mendapat waktu Subuh tersebut, dan sesiapa yang mendapat satu rakaat dari waktu ‘Asar sebelum tenggelamnya matahari, maka dia telah mendapat waktu ‘Asar tersebut.”[7]

2. Seorang suami yang melakukan hubungan jenis dengan isterinya yang dalam keadaan haid dengan sengaja telah melakukan perkara yang diharamkan oleh Allah s.w.t. berdasarkan firmanNya di dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 222. Orang yang melakukannya hendaklah beristighfar dan bertaubat kepada Allah s.w.t.. Dia juga hendaklah bersedekah sebanyak satu dinar atau setengah dinar sebagai kafarah daripadanya. Perkara ini berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh Ahmad dan pemilik kitab sunan dengan sanad yang baik daripada Ibn ‘Abbas r.a. Nabi s.a.w. bersabda:

فَيْمَنْ يَأتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٍ : ( يَتَصَدَّقُ بِدِيْنَارٍ أوْ بِنِصْفِ دِيْنَارٍ )

Maksudnya: “Sesiapa yang mendatangi isterinya, sedang isterinya dalam keadaan haid: Hendaklah dia bersedekah satu dinar atau setengah dinar.”

3. Termasuk dalam kepercayaan khurafat wanita yang beranggapan kain tuala wanita yang dipenuhi darah haid, hendaklah terlebih dahulu dibersihkan sebelum dibuang. Kononnya untuk mengelak dari dimakan syaitan dan seumpamanya. Kepercayaan ini adalah karut dan bertentangan dengan apa yang dilakukan di kalangan para wanita di zaman Nabi s.a.w. Abu Sa’id al-Khudriy r.a. bekata:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَلُحُومُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Maksudnya: Pernah ditanya kepada Rasulullah s.a.w., apakah kami boleh berwudhu dengan air dari telagan Budha’ah, Iaitu telaga yang tempat dibuang kain tuala wanita (bekas haid), sisa anjing dan kotoran? Nabi s.a.w. menjawab: “Sesungguhnya air itu suci, tidak menajiskannya sesuatupun.”

Kalimah al-Hiyadhu (الحِيَضُ) ialah kalimah plural untuk حِيْضَةٌ ia bermaksud kain yang digunakan untuk menahan darah haid, seperti dijelaskan oleh al-MUbarakfuri ketika mensyarahkan hadith ini. Hadith ini menunjukkan para wanita di zaman Nabi s.a.w. membuang kain tuala wanita dalam keadaan dipenuhi darah, tanpa membasuhnya terlebih dahulu.

Istihadhah dan Perkara yang berkaitan dengannya.

Wanita yang beristihadhah hendaklah mengambil wudhu pada setiap kali waktu solat dan memberisihkan pakaian yang terkenanya.

Permasalahan:

1. Wanita yang menyusukan anak, jika keluar darinya darah yang sedikit, kurang dari sehari semalam. Darah itu adalah darah istihadhah.

2. Seorang wanita yang mengambil pil perancang, dan terlupa untuk memakannya pada salah satu hari, lalu keluar darah kurang dari sehari semalam, atau keluar kekuningan atau kekeruhan, kemudian wanita tersebut ambil semula ubat tersebut, dan darah itu berhenti, maka darah itu adalah istihadhah. Adapun jika darah itu berterusan keluar selama sehari semalam atau lebih ia adalah darah haid.

3. Seorang wanita yang mengambil pil perancang. Selepas seminggu atau sepuluh hari dari hari mula mengambilnya, kemudian dia berhenti dari mengambil umat, lalu darah keluar, ia dikira darah haid.

4. Jika mengambil pil perancang atau pil elak datang haid untuk haji atau puasa, namun disebabkan cuaca yang terlalu panas atau seumpamanya seperti berjalan atau berada dalam suasana tertekan, keluar kekuningan atau kekeruhan, ia dikira istihadhah.

5. Jika dalam keadaan memaksa diri melakukan sesuatu, atau mengangkat sesuatu yang berat atau menaiki kenderaan yang tidak selesa dan menyukarkan, atau memakan sesuatu herba, kemudian keluar darah pada bukan waktu haid, dan darah itu tidak memiliki cirri-ciri darah haid samaada warna dan baunya, ia dikira istihadhah.

Perhatian:

1. Keputihan dan kekuningan yang keluar dari rahim bukan pada waktu haid adalah suci, tidak perlu wudhu dan basuk kesannya yang kena pada pakaian, ia sama seperti cecair atau kotoran telingan, hidung dan mata.

2. Angin yang keluar dari qubul wanita tidak membatalkan wudhu.
Nifas dan persoalan sekitarnya
Nifas ialah darah yang keluar setelah kosongnya rahim. Iaitu setelah anak yang dikandung dilahirkan.

1. Darah yang keluar beserta dengan rasa sakit hendak melahirkan anak (الْمَخَاض / الطَلْق) sebelum kelahiran sehari atau dua hari dikira sebagai darah nifas. Tak perlu solat dan puasa.

2. Keluar air jernih (putih) yang keluar sebelum kelahiran, samaada disertai dengan rasa sakit hendak bersalin ataupun tidak. Tidak dikira darah nifas. Sebaliknya hukumnya sama dengan hukum kekuningan dan kekeruhan. perlu wudhu dan basuh kesannya yang kena pakaian dan perlu solat sekadar yang mampu. Jika tak mampu berwudhu, boleh tayammum.

3. Jika berlaku keguguran:

1. Jika janin telah membentuk dan umurnya lapan puluh satu hari (81) atau lebih, maka darah yang keluar dikira nifas.

2. Jika janin kurang dari lapan puluh satu hari dan belum membentuk. Darah yang keluar dikira darah fasad yang sama hukumnya dengan istihadhah.

3. Jika seorang ibu keguguran dan timpuh hamilnya 81 hari. Akan tetapi janin telah mati di dalam kandungan semenjak dua minggu dan belum membentuk. Darah yang keluar adalah darah fasad. Hukumnya sama dengan istihadhah.

