Pengertian Sutrah
Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang shalat adalah apa yang ditancapkan dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang shalat. Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang shalat karena dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar. (Al-Mausu’atul Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58)
Hukum Sutrah
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini bila ada yang lewat di hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya tidaklah membatalkan shalatnya1, namun hanya mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat. Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).
Pendapat jumhur ini berdalil dengan:
- Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu secara marfu’:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia, lalu ada seseorang ingin lewat di hadapannya, hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak lewat itu enggan tetap memaksa untuk lewat maka hendaknya ia memeranginya karena dia itu setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia,” menunjukkan bahwa orang yang shalat bisa jadi di depannya ada sesuatu yang menghalanginya dan bisa pula tidak ada. Karena konteks seperti ini menunjukkan demikian, tidak semua orang shalat menghadap sutrah.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الْاِحتِلاَمَ وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بـِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتاَنَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فيِ الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang dengan menunggang keledai betina, saat itu aku menjelang ihtilam (mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau. Lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya aku turun dari keledai tersebut dan aku membiarkannya pergi merumput. Kemudian aku masuk (bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 493 dan Muslim no. 1124 namun tanpa lafadz: إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ)
Dari lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau) dipahami bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat tanpa ada sutrah di hadapannya.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma juga, ia berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.” (HR. Ahmad 1/224 dan Al-Baihaqi 2/273)
Pendapat yang lain adalah sutrah hukumnya wajib. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap ngotot ingin lewat, –pent.), perangilah karena bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)
Demikian pula perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk shalat yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 494) dan Muslim (no. 1115) dalam Shahih keduanya. Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati kami. Wallahu a’lam bish-shawab.
Adapun dalil yang dipakai oleh jumhur dijawab sebagai berikut:
1. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bahwa seseorang yang shalat terkadang di hadapannya ada sutrah dan terkadang tidak ada, hal ini terjawab dengan adanya hadits di atas yang sharih (jelas) yang melarang shalat tanpa sutrah, dan juga perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:
وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِـمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.”
Tidaklah menampik kemungkinan beliau shalat menghadap selain tembok/dinding. Ibnu Daqiqil ‘Id tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan berarti meniadakan sutrah. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, bab Al-Murur baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)
Hadits ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dengan Bab: Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum/orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian, berarti Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu tidak memahami tidak adanya sutrah dari hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, “Seakan-akan Al-Bukhari membawa perkara ini pada kebiasaan yang ma’ruf dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu tidaklah beliau melakukan shalat di tanah lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai sutrahnya).” (Fathul Bari, 1/739)
Di samping itu, ada perselisihan para rawi yang membawa riwayat dari Al-Imam Malik rahimahullahu pada lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau). Ada di antara mereka yang menyebutkannya dan ada yang tidak. Dan ternyata rawi yang tidak menyebutkan lafadz ini lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi kedudukannya dibanding rawi yang menyebutkannya.
Karena itulah kebanyakan penyusun kitab hadits shahih seperti Al-Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan selainnya, tidak membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu dalam Shahih-nya mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz ini dengan adanya kepastian bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersutrah dengan tombak. (Adh-Dha’ifah oleh Al-Imam Al-Albani, pembicaraan pada hadits 5814)
3. Sedangkan hadits:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.”
adalah hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah, seorang rawi yang lemah. Kata Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib-nya hal.92, “Ia adalah rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan melakukan tadlis.” (Adh-Dha’ifah no. 5814)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya berkata, “Pendapat yang mengatakan sutrah itu mustahab menentang nash yang berisi perintah shalat di hadapan sutrah yang disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh penulis (Sayyid Sabiq). Pada sebagian hadits tersebut ada larangan mengerjakan shalat bila di depan seorang yang shalat tidak ada sutrah. Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai judul bab dalam kitab Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma secara marfu’:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ ...
“Jangan engkau shalat kecuali menghadap sutrah….”
Beliau rahimahullahu juga berkata, “Termasuk perkara yang menguatkan kewajiban sutrah, adanya sutrah di hadapan orang yang shalat merupakan sebab syar’i tidak batalnya shalat orang tersebut dengan lewatnya wanita yang sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang yang shalat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat di hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (3/2) dan As-Sailul Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini. Dan pendapat ini merupakan dzahir ucapan Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (4/8-15).” (Tamamul Minnah, hal. 300)
Mendekat kepada Sutrah
Orang yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang ada di hadapannya sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar setan tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)2
Yang dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam shalatnya.
Kata Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari t, “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya. Sementara, tidak memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an, dan dzikir.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/115)
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalatnya3 dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.” (Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwa’ radhiyallahu 'anhu menyebutkan:
كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا
“Dinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya, jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di samping mimbar, karena tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak antara beliau dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan dinding, yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.
Ibnu Baththal rahimahullahu berkata, “Ini jarak minimal seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.” Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)
Dalilnya adalah hadits Bilal radhiyallahu 'anhu:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih4 dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak yang kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah, 2/157-158)
Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.” (Syarhus Sunnah, 2/447)
Faedah
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Apabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)
Bergeser seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah, 2/156). Wallahu a’lam.
1 Di antara mereka juga terdapat silang pendapat dalam batal atau tidaknya shalat seorang yang dilewati oleh wanita, keledai, dan anjing hitam.
2 Dipahami dari hadits di atas adalah bila seseorang shalat sementara di hadapannya ada sutrah namun jarak antara dia dengan sutrahnya jauh, berarti dia memberi peluang kepada setan untuk mengganggu shalatnya. Sehingga bagaimana kiranya bila ada orang yang shalat sementara di hadapannya tidak ada sutrah? Hadits ini bisa menjadi dalil tentang wajibnya sutrah.
3 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menafsirkan mushalla dalam hadits di atas dengan tempat sujud. (Al-Minhaj, 4/449)
4 Karena rangkaian sanadnya adalah dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Bilal.
Sutrah dalam Shalat
- Tiang masjid
Tiang yang ada di masjid dapat dijadikan sebagai sutrah sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat berikut. Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata, “Adalah Salamah ibnul Akwa’ radhiyallahu 'anhu memilih shalat di sisi tiang masjid tempat menyimpan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, aku melihatmu menyengaja memilih shalat di sisi tiang ini.’ Beliau menjawab:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا
“Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memilih shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)
- Tongkat yang ditancapkan
Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma memberitakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Dan beliau juga melakukan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)
- Hewan tunggangan
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا
“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melintangkan hewan tunggangannya (antara beliau dengan kiblat), lalu shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 1117)
- Pohon
Sekali waktu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat menghadap sebuah pohon, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad rahimahullahu (1/138) dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ n، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ
“Sungguh aku melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami melainkan tertidur kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa hingga pagi hari.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Sanadnya shahih.” Lihat Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/120)
- Dinding/tembok
Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan ketika membahas tentang mendekat dengan sutrah.
- Tempat tidur
Pada kali yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tempat tidur sebagai sutrahnya sebagaimana berita dari istri beliau, Aisyah radhiyallahu 'anha:
لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيْرِ فَيَجِيْءُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيْرَ فَيُصَلِّي
“Sungguh aku melihat diriku dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, beliau berdiri menghadap bagian tengah tempat tidur, kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)
Dalam lafadz lain, Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ
“Sungguh aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat sementara aku berada di antara beliau dan kiblatnya dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)
- Benda yang tinggi
Boleh menjadikan sesuatu yang tinggi semisal mu`khiratur rahl sebagai sutrah. Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4, Taudhihul Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab:
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)
Tidak Cukup dengan Garis
Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)
Al-Qarafi rahimahullahu mengatakan, “Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)
Walaupun ada sebagian ahlul ‘ilmi berpandangan garis dapat dijadikan sebagai sutrah. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255), Abu Dawud (no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah, “Hadits ini sanadnya dhaif tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan oleh penulis Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama yang lebih banyak jumlahnya selain mereka telah mendhaifkan hadits ini dan mereka lebih kuat argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan dalam riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu tentang permasalahan ini.
Al-Hafizh rahimahullahu telah menukilkan dalam At-Tahdzib dari Al-Imam Ahmad t, di mana disebutkan beliau berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai sutrah, haditsnya dhaif.”
Sementara dalam At-Talkhish, Al-Hafizh rahimahullahu menyebutkan penshahihan Ahmad sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullahu dalam Al-Istidzkar terhadap hadits di atas, kemudian beliau (Al-Hafizh) berkata, “Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi`i, Al-Baghawi rahimahumullah dan selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”
Dalam At-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthni rahimahullahu berkata, ‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit.’ Asy-Syafi`i rahimahullahu berkata dalam Sunan Harmalah, ‘Seseorang yang shalat tidak cukup membuat garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang tsabit.’ Al-Imam Malik rahimahullahu berkata dalam Al-Mudawwanah, ‘Garis yang digunakan sebagai sutrah adalah batil.’
Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini adalah Ibnush Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati), yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berdalil dengan hadits mu`khiratur rahl untuk menyatakan garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/414)
Faedah
Al-Qarafi rahimahullahu berkata menukil dari penulis kitab An-Nawadir, bahwa lubang dan sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, seperti garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah.” (Adz-Dzakhirah, 2/155)
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=620
Meletakkan dan memakai sutroh (penghalang) di depan ketika melaksanakan sholat adalah kewajiban bagi setiap muslim, baik ia sholat fardhu, maupun sholat sunnah; baik ia makmun, masbuq, maupun munfarid (sendiri).
Pembaca yang budiman, disana ada sebuah kekeliruan biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Kita lihat ada yang sholat tanpa sutroh (penghalang), dan ada juga yang memakai sutroh (penghalang). Namun sutroh (penghalang)nya tidak sesuai sunnah (petunjuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sehingga ada diantara mereka menjadikan ujung sajadahnya sebagai sutroh (penghalang); ada yang meletakkan kain atau baju di depannya sebagai sutroh (penghalang); ada yang membuat garis di depannya sebagai sutroh (penghalang); ada juga yang meletakkan polpen atau HP di depannya dengan anggapan bahwa itu adalah sutroh (penghalang) saat ia sholat.
Adanya realita kejahilan yang menyedihkan seperti ini, memaksa kami untuk membahas ukuran tinggi sutroh. Namun sebelumnya perlu kami ingatkan bahwa sesuatu yang dijadikan sutroh, harus diperhatikan tingginya, bukan lebar dan tebalnya. Oleh karena itu, sesuatu yang dijadikan sutroh (penghalang) boleh berupa tongkat, tombak, pedang, anak panah, bebatuan, hewan kendaraan, motor, mobil, punggung orang, tiang atau dinding dan segala sesuatu yang ukuran tingginya sesuai yang kami akan paparkan, insya Allah.
Pembaca yang budiman, ukuran sutroh (penghalang) yang benar ketika shalat adalah yang bisa menghalangi dari bahaya dan gangguan sesuatu yang lewat di hadapannya. Ukuran itu kira-kira setinggi punggung pelana (tongkat bagian belakang pelana onta). Bagi orang yang tidak kesulitan meletakkan sutroh (penghalang) seukuran itu, tidak boleh meletakkan sutroh (penghalang) lebih rendah darinya.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Jika salah seorang dari kalian meletakkan sutroh(penghalang) di hadapannya seukuran pelana onta, maka silakan shalat. Dia tidak perlu menghiraukan lagi orang yang lewat di balik sutroh(penghalang) tersebut”. [HR. Muslim dalam Shahih-nya (499)].
A’isyah -radhiyallahu ‘anha- pernah berkata,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّيْ؟ فَقَالَ: مِثْلُ مُؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ditanya tentang meletakkan sutroh(penghalang) untuk orang shalat ketika perang Tabuk. Beliau menjawab,“Seukuran punggung pelana”. [HR. Muslim dalam Shahih-nya (500)].
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّيْ فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ
“Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka sesungguhnya di (diharapkan) memberi sutroh(penghalang) di hadapannya seukuran punggung pelana. Jika tidak ada sesuatu yang seukuran punggung pelana, maka sesungguhnya keledai, wanita dan anjing hitam (setan) akan memutuskan shalatnya.” [HR. Muslim dalam Shahih-nya (510)].
Ukuran inilah yang wajib digunakan sebagai ukuran sutroh (penghalang). Andaikan ukuran yang kurang dari itu cukup alias boleh, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- akan jelaskan saat ia ditanya. Para ulama kita menganggap bahwa penangguhan penjelasan dari waktunya tidak boleh. Sedang Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- saat itu ditanya tentang sutroh (penghalang) yang sah. Andaikan sah ukuran yang kurang dari punggung pelana onta, maka tak boleh bagi beliau untuk menangguhkan penjelasan masalah itu dari waktunya. [Lihat Ahkam As-Sutroh (hal. 29)]
Punggung pelana setinggi satu hasta seperti yang telah dijelaskan oleh Atha’, Qatadah, Ats-Tsauri dan Nafi’. Sedangkan yang dimaksud dengan satu hasta adalah antara ujung siku sampai ujung jari tengah. Jika diukur, maka tingginya sekitar 46,2 cm atau setinggi dua jengkal. [Lihat Lisanul Arab (3/1495), Mu’jam Lughah Al-Fuqaha’ (hal. 450-451)]
Disebutkan dalam beberapa riwayat dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau shalat di hadapan tombak kecil atau yang sejenisnya. Sudah maklum kiranya bahwa tombak itu kecil. Hal ini semakin memperkuat bahwa yang dimaksud ukuran sutroh (penghalang) adalah tinggi, bukan lebar.
Ibnu KhuzaimahAn-Naisaburiy-rahimahullah- berkata, “Dalil yang berasal dari hadits-hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- (menjelaskan) bahwa beliau menghendaki sutroh(penghalang) seukuran punggung pelana dalam hal tinggi, bukan lebarnya. Dalil-dalilnya adalah sudah sangat jelas. Di antaranya adalah hadits-hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- yang memberitahukan bahwa telah ditancapkan sebuah tombak pendek untuk beliau; beliau shalat menghadap kepada tombak itu. Sedangkan ukuran lebar tombak pendek, tidak sama dengan ukuran lebar punggung pelana". [Lihat Shahih Ibn Khuzaimah (2/12)].
Ibnu Khuzaimah An-Naisaburiy-rahimahullah- juga berkata, “Dalam perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk menjadikan anak panah sebagai sutroh(penghalang) ketika shalat terkandung pengertian bahwa beliau menginginkan sutroh (penghalang) itu dengan punggung pelana dalam hal tinggi, bukan dalam hal tinggi dan lebarnya sekaligus.” [Lihat Shahih Ibn Khuzaimah (2/12)].
Tidak boleh menjadikan garis (tulisan) sebagai sutroh (penghalang),sedangkan dia masih bisa menjadikan benda lain sebagai sutroh (penghalang), sekalipun benda itu berupa tongkat, barang, kayu, atau bahkan dengan cara menumpuk batu seperti yang telah dilakukan oleh Salamah Ibnul Akwa’ -radhiyallahu anhu-.
Yang perlu disebutkan di sini , hadits-hadits tentang penggunaan garis sebagai sutroh (penghalang) adalah dhaif (lemah). Telah diisyaratkan ke-dhaif-an hadits ini oleh Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi’i, Al-Baghawi dan ulama-ulama lain. Ad-Daruqutni berkata, “Hadits itu tidak shahih dan tidak benar”.Asy-Syafi’i-rahimahullah- berkata di dalam Sunan Harmalah, “Orang yang mengerjakan shalat tidak (boleh) menulis garis di hadapannya (sebagai sutroh), kecuali jika hal itu terdapat pada riwayat hadits yang benar, baru boleh diikuti”. Malik berkatadalam Al-MudawwanahAl-Kubro (1/202), “(Hadits membuat) garis (sebagai sutroh) adalah batil”.
Hadits garis tersebut telah dilemahkan oleh para ulama belakangan, seperti Ibnu Ash-Sholah, An-Nawawiy, Al-Iroqiy, dan lainnya. [Lihat Tamam Al-Minnah (hal. 300-302), dan Ahkam As-Sutroh (hal. 98-102)]
Selain itu, makmum tidak perlu meletakkan sutroh (penghalang). Sutroh (penghalang) dalam shalat berjama’ah menjadi tanggung jawab imam. Jangan sampai ada orang yang menyangka bahwa setiap makmun, sutroh (penghalang)nya adalah orang yang ada di hadapannya, karena hal itu tak ada pada shaff (barisan) pertama. Kemudian sangkaan seperti ini akan mengharuskan kita menahan orang yang mau lewat di depan shaff-shaff. Sementara dalil tidak menunjukkan demikian.
Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu-, dia berkata,
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ اْلاِحْتِلاَمَ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ بِمِنَى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيِ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ اْلأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang bersama dengan Al-Fadhl menunggangi keledai betina, sedang aku waktu itu telah baligh. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pada waktu itu sedang berada di Mina. Lalu aku lewat di depan shaf, kemudian turun (dari hewan itu). Keledai itu kami biarkan makan, dan aku pun masuk ke dalam shaff . Maka tak ada seorangpun yang mengingkari hal itu padaku” [HR. Al-Bukhoriy (76), dan Muslim dalam Shahih-nya (504)].
Di dalam riwayat lain, Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
كُنْتُ رَدِيْفَ الْفَضْلِ عَلَى أَتَانٍ فَجِئْنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ بِأَصْحَابِهِ بِمِنَى قَالَ: فَنَزَلْنَا عَنْهَا فَوَصَلْنَا الصَّفَّ فَمَرَّتْ بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ فَلَمْ تَقْطَعْ صَلاَتَهُمْ
"Aku pernah dibonceng oleh Al-Fadhl di atas keledai betina. Lalu kami datang, sedang Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sholat memimpin para sahabatnya di Mina. Dia (Ibnu Abbas) berkata, "Kami pun turun darinya, dan sampai ke shaff. Lalu keledai itu lewat di depan mereka, namun keledai itu tidaklah memutuskan (membatalkan) sholat mereka". [HR. Al-Bukhoriy (493), Muslim (504)]
Perhatikan Ibnu Abbas dan Al-Fadhl telah menunggangi keledai betina di depan shaff pertama, dan tidak ada seorang pun sahabat yang mencegahnya. Begitu juga dengan keledainya, tidak ada seorang pun yang mencegahnya untuk lewat. Bahkan tidak ada seorang pun yang mengingkari hal tersebut, begitu juga dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Jika ada seseorang berkata, “Mungkin saja Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pada waktu itu tidak mengetahui kejadian tersebut!!”
Perkataan ini kita jawab, “Jika memang mereka berdua tidak dilihat oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dari samping, tapi Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dapat melihat mereka berdua dari belakang. Sungguh beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- telah bersabda,
هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِيْ هَهُنَا فَوَاللهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوْعُكُمْ وَلاَ رُكُوْعُكُمْ وَإِنِّيْ لأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
“Apakah kalian tahu bahwa kiblatku di sini. Demi Allah, kekhusyu’an dan rukuk kalian (ketika shalat) tidak samar bagiku. Sesungguhnya aku melihat kalian semua dari balik punggungku”. [HR. Bukhari dalam Shahih-nya (418), dan Muslim Shahih-nya (424)].
Ibnu Abdil Barr-rahimahullah- berkata, “Hadits riwayat Ibnu Abbas ini mengkhususkan hadits riwayat Abu Sa’id yang terdahulu, yakni: “Apabila salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya.” Karena hadits Abu Sa’id ini khusus bagi imam dan orang yang mengerjakan shalatnya sendirian. Adapun para makmum, maka sesuatu yang lewat di depannya tidak membahayakan sholatnya berdasarkan hadits Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- ini. Dalam masalah ini tak ada khilaf diantara para ulama". [Lihat Fathul Bari (1/572)].
Pembaca yang budiman, kini anda telah mengetahui bahwa shalat berjama’ah itu pada hakikatnya adalah hanya satu shalat saja, hanya saja dikerjakan oleh banyak orang. Tidak benar jika shalat jama’ah itu adalah shalat yang lebih dari satu, yakni sebanyak jumlah orang yang shalat. Oleh karena itulah, sutroh (penghalang) untuk shalat berjama’ah cukup satu saja (yakni bagi imam). Seandainya shalat berjama’ah dianggap shalat yang lebih dari satu, pasti setiap orang yang shalat memerlukan sutroh (penghalang). [Lihat Faidhul Bari (2/77)].
Jika imam tidak meletakkan sutroh (penghalang) ketika shalat berjama’ah, berarti dia telah berbuat tidak baik dan teledor. Kalau kasus ini sampai terjadi, setiap makmum tidak wajib meletakkan sutroh (penghalang) untuk dirinya sendiri dan juga tidak wajib menghalangi orang yang lewat di hadapannya. [Lihat Ahkam As-Sutroh (hal. 21-22)]
Sebuah permasalahan , “Jika seseorang masbuq menyempurnakan rakaatnya yang tertinggal bersama imam, maka ia bukan lagi makmum. Nah, sekarang apa yang harus ia lakukan?"
Al-Imam Malik-rahimahullah- berkata, “Orang yang meneruskan rakaatnya yang tertinggal dari imam, tak mengapa baginya untuk berjalan mendekati tiang yang berada paling dekat di hadapannya, di samping kanan, di sebelah kiri atau di belakang; dia berjalan mundur sedikit. Dengan demikian dia bisa menjadikan tiang ini sebagai sutroh (penghalang). Jika ia jauh (dari tiang), maka dia tetap berdiri di tempatnya dan harus menghalangi orang yang lewat dengan sekuat tenaga”. [Lihat Syarh Az-Zarqani ala Mukhtasar khalil(1/208)].
Ibnu Rusyd berkata, “Jika dia meneruskan rakaat yang tertinggal dari imam, dan dia berada di dekat tiang, hendaklah dia berjalanmenuju kepadanya. Tiang tersebut adalah sutroh (penghalang) dalam sisa-sisa sholatnya. Jika di dekatnya tidak ada tiang, maka dia tetap shalat di tempatnya dan mencegah orang yang akan lewat di hadapannya dengan sekuat tenaga. Barang siapa yang lewat di depannya, maka ia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf, jika jama’ah mengerjakannya bersama imam, maka tak ada dosa baginya, karena imam adalah sutroh (penghalang) bagi seluruh jama’ah. Wa billahit taufiq”. [Lihat Fatawa Ibnu Rusyd (2/904)].
Pernyataan kedua ulama ini bukan tanpa dasar, bahkan berdasarkan hadits dan atsar. Dengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لاَ يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutroh (penghalang), maka hendaklah dia mendekat kepadanya. Maka setan tidak akan memotong shalatnya.” [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (695), dan An-Nasa’iy dalam Al-Mujtaba (748). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (782)]
Qurroh bin Iyas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
رَآنِيْ عُمَرُ وَأَنَا أُصَلِّيْ بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ فَأَخَذَ بِقَفَائِيْ فَأَدْنَانِيْ إِلَى سُتْرَةٍ فَقَالَ: صَلِّ إِلَيْهَا
“Umar melihatku sedang shalat di antara dua tiang. Dia langsung memegang leherku dan mendekatkan aku ke sutroh (penghalang) sambil berkata, “Shalatlah menghadap sutroh (penghalang)”. [HR. Bukhariy dalam Shahih-nya (1/577) secara mu’allaq, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (7502)
Jadi, seorang masbuq diperintahkan untuk mendekat ke sutroh, walaupun ia harus berjalan satu-dua langkah untuk mencari sutroh, baik berupa tiang atau dinding dan lainnya, karena hadits di atas bersifat umum mencakup makmum, masbuq, dan munfarid. Maka kelirulah sebagian orang yang mengingkari sunnahnya berjalan bagi masbuq yang kehilangan sutroh!!
Inilah beberapa perkara yang berkaitan dengan sutroh, semoga menjadi petunjuk bagi orang-orang yang mau menapaki jalan-jalan sunnah.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 103 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/ukuran-sutroh.html