Sunday, February 14, 2010

Penyakit saya..Takotsubo cardiomyopathy..


Assalamo'alaykum,mungkin ramai yang tidak mengetahui...saya sedang mengalami penderitaan penyakit 'Takotsubo cardiomyopathy'..satu penyakit yang sangat menderitakan saya...buat masa ini saya masih tidak mengambil sebarang ubat-ubatan...saya hanya banyak mendekatkan diri pada Allah SWT,namun harus saya akui,saya memerlukan ubat-ubatan kerana sangat susah untuk mengatasi apabila berhadapan dengan masyarakat.

Maka,post kali ini saya akan berkongsi dengan pembaca tentang penyakit saya ini...saya juga belum meneruskan sebarang terapi kerana saya hanya ingin menguatkan diri saya dengan al-Quran dan as-Sunnah...sememangnya...ini sahaja pilihan saya bagi menyembuhkan penyakit saya ini,selain itu,saya memerlukan sokongan daripada sahabat-sahabat saya..

Sememangnya,penyakit ini adalah berpunca kerana kehilangan orang yang kita sayangi secara berterusan..dan banyak lagi faktor-faktor luaran..

Dr. Stephen T. Sinatra adalah seorang doktor pakar jantung, terkenal dengan pengubatan penyakit jantung melalui keseimbangan gizi dan energi. Dia juga merupakan editor jurnal kedoktoran “Jantung, Kesehatan Dan Gizi”.

Di dalam bukunya Heartbreak & Heart Disease yang diterbitkan 1996, pernah membahas permasalahan pengaruh emosi terhadap jantung. Akhir-akhir ini, dalam karya tulis khususnya di situs www.bokee.com, dia menguraikan hasil pengamatannya selama bertahun-tahun mengenai penanganan penyakit jantung dengan topik “pernikahan dan kesihatan jantung”.

Dr. Sinatra mengatakan, tekanan batin yang diakibatkan oleh emosi yang ditahan mulai dari patah hati, terlalu sedih, sampai dengan rasa bermusuhan dan amarah, dapat mengakibatkan tersumbatnya aorta jantung Anda, efeknya mirip dengan oksidasi kolesterol, keracunan logam, insulin, radiasi dan darah yang mengental dan lengket. Menurutnya, banyak penelitian yang sudah membuktikan hubungan tubuh dan hati.

Dr. Sinatra menyatakan, tekanan batin adalah mematikan. Kadang-kadang penyakit jantung dapat membuat manusia mengerti sampai sebesar apakah daya bunuh tekanan batin. Meskipun sebahagian orang sudah mengerti tetap juga selamanya tidak dapat merubah keadaan yang ada.

Dia mengatakan, “Para pesakit pernah mengutarakan keluhan kepada kami, tekanan batin yang berasal dari kehidupan, mungkin kerana pekerjaan, ataupun pernikahan, benar-benar sangat melukai mereka. Semua nasihat, ubat-ubatan dan suplemen gizi tidak ada yang mampu mengatasi kerosakan yang diakibatkan oleh tekanan batin.”

Sebaliknya, perasaan yang puas akan sebuah pernikahan yang harmonis, pekerjaan yang menggembirakan cukup untuk memelihara jantung. Dikatakannya pula, penelitian terkait dan pengamatannya dalam praktis klinikal semuanya menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

Kesepian mendatangkan risiko serangan jantung.
Pasangan nikah lebih jarang mendapatkan serangan jantung daripada yang hidup sendiri, namun pernikahan yang tidak harmonis memiliki daya rosak yang besar bagi jantung.

Survei terhadap kelompok usia delapan-sembilan puluh tahun menunjukkan, usia panjang sangat erat berhubungan dengan kesihatan pernikahan.Sebuah penelitian yang luar biasa dilakukan pada 2006 telah menarik perhatian banyak orang, dia mengungkap hubungan apa saja yang ada antara pernikahan dan kesihatan jantung.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Tim Smith, seorang ahli psikologi dari Utah State University. Smith telah merekrut 150 pasangan yang sihat, kebanyakan berusia di atas 60 tahun, tidak seorang pun dari mereka yang memiliki sejarah terserang penyakit jantung.

Setiap pasangan disurvei dan direkam gambarnya oleh psikolog peneliti. Topik pembicaraan dalam survei dipilih sendiri oleh pasangan yang bersangkutan, meliputi kewangan, hubungan keluarga, anak,percutiaan dan urusan rumah tangga yang menimbulkan perselisihan. Pasangan suami isteri berhadapan untuk mendiskusikan topik yang dipermasalahkan di depan kamera.

Anggota peneliti menilai pandangan pasangan-pasangan tersebut, mulai dari sifat yang bersahabat sampai ke permusuhan, menurut sampai ke penguasaan cinta.Tutur kata dan perilaku pada saat diskusi, merupakan miniatur pola kehidupan mereka dalam jangka panjang, dapat mencerminkan keadaan mereka yang sebenarnya.

Setelah dua hari melakukan komunikasi seperti ini, seluruh peserta harus menerima pemeriksaan CT Scan khusus pada rongga dada. Berdasarkan hasil scanning, doktor akan menetapkan kadar pengapuran pembuluh nadi tajuk jantung, hal ini dapat dipakai sebagai ukuran kondisi endapan thrombosit pada arteri jantung.