*yang dijadikan panduan ialah janin itu telah membentuk (setelah 81 hari). Iaitu setelah zahir tangannya atau bentuk kepalanya, atau tangannya telah membentuk dari darah yang telah berketul.

Tempoh suci daripada nifas:

1. Tempoh paling lama ialah 40 hari. Lebih dari itu dikira istihadhah. Ini adalah pandangan kebanyakan ulama terdiri: Mazhab Hanafi, Ahmad berdasarkan riwayat yang masyhur, al-Tirmizi mendakwa ini juga pandangan Sufyan, Ibn al-Mubarak, Ishak dan kebanyakan ulama.

Namun pandangan mazhab Malik, al-Syafie dan Ahmad dalam satu riwayat yang lain sebanyak 60 hari.

Al-Hasan al-Basri pula berkata antara 40 – 50 hari. Kalau lebih ia dikira Istihadhah.

Ada juga pandangan yang lain. Semua pandangan ini adalah ijtihad, tidak ada satupun dalil yang sahih dan jelas dalam masalah ini melainkan pandangan mazhab yang pertama. Dalil tersebut thabit dari Ibn ‘Abbas r.a.:

النُفَسَاءُ تَنْتَظِرُ نَحْواً مِنْ أرْبَعِيْنَ يَوْماً

Maksudnya: “Wanita yang mengalami darah nifas, menunggu sesehingga lebih kurang 40 hari.”[8]

Juga riwayat daripada Massah al-Azdiyyah daripada Ummu Slamah (isteri Nabi s.a.w.) katanya:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ أَبِي سَهْلٍ وَاسْمُهُ كَثِيرُ بْن زِيَادٍ عَنْ مَسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا وَكُنَّا نَطْلِي وُجُوهَنَا بِالْوَرْسِ مِنْ الْكَلَفِ

Maksudnya: “Dahulunya wanita yang mengalami darah nifas di zaman Rasulullah s.a.w. menunggu selama 40 hari… [9]

2. Kalau darah kering sebelum 40 hari, kena mandi, kemudian solat dan puasa.

3. Kalau darah kering sebelum 40 hari, kemudian wanita itu mandi, solat dan puasa, kemudian darah datang semula sebelum sempurna 40 hari. Maka darah itu darah nifas. Ibadah yang dilakukan sebelum itu dikira sah.

4. Kalau kering sebelum 40 hari, kemudian dia mandi, solat dan puasa. Kemudian datang kekuningan dan kekeruhan, belum sempurna 40 hari. Hukumnya adalah istihadhah.

5. Jika didapati kekuningan dan kekeruhan bersambungan dengan darah nifas, dan belum sempurna 40 hari. Ia dikira nifas.

6. Jika selepas nifas 40 hari, keluar darah pada waktu haid, warna dan baunya haid. dikira darah haid.

7. Sempurna 40 hari malam dan siang. Contoh seorang wanita melahirkan anak pada pukul 12 tgh. Selepas 40 hari ketika jam 12 tgh dia dikira telah sempurna 40 hari dan dikira suci.

Tambahan:

1. Jika lahir tidak keluar darah. Ulama berbeza pandangan perlu mandi atau tidak.

- Mazhab Malikiah dan Hanabilah: tak perlu mandi kerana darah tak keluar.[10] Juga pandangan ‘Uthaimin. (al-Syarh al-Mumti’ 1/281)

- Mazhab al-syafi’iyah: wajib mandi. Juga al-lujnah al-Daimah lil ifta’ (5/421)

2. Nifas tidak ada had paling sedikit.

Darah yang keluar dari wanita yang berumur lebih 50 tahun:

1. Jika darah datang seperti kebiasaan dan setiap bulan ia dikira haid.

2. Jika wanita yang telah menjangkau umur 50, haidnya datang setiap dua atau tiga bulan, sehingga umurnya 55 tahun. Ia dikiran haid. selepas dari itu asalnya dikira haid akan tetapi perlu dilakukan pemeriksaan bimbang ada bengkakan (tumor) di dalam rahim.

3. Jika darah berhenti beberapa bulan atau setahun, kemudian datang semula seperti wanita yang berhaid. Ia dikiran haid.

4. Jika darah datang tidak teratur, datang dalam tempuh yang saling berjauhan, empat atau enam bulan sebagai contoh, dan warnanya berbeza dengan warna darah haid, Ia dikira istihadhah.

5. Jika darah tidak teratur, datang dalam tempuh yang saling berjauhan, empat atau enam bulan sebagai contoh, dan warna dan baunya sama dgn haid, ia dikira haid.

6. Jika darah berhenti dari seorang wanita yang berumur lebih 50 tahun. Kemudian wanita itu mengambil ubat sakit tulang, lalu darah keluar semula dalam bentuk teratur. Darah ini dikira darah fasad, sama dengan istihadha.

Mandi. Iaitu mandi janabah terbahagi kepada dua:

i. Mandi yang memadai (صفة واجب): Iaitu melakukan perkara-perkara wajib mandi sahaja tanpa melakukan perkara-perkara sunat mandi. Perkara wajib yang dimaksudkan ialah niat dan meratakan air keseluruh badan termasuk al-Isytinsyaq dan al-Madhmadhoh, sebagai mematuhi perintah Allah s.w.t.:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

Maksudnya: “Dan jika kamu semua berada dalam keadaan junub, maka bersucilah.” (al-Maidah:6)

ii. Mandi yang sempurna (صفة كاملة): Mandi sepertimana yang dilakukan olen Nabi s.a.w. Memulakan mandian dengan membasuh kedua belah tangan, kemudian membasuh kemaluan dengan tangan kiri, kemudian mengambil wudhu sama seperti wudhu untuk menunaikan solat, kemudian membasuh kepala tiga kali, kemudian membasuh keseluruhan badan.[11]

Tidak ada perbezaan antara mandi janabah dan mandi disebabkan suci daripada Haid melainkan disunatkan berlebihan membersihkan rambut ketika mandi disebabkan Haid berbanding mandi janabah. Disunatkan juga menggunakan wangian di bahagian keluar darah untuk menghilangkan baunya. ‘Aisyah r.a. meriwayatkan:

أَنَّ أَسْمَاءَ رضي الله عنه سَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ : ( تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا ، فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا ، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ : وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ ! تَطَهَّرِينَ بِهَا ! فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ : تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ ، فَقَالَ : تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ : نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ ، لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ

Maksudnya: “Bahawa Asma r.a. pernah bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang mandi disebabkan Haid. Baginda menjawab: “Seseorang wanita menggunakan air dan daud bidara, lalu dia bersuci dan memperelokkan cucian, kemudian dia menuangkan air ke atas kepalanya dan menggosok kepalanya dengan gosokan yang bersungguh, sehingga basuhannya sampai ke pangkal rambutnya, kemudian dia menuangkan air (keseluruhan tubuhnya), kemudian dia menggunakan keratan kain yang diletakkan wangian dan dia bersuci dengannya.” Asma bertanya: “Bagaimana dia hendak bersuci dengannya keratan kain itu?” baginda menjawab: “Subhanallah!, dia bersucilah dengan kain itu.” Lalu ‘Aisyah menjelaskan dengan berbisik: “Bersihkan kain itu di tempat kesan darah (faraj). Kemudian Asma bertanya lagi tentang mandi janabah. Baginda menjawab: “Gunakan air untuk bersuci dan perelokkan cucian, kemudian tuangkan air di atas kepalanya dan menggosoknya sehingga sampai ke pangkal rambut, kemudian dia tuangkan air ke seluruh tubuh badannya.” ‘Aisyah berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Ansar, malu tidak menghalang mereka dari mempelajari agama.”[12]

Sunat membaca basmallah di permulaan wudhu dan mandian di sisi kebanyakan ulama. Sedang al-Hanabilah berpandangan wajib. Al-Syeikh Muhammad bin Soleh al-‘Uthaimin berkata:

Maksudnya: “Membaca bismillah (untuk mandi janabah) berdasarkan mazhab (hambali) adalah wajib sama seperti wudhu, akan tetapi tidak ada nas yang menunjukkannya, akan tetapi para ulama Hambali berkata: Wajib membaca bismillah ketika wudhu, maka ketika mandi adalah lebih patut menjadi wajib disebabkan ia berupa toharah yang lebih besar.”[13]

Adapun al-Madmadhah dan al-Isytinsyaq adalah wajib di lakukan ketika mandi dan wudhu di sisi mazhab Ahmad bahkan keduanya merupakan syarat sah. Manakala mazhab al-Syafie berpandangan sunat ketika mandi dan wudhu. Mazhab Hanafi berpandangan wajib ketika mandi dan sunat ketika wudhu. Satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan al-Isytinsyaq itu wajib di dalam wudhu dan mandi, manakala al-Madmadhah tidak wajib.[14]

Wanita yang menderitai penyakit keguguran rambut. Dia perlu bertayammum dan mandi pada baki badan lainnya. Kalau boleh sapu rambut dia sapu dan tayammum.

Khitan Wanita:

Kata Ibn Qudamah:

فأما الختان فواجب على الرجال ومكرمة في حقّ النساء وليس بواجب عليهن ، هذا قول كثير من أهل العلم . قال ( الإمام ) أحمد : الرّجل أشدّ .. والمرأة أهون

Maksudnya: “Adapun khitan, wajib ke atas orang lelaki, suatu kemuliaan terhadap orang wanita, bukanlah wajib ke atas mereka (wanita). Inilah pandangan kebanyakan para ulama. Imam Ahmad berkata: “Bagi lelaki (khitan itu) lebih diberatkan… manakala wanita (hukumnya) lebih ringan.”[15]

ويكون ختان الأنثى بقطع شيء من الجلدة التي كعرف الديك فوق مخرج البول ، والسنّة أن لا تُقطع كلّها بل جزء منها.

Maksudnya: “Khitan untuk wanita adalah dengan memotong sedikit daripada kulit seperti jambul ayam jantan, yang berada di atas tempat keluar air kecil. Berdasarkan sunnah tidak dipotong keseluruhannya, sebaliknya sebahagian (kecil) sahaja.”[16]

Muntah/Muak Bayi

Ulama berbeza pandangan dalam masaalah muntah. Secara umumnya ulama berpendapat muntah yang telah berubah sifat bahan makanannya dikira sebagai najis. Bahkan al-Imam al-Nawawi mendakwa perkara ini sebagai ijmak. Jika tidak berubah, sebahagian ulama tetap menganggapnya sebagai najis, manakala al-Malikiyah membezakan muntah yang telah diproses oleh perut adalah najis, manakala yang masih belum diproses oleh perut tidak najis.[17]
Al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah berkata:

ريق المولود ولعابه من المسائل التي تعم بها البلوى ، وقد علم الشارع أن الطفل يقيء كثيراً ، ولا يمكن غسل فمه ، ولا يزال ريقه يسيل على من يربيه ، ولم يأمر الشارع بغسل الثياب من ذلك ، ولا منع من الصلاة فيها ، ولا أمر بالتحرز من ريق الطفل ، فقالت طائفة من الفقهاء : هذا من النجاسة التي يعفى عنها للمشقة والحاجة كطين الشوارع ، والنجاسة بعد الاستجمار ، ونجاسة أسفل الخف والحذاء بعد دلكهما بالأرض ... بل ريق الطفل يطهر فمه للحاجة ، كما كان ريق الهرة مطهراً لفمها ، ويستدل لذلك بما ورد عن أبي قتادة رضي الله عنه ( أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصغي الإناء إلى الهر حتى يشرب ، ثم يتوضأ بفضله )

Maksudnya: “Muntah dan air liur bayi terdalam permasalahan yang dikategorikan sebagai Umum al-Balwa. Pembuat syariat mengetahui bahawa bayi sering muntah, perkara ini tidak memungkinkan kita membasuh mulutnya, dan air liurnya sentiasa mengalir dan kena kepada orang yang mengasuhnya. Oleh itu pembuat syariat tidak menyuruh membasuh pakaian dari perkara ini, dan tidak mengapa solat dengannya, dan tidak menyuruh membebaskan diri dari air liur bayi. Sekumpulan fuqaha berkata: “Ia termasuk najis yang dimaafkan disebabkan masyaqqah dan keperluan seperti tanah jalanan, demikian juga najis yang tidak dapat dibuang selepas istinjak dengan batu (atau seumpamanya), dan najis di bahagian bawah khuf dan kasut setelah digosok ke tanah.”[18]

Sentuh Mashaf bagi wanita yang haid

Ulama berbeza pandangan, Majority ulama melarang. Dan sebahagian yang lain membenarkan. Untuk keluar daripada khilaf dicadangkan wanita yang haid membaca al-Quran melalui kitab-kitab tafsir, atau menyentuhnya dengan berlapik. Wallahu a’lam.
Adapun membaca ayat al-Quran tanpa menyentuh mashaf, samaada dari hafalan atau telefon bimbit pandangan yang kuat adalah boleh.

[1] Al-Fiqh al-Manhaji
[2] Qawaid wa Masail fi
Toharah al-Marah al-Muslimah.
[3] Inilah juga pandangan Mazhab al-Syafie. Sila lihat Minhaj al-Tolibin, jld: 1, hal: 132
[4] H.R. Imam Ahmad. Khulasah al-Badr al-Munir 1/77. Darjah hadith: Hasan. http://www.dorar.net/

[5] Inilah juga pandangan Mazhab al-Syafie. lihat al-Minhaj, jid: 1, hal: 132
[6] H.R. al-Nasaie disahihkan oleh al-Albani di dalam sahih sunan al-Nasaie.
[7] H.R. al-Bukhari (579) dan Muslim (607). Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail oleh Ibn al-‘Uthaimin 11/276
[8] Riwayat Ibn al-Jarud di dalam al-Muntaqa.
[9] Riwayat al-Khamsah melainkan al-Nasaie. Al-Imam al-Bukhari berkata: “’Ali bin ‘Abd al-A’la seorang yang thiqah, dan Abu Sahl juga seorang yang thiqah.” Abu Sahl juga dithiqahkan oleh Ibn Ma’in. tetapi Massah al-Azdiyyah seorang yang Majhul al-Hal. Utk lebih terperrinci lihat Nail al-Awthar oleh al-Syaukani. Cet: Dar al-Hadith, thn: 1413H, jld: 1, hal: 351. Para ulama berbeza pandangan tentang sanad hadith ini. Ibn al-Qattan melemahkannya di dalam Bayan al-Wahm wa al-Iham. Akan tetapi disahihkan oleh al-Hakm dan di Hasankan oleh al-Nawawi. Ibn ‘Abd al-Barr r.h. di dalam al-Istizkar berkata: “Tidak ada dalam pesoalan paling lama nifas suatu yang boleh diikuti dan ditaklid meliankan yang berkata 40 hari. Ini kerana mereka adalah para sahabat Nabi s.a.w., dan tidak ada yang berbeza dengan pendapat ini sesiap dari kalangan mereka. Dan semua pendapat yang datang selain dari para sahabat, di sisi kami tidak boleh berbeza dengan mereka, kerana ijma’ sahabat adalah hujjah bagi generasi selepas mereka…”
[10] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 15/41
[11] Lihat Fatawa Arkan al-Islam oleh al-Syeikh Muhammad bin Soleh al-‘Uthaimin, hal: 248
[12] H.R. Muslim. Al-Qadhi berpandangan cucian pertama yang disebut oleh Nabi s.a.w. ialah cucian untuk menghilangkan najis yang ada di badan atau kesan darah haid yang masih melekat. Namun al-Nawawi berpandangan cucian pertama itu adalah mengambil wudhu. Sila lihat Syarh Muslim oleh al-Nawawi.
[13] Al-Syarh al-Mumti’
[14] Sila lihat al-Majmu’ oleh al-Nawawi, 1/400
[15] Al-Mughniy 1/70
[16] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 19/28
[17] Fatwa laman islamweb.net/
[18] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, jld: 39, hal: 350

Pentingnya Ilmu dalam Alam Pernikahan...

Penulis: Ida & Ummu Ishaq Zulfa Husein

Disunting oleh:Ummu Syauqina Nurharyati Husna

Pernikahan adalah hal yang fitrah….. didambakan oleh setiap orang yang normal, baik itu laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh. Dan disyariatkan oleh Islam, sebagai amalan sunnah bagi yang melaksanakannya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan rasa saling tertarik kepada lawan jenis dan saling membutuhkan, sehingga dengan itu saling mengasihi dan mencintai untuk mendapatkan ketenangan dan keturunan dalam kehidupannya. Bahkan pernikahan adalah merupakan rangkaian ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang di dalamnya banyak terdapat keutamaan dan pahala besar yang diraih oleh pasangan tersebut.

Walaupun demikian, banyak kita jumpai pada saudara-saudarai kita tealah salah menilai suatu pernikahan, bahkan di kalangan mereka tidak mengerti ilmu sekalipun.Langkah awal melakukan pernikahan didasari karena ingin lari dari suatu problem yang sedang dialami. Sebagai contoh kasus dibawah ini:

Fulanah adalah seorang muslimah, yang sudah mengkaji ilmu dien. Ia mempunyai konflik yang cukup berat dengan orang tuanya, mungkin dengan sedikitnya ilmu maka ia kurang bisa dalam bermuamalah dengan orang tuanya, atau mungkin juga karena kurang fahamnya tentang bagaimana pengalaman daripada Birrul-walidain (Berbakti kepada kedua orang tua-ed). Masalahnya ia akan dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya yang menurutnya tidak sepaham dalam hal manhaj (pemahaman).

Alasan ini adalah terpuji di dalam Islam, namun cara pendekatan dan cara menolak kepada orang tuanya yang mungkinkurang baik. Kedua orang tuanya mendesak terus agar dia menerima lelaki yang dianggap tepat untuk pasangan hidup anaknya. Fulanah sangat bingung, apalagi orangtuanya mulai mengancam dengan berbagai ancaman. Kebingungannya itu, ia kemukakan kepada salah seorang teman perempuannya sepengajian yang sudah nikah. Temannya itu pun dengan spontan menyarankan supaya dia menikah dengan teman suaminya. Fulanah dengan senang hati menerima usulan tersebut, sejuta harapan yang indah …. bayangkan !

Ia akan terbebas dari problem yang sedang ia hadapi dan dapat menjadi isteri seseorang yang sefaham dengannya nanti … boleh mengaji sama-sama,boleh mengamalkan ilmu sama-sama. Lelaki yang dimaksudpun akhirnya merasa hiba setelah mendengar cerita tentang keistiqomahan Fulanah. Dia beranggapan bahwa Fulanah lebih perlu ditolong, sekalipun cita-citanya yang menjadi taruhannya. Sebenarnya ia belum siap untuk menikah, karena sedang menimba ilmu dien bahkan baru mulai merasakan lazatnya menimba ilmu.

Singkat cerita akhirnya dengan izin Allah menikahlah mereka. Orang tuanya yang tadinya bersikap keras, mengizinkan dengan ketulusan hati seorang bapak kepada puerinya, demi kebaikan anaknya. Pernikahan berlangsung dengan disaksikan oleh kedua orangtua Fulanah dan teman-temannya.

Mulanya pasangan ini kelihatan bahagia. Dengan seribu cita-cita dan angan-angan. Fulanah ingin membentuk rumah tangga yang Islami bersama suami yang akan selalu membimbing dia dan akan selalu bersama disampingnya.

Hari-hari terus berjalan sebulan-dua bulan…, mereka mulai mengetahui kelemahan masing-masing, dan mulailah timbul perasaan kecewa di hati mereka, harapan dan cita-cita tidak sesuai dengan kenyataan. Si isteri kurang mengetahui tentang hal-hal yang harus dia lakukan, misalnya ketika suami pulang dari luar rumah; dia berpenampilan seadanya, bahkan terkesan kusut dan tidak menarik.

Mungkin dia menganggap suaminya orang baik yang tidak perlu memandang wanita yang berpenampilan indah dan menarik. Ini hanya satu contoh dan masih banyak hal lagi yang membuat suami kecewa. Sang suami yang sudah pernah merasakan lazatnya menimba ilmu, ingin kembali sibuk dalam majlis ilmu. Baginya duduk bersama teman-teman semajlis ilmu lebih mengasyikkan dari pada duduk bersama isteri yang “menjenuhkan”.

Fulanah yang masih kurang ilmu diennya, menilai bahwa suaminya telah menelantarkannya. Fulanah merasa tertekan melihat tingkah laku suaminya yang demikian. Tak tahu harus berbuat apa.Dia memang kurang mempunyai bekal ilmu untuk menghadapi pernikahan. Konflik rumah tangga pun terjadi. Ternyata konflik dengan orang tuanya yang dulu, lebih ringan rasanya dibanding dengan konfliknya yang sekarang. Kalau sudah seperti ini …. apa yang ingin ia lakukan? Cerai … dan kembali ke orang tua ? …. wal’iyadzubillah, bukan hal yang mudah !

Sesungguhnya kes yang terjadi di atas banyak kita jumpai di kalangan muslim dan muslimah yang tanpa pikir panjang dan tanpa persiapan apa-apa dalam langkahnya menuju nikah. Bahkan ada problem rumah tangga yang lebih parah lagi akibat dari pernikahan yang tanpa dilandasi oleh ilmu dien, amalan dan ketaqwaan.

Misalnya ada kemaksiatan yang terjadi di dalam rumah tangga tersebut ; suami menyeleweng atau sebaliknya, yang membuat rumah tangga menjadi sering bermasalah. Nikah yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan serta untuk mewujudkan cita-cita yang indah dan mulia, menjadi sebaliknya. Akhirnya keluarga dan anak-anak yang akan jadi korban kecerobohan kerana faktor ketergesaan.

Memang untuk mendapatkan keluarga sakinah seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan timbul. Seperti bagaimana memenuhi hak dan kewajiban suami-istri, apa tugas masing-masing dan bagaimana cara mendidik anak. Bagaimana mungkin jika tidak kita persiapkan sebelumnya? Disinilah salah satu hikmah diwajibkannya bagi setiap muslim untuk mencari ilmu.

Pentingnya Ilmu

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh sekelompok shahabat di antaranya Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu :

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”
(HR. Ahmad dalam Al’Ilal, berkata Al Hafidz Al Mizzi; hadits hasan. Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, ta’lif Ibnu Abdil Baar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)

Ilmu yang demaksud di atas adalah ilmu dien yaitu pengenalan petunjuk dengan dalilnya yang memberi manfaat bagi siapa pun yang mengenalnya.

Kita harus berilmu agar selamat hidup di dunia dan di akhirat. Karena dengan berilmu kita akan tahu mana yang diperintahkan oleh Allah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mana yang dilarang, atau mana yang disunnahkan oleh Rasul-Nya dan mana yang tidak sesuai dengan sunnah (bid’ah).

Dengan ilmu kita tahu tentang hukum halal dan haram, kita mengetahui makna kehidupan dunia ini dan kehidupan setelah kematian yaitu alam kubur, kita tahu kedahsyatan Mahsyar dan keadaan hari kiamat serta kenikmatan jannah dan kengerian neraka, dan lain sebagainya.

Dengan ilmu dapat mendatangkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena sungguh Dia Yang Maha Mulia telah berfirman :

“Sesungghnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah orang yang berilmu (ulama).” (QS. Fathir : 28)

Dengan rasa takut kepada Allah ta’ala amalan yang kita lakukan ada pengawalnya, dibenci atau diridhai oleh Allah ta’ala.

Imam Ahmad berkata :
“Asalnya ilmu adalah takut (takwa) kepada Allah Ta’ala” (Lihat Hilyah Thalibul ‘Ilmi, ta’lif Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 13)

Orang yang berilmu akan tahu betapa berat siksa Allah sehingga ia takut berbuat maksiat kepada Allah. Ilmu juga membuat orang tahu betapa besar rahmat Allah Ta’ala sehingga dalam beramal ia selalu mengharap ridha-Nya semata.

Perlu diingat bahwa bukanlah yang dimaksud dengan orang berilmu itu adalah orang yang memiliki banyak kitab atau riwayat yang diketahui, tapi yang dinamakan berilmu apabila orang tersebut memahami apa yang disampaikan kepadanya dari ilmu-ilmu tersebut dan mengamalkannya. (Lihat Syarhus Sunnah oleh Al Imam Al Barbahari)

Ilmu merupakan ubat bagi hati yang sakit dan merupakan hal yang paling penting bagi setiap manusia setelah mengenal diennya. Sehingga dengan mengenal ilmu dan mengamalkannya akan menjadi sebab bagi setiap hamba untuk masuk jannah-Nya Allah Ta’ala dan bila jahil terhadap ilmu bisa menyebabkan ia masuk neraka.

Ilmu adalah warisan dari para Nabi dan merupakan cahaya hati, setinggi-tinggi derajatnya di antara manusia dan sedekatnya-sedekatNya manusia kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….” (Al Mujaadilah : 11)

Kebutuhan seorang hamba akan ilmu dien ini, melebihi kebutuhan akan makan dan minum sampai digambarkan bahwa kebutuhan ilmu itu sama seperti manusia membutuhkan udara untuk bernafas.

Ilmu Sebagai Landasan Untuk Membentuk Rumah Tangga

Kerana nikah merupakan amalan yang sangat mulia di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan merupakan rangkaian dari ibadah, maka menikah dalam Islam bukan hanya untuk bersenang-senang atau mencari kepuasan kebutuhan biologis semata. Akan tetapi seharusnyalah pernikahan dilakukan untuk menimba masyarakat kecil yang shalih yaitu rumah tangga dan masyarakat luas yang shalih pula sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman As Shalafus Shalih.

Perlu diketahui bahwa sesungguhnya pasangan suami isteri dalam kehidupan berumah tangga akan menghadapi banyak problem dan untuk mengatasinya perlu ilmu. Dengan ilmu, pasangan suami istri tahu apa tujuan yang akan dicapai dalam sebuah pernikahan yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan dalam rangka mencari ridha-Nya semata.

Di samping itu juga dengan ilmu sepasang suami-istri sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya. Sehingga jalannya bahtera rumah tangga akan harmonis dan baik.

Suami dan isteri juga diamanahi Rabb-Nya untuk mendidik anak keturunannya agar menjadi generasi Rabbani yang tunduk pada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah. Agar keturunan yang terlahir dari pernikahan tersebut tumbuh di atas dasar pemahaman, dasar-dasar pendidikan imand dan ajaran Islam sejak kecil sampai dewasanya. Sungguh … ini merupakan tugas yang berat dan tentu saja memerlukan ilmu.

Dari sinilah terlihat betapa pentingnya ilmu sebagai bekal bagi kehidupan rumah tangga muslim.

Tarbiyah Dalam Rumah Tangga

Dalam rumah tangga, suami merupakan tonggak keluarganya, pemimpin yang menegakkan urusan anak dan istrinya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kaum laki-laki itu adalah pemipin bagi kaum wanita …” (An Nisaa : 34)

salah satu tugas suami sebagai qawwam adalah meluruskan keluarganya dari penyimpangan terhadap al-haq dan mengenalkan al-haq itu sendiri. Seharusnyalah seorang suami menyediakan waktunya yang terdiri dari 24 jam untuk mentarbiyah keluarganya yang dimulai dengan istri untuk dipersiapkan sebagai madrasah bagi keturunannya. Tumbuhkan kecintaan terhadap ilmu di hati istri (syukur kalau memang sejak sebelum nikah si isteri sudah mencintai ilmu) agar kelak ia dapat mendidik anak-anaknya untuk mencintai ilmu dan beramal dengannya.

Walaupun Islam telah menetapkan bahwa memberikan pengajaran, mendidik dan mengarahkan isteri merupakan salah satu kewajiban suami namun sangat disayangkan masih banyak kita jumpai suami yang melalaikan dan menggampangkan hal ini. Atau si suami merasa cukup dengan pengetahuan dien yang minim dari sang isteri sehingga menganggap tidak perlu menyediakan waktu untuk mendidik dan memberikan nasihat.

Mungkin masalah ini seperti ini tidak hanya kita jumpai di kalangan orang yang awam bahkan di kalangan du’at (para da’i). Kita lihat mereka sibuk mengurusi da’wah di luar rumah, sementara isterinya di rumah tidak sempat didakwahi. Akibatnya si isteri tidak memahami thaharah yang benar, shalat yang sesuai sunnah, mana tauhid mana syirik dan lain-lain (mungkin kalau si isteri sebelum menikah sudah mempunyai ilmu, hal tersebut tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau istrinya masih jahil ?) Sungguh hal ini perlu menjadi perhatian bagi para suami.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ….” (QS. At-Tahrim : 6)

Berkata Imam Ali Radiyallahu ‘anhu juga Mujahid dan Qatadah dalam menafsirkan ayat diatas: “Jaga diri kalian dengan amal-amal kalian dan jaga keluarga kalian dengan nasehat kalian”

Dan sesungguhnya penjagaan itu tidak akan sempurna kecuali dengan iman dan amal yang baik setelah berupaya menjauhi syirik dan perbuatan maksiat. Semuanya ini menuntut adanya ilmu dan persiapan diri untuk mengamalkan apa yang telah diketahui (Lihat Aysaru At-Tafasir li Kalami Al-’Aliyul Kabir juz 5, hal. 387, ta’lif Abu Bakar Jabir Al Jazairi)

Berkata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya: “Karena itu wajib bagi kaum laki-laki (suami) untuk memperbaiki dirinya dengan ketaatan dan memperbaiki isterinya dengan perbaikan seorang pemimpin atas apa yang dipimpinnya. Dalam hadits yang shahih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Imam merupakan pemimpin manusia dan ia akan ditanyai tentangnya dan laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya dan akan ditanyai tentangnya.”

Al Qusyairi menyebutkan dari Umar Radiyallahu ‘anhu yang berkata tatkala turun ayat dalam surat At Tahrim di atas: “Wahai Rasulullah, kami menjaga diri kami, maka bagaimanakah cara kami untuk menjaga keluarga kami ?” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kalian larang mereka dari apa-apa yang Allah larang pada kalian untuk melakukannya dan perintahkan mereka dengan apa yang Allah perintahkan.”

Berkata Muqatil: “Yang demikian itu wajib atasnya untuk dirinya sendiri, anaknya, istrinya, budak laki-laki dan perempuannya.”

Berkata Al-Kiyaa: “Maka wajib atas kita untuk mengajari anak dan istri kita akan ilmu agama, kebaikan serta adab.” (Lihat Tafsir Al Qurthubi juz 8, hal. 6674-6675).

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan yang termulia menyempatkan waktu untuk mengajari isterinya sehingga kita bisa mendengar atau membaca bagaimana kefaqihan ummul mu’minin ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha.

Para shahabat beliau Radiyallahu ‘anhum, tatkala tatkala turun ayat ke 31 surat An Nur :

… Dan hendaklah mereka (wanita yang beriman) menutupkan kain kudung ke dadanya … (An Nur : 31)

Mereka pulang menemui iseri-isterinya dan membacakan firman Allah di atas, maka bersegeralah isteri-isteri mereka melaksanakan apa yang Allah perintahkan (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hal. 284)

Ini merupakan contoh bagaimana suami menyampaikan kembali kepada isterinya dari ilmu yang telah didapatkannya di majlis ilmu, sudah seharusnya menjadi panutan bagi kita.

Sebagai penutup, kami himbau kepada mereka yang ingin menikah atau sudah menikah agar tidak mengabaikan ilmu, dan berupaya memilih pasangan yang cinta akan ilmu agar kelak anak turunan juga dididik dalam suasana kecintaan akan ilmu.

Wallahu a’lam

Sumber : Muslimah/Edisi XVII/Muharram/1418/1997

Sunday, January 24, 2010

Saudaraku,Hadirkan hatimu,ketika membaca Kitab Rabbmu...

Penulisan oleh,
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husen Al-Atsariyyah

Bahasa disunting oleh,
Ummu Syauqina Nurharyati Husna.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu seorang shahabat yang mulia, berkisah: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku: ‘Bacakanlah Al-Qur`an untukku.’ Aku bertanya hairan: ‘Wahai Rasulullah, apakah aku membacakan untukmu sementara Al-Qur`an itu diturunkan kepadamu?’ Beliau menjawab: ‘Iya, bacalah.’ Aku pun membaca surat An-Nisa` hingga sampai pada ayat:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلىَ هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا

“Maka bagaimanakah jika Kami mendatangkan seorang saksi bagi setiap umat dan Kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka itu.” (An-Nisa’: 41)

Beliau bersabda: ‘Cukuplah.’ Aku menengok ke arah beliau, ternyata aku dapati kedua mata beliau basah berlinang air mata.”1

Saudariku muslimah, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu! Demikianlah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca Al-Qur`an dan mendengarkannya.

Sementara beliau adalah orang yang paling tahu kandungan Al-Qur`an serta paling paham maknanya. Beliau juga adalah orang yang telah diampuni dosa-dosanya. Namun bersamaan dengan itu, beliau tetap tersentuh hatinya kala mendengarkan bacaan Al-Qur`an. Bahkan, beliau pernah shalat dalam keadaan dada beliau bergemuruh karena isak tangis saat membaca surat Al-Qur`an2.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memang telah menyebutkan kandungan Al-Qur`an berupa janji dan ancaman, kisah surga dan kenikmatannya berikut neraka dengan azabnya. Yang kesemua itu mestinya menggugah ambisi untuk menggapai surga-Nya dan menangis karena takut akan neraka beserta azabnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Qur`an yang serupa ayat-ayatnya lagi berulang-ulang, gementar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu berzikir (mengingat) Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu, Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23)

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji suatu kaum dalam firman-Nya:

قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Berimanlah kalian kepadanya atau tidak usah beriman. Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas wajah mereka sujud kepada Allah, seraya berkata: ‘Maha suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur di atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.” (Al-Isra`: 107-109)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah menganjurkan umatnya untuk khusyuk, menghinakan diri, dan menangis saat membaca Al-Qur`an karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau bersabda:

عَيْنَانِ لاَ تَمُسُّهُمَا النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: (pertama) mata yang menangis karena takut kepada Allah, (kedua) mata yang bermalam dalam keadaan berjaga di jalan Allah.”3

Bahkan beliau menerangkan, seseorang yang menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan masuk ke dalam surga-Nya:

لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ ...

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai susu (yang diperah) bisa kembali ke kantung susu (kambing) ….”4

Para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al-Qur`an dengan menghadirkan hati, merenungi dan mengambil pelajaran dari ayat-ayatnya, hingga mengalirlah air mata mereka dan khusyuk hati mereka. Mereka mengangkat tangan mereka kepada Rabb mereka dengan menghinakan diri memohon kepada-Nya agar amal-amal mereka diterima dan berharap ampunan dari ketergelinciran mereka.

Mereka merindukan kenikmatan nan abadi yang ada di sisi-Nya. Diriwayatkan bahwasanya Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika masih di Makkah, membangun tempat shalat di halaman rumahnya. Beliau shalat di tempat tersebut dan membaca Al-Qur`an, hingga membuat wanita-wanita musyrikin dan anak-anak mereka berkumpul di sekitarnya karena heran dan takjub melihat apa yang dilakukan Abu Bakr. Sementara Abu Bakr radhiyallahu 'anhu adalah sosok insan yang sering menangis, tidak dapat menahan air matanya saat membaca Al-Qur`an5.

‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu pun punya kisah. Beliau shalat mengimami manusia dan menangis saat membaca Al-Qur`an dalam shalatnya, hingga bacaannya terhenti dan isaknya terdengar sampai shaf ketiga di belakangnya. Beliau membaca ayat:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِيْنَ

“Celakalah orang-orang yang berbuat curang.”

Ketika sampai pada ayat:

يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb semesta alam.”

Beliau menangis hingga terhenti bacaannya.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang yang menangis karena membaca/mendengar bacaan Al-Qur`an ketika mengabarkan tentang para nabi dan para wali-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُوْنَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلاً

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas wajah mereka sujud kepada Allah, seraya berkata: ‘Maha suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi’.” (Al-Isra`: 107-108)

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Ar-Rahman, mereka tersungkur dalam keadaan sujud dan menangis.” (Maryam: 58)

وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا

“Dan mereka menyungkur di atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Al-Isra`: 109)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa tangisan karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala itu menambah kekhusyukan mereka. Sementara hanya orang-orang berilmulah yang memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Hanyalah yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28)

Dengan demikian orang yang paling kenal dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dialah yang paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَمَا وَاللهِ، إِنِّي لأَخْشَاكُمْ لِلّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ

“Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya….” 6

Abu Raja` berkata: “Aku pernah melihat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, di bawah kedua matanya ada garis semisal tali sandal yang usang karena sering dialiri air mata.”7

Saudariku… Demikianlah keadaan salaful ummah, orang-orang shalih dan orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Bila salah seorang mereka melewati penyebutan tentang neraka, terasa lepas hatinya karena takut dari neraka dan ngeri akan siksanya. Bila melewatinya sebutan surga dan kenikmatannya, serasa gemetar persendian mereka karena khawatir diharamkan dari merasakan kenikmatannya yang kekal.

Dua keadaan ini demikian memberi pengaruh, hingga meneteslah air matanya dan khusyuk hatinya. Ia pun berusaha menyembunyikan tangisan itu dari orang-orang di sekitarnya. Namun tak jarang tangis itu terdengar dan mereka pun tahu keadaannya. Demikianlah tangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan amal yang ikhlas karena mengharap wajah-Nya.

Apa yang dilakukan orang-orang belakangan dengan mengeraskan suara dan isakan ketika menangis dalam shalat bukanlah kebiasaan salaf. Karena hal itu justeru akan mengganggu orang-orang yang shalat di sekitarnya, dan dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perbuatan riya‘ serta menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Semestinya seseorang menyembunyikannya dari manusia semampunya, karena hal itu lebih baik dan lebih utama.

Termasuk perkara yang perlu menjadi perhatian sehubungan dengan pembacaan Al-Qur`an adalah beradab terhadap Al-Qur`an dengan diam mendengarkannya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Apabila dibacakan Al-Qur`an maka dengarkanlah dan diamlah, mudah-mudahan kalian dirahmati.” (Al-A’raf: 204)

Sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjaga apa yang telah dihafalnya dari Al-Qur`an dan terus menerus membacanya agar tetap tersimpan di dadanya. Karena Al-Qur`an begitu cepat lepasnya (hilang dari ingatan) apabila tidak dijaga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ اْلإِبِلِ فِي عُقُلِهَا

“Biasakanlah untuk terus menerus membaca Al-Qur`an karena demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya sungguh dia (bacaan/hafalan Al-Qur`an) itu lebih cepat lepas/hilangnya daripada unta dari tali pengikat kakinya.”8

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata: “Orang-orang sebelum kalian memandang Al-Qur`an sebagai surat-surat dari Rabb mereka. Mereka pun mentadabburinya pada waktu malam dan merealisasikannya di waktu siang.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Pembawa Al-Qur`an adalah pembawa bendera Islam. Tidak pantas baginya bermain-main bersama orang yang main-main, dan tidak pula lalai bersama orang yang lalai, tidak berbuat laghwi (sia-sia) bersama orang yang berbuat laghwi, dalam rangka mengagungkan hak Al-Qur`an.” (At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, hal. 44)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Diringkas dengan sedikit tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan Yastafidu Minhul Wa’izh wal Khathib, hal. 118-125)

1 HR. Al-Bukhari no. 5050
2 Sebagaimana dalam hadits dari Mutharrif dari ayahnya Abdullah bin Asy-Syikhir bin ‘Auf radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ الرَّحَى مِنَ الْبُكَاءِ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dalam keadaan dada beliau berbunyi keras seperti suara periuk yang mendidih karena tangisan beliau.” (HR. Abu Dawud no. 904, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
3 HR. At-Tirmidzi no. 1639, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 3829

4 HR. At-Tirmidzi no. 1633, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 3828
5 HR. Al-Bukhari no. 3905
6 HR. Al-Bukhari no. 5063
7 Siyar A’lamin Nubala`, 3/352
8 HR. Al-Bukhari dan Muslim

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=397