Sekalipun hasil scanning belum ada yang menunjukkan bahwa pengerasan pembuluh nadi tajuk jantung sudah sedemikian buruknya sehingga harus segera dirawat di bagian gawat darurat, namun ada sebahagian yang keadaannya kurang baik, terdapat risiko masalah pada pembuluh nadi tajuk jantung.

Sumber:http://jantungprima.blogspot.com

PATAH hati atau kecewa, boleh disembuhkan, inikah penemuan baru? Para penyelidik di AS telah meneliti 70 pesakit menderita 'sindrom patah hati', penyakit yang ada hubungan dengan stress atau peristiwa emosional. Semuanya berjaya disembuhkan, setelah sebahagian besarnya diberi aspirin atau ubat penyakit jantung, meski 20% dianggap sakit parah. “Keadaan ini mungkin disebabkan oleh peningkatan hormon stress” kata Peneliti Jurnal Kardiologi AS itu.

Sindrom ini secara mediknya disebut ‘Takotsubo cardiomyopathy’, pertama kali didefinisikan oleh peneliti Jepun di awal tahun 1990an. Meski gejala-gejalannya mirip dengan serangan jantung seperti sakit di dada dan nafas tersengal atau tersumbat, namun ianya hanya sementara dan boleh disembuhkan, jika diubati dengan cepat. Penelitian tersebut dijalankan di dua hospital di Providence, Rhode Island pada Julai 2004 dan April 2008.

Dilaporkan juga sekitar 67% pesakit itu mengalami tekanan secara fizik atau emosional, seperti berita buruk mengenai ahli keluarga, pertengkaran di rumah tangga, penyakit fizik yang parah atau kemalangan kendaraan, sebelum gejala-gejala itu muncul. Enam pesakit mendapat perawatan kejutan eletrik untuk menghidupkan kembali jantung dan tiga memiliki detak-detik jantung tidak normal yang memerlukan perawatan darurat. Dua pertiga pesakit, hampir semuanya wanita yang telah menopause mengalami tekanan secara fizik atau peristiwa emosional sebelum datang ke hospital dengan gejala seperti terkena serangan jantung.

Secara keseluruhan, majoriti pesakit mendapat pengubatan aspirin atau ubat penyakit jantung seperti beta blockers dan statins waktu di hospital. Meski seperlima dalam keadaan sakit parah dan memerlukan perawatan darurat agar dapat diselamatkan jiwa mereka, seluruh pesakit tetap hidup dalam 48 jam pertama dan kemudian sembuh total. Para peneliti ini juga menemui di mana, tidak seperti serangan jantung yang cenderung terjadi di musim sejuk, tetapi sindrom ini cenderung terjadi di musim semi dan musim panas.

Dr Richard Regnante dari hospital Miriam ketua penelitian ini mengatakan, pola musim ini dapat membantu untuk mengetahui penyakit. “Sebagian pihak memandang hal itu merupakan satu bentuk serangan jantung yang 'berhenti' dengan sendirinya, sehigga tidak merosak otot jantung secara permanen.. Pihak lain mengatakan sindrom ini tidak ada hubungan dengan arteri jantung dan hanya merupakan masalah dengan otot jantung. Kerana ‘pola musim’ sindrom patah hati yang kami pelajari, berbeda dengan pesakit serangan jantung. Penelitian ini mengisyaratkan, walaupun bukan bukti, namun teori belakangan ini agak benar."

Sementara itu, otak orang-orang agama terbukti lebih tenang bila menghadapi situasi yang tidak pasti dan memiliki tingkat stress yang lebih rendah sewaktu mengalami apa-apa kesalahan berbanding orang yang tidak mempercayai agama. Ini kesimpulan sebuah studi di Kanada yang mempelajari hubungan antara penganut agama dari berbagai latar belakang agama, termasuk umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha dengan aktivis otak.

"Orang-orang agama atau mereka yang percaya pada Tuhan terbukti memiliki tingkat stress atau kecemasan yang lebih rendah setelah melakukan kesalahan," ujar Michael Inzlicht, profesor psikologi University of Toronto.

Peserta diminta untuk mengisi kuesioner agama tentang keyakinan mereka terhadap Tuhan dan tingkat keimanan mereka. Lalu, mereka diminta untuk mengerjakan tugas Stroop, sebuah test psikologi yang mengukur waktu reaksi selama menjalankan berbagai tugas seperti mengenali warna dengan cepat. Pada tubuh setiap responden dipasang elektrod yang mengukur aktiviti di wilayah otak yang disebut ‘anterior cingulate cortex’ (ACC). ACC berfungsi untuk mengendalikan emosi dan membantu orang untuk memodifikasi perilaku masa mengalami sebuah kejadian yang memicu kecemasan seperti semasa membuat kesalahan.

“Bahagian ini akan terganggu saat anda melakukan kesalahan atau dihadapkan pada situasi dimana anda tidak tahu apa yang perlu dibuat." jelas Prof Michael Inzlicht lagi.

Maka penelitian ini menunjukkan aktiviti ACC pada orang agama lebih rendah bila dibandingkan kepada mereka yang tidak percaya pada Tuhan. Ini menunjukkan mereka tidak terlalu cemas semasa melakukan kesalahan selama ujian. Semakin kuat tingkat keimanan dan keyakinan pada Tuhan, maka semakin rendah aktiviti ACC sebagai respons atas kesalahan yang mereka lakukan sendiri.

Ini menunjukkan adanya korelasi antara keyakinan agama dan aktiviti otak. Namun begitu, ahli-ahli penyelidik itu, masih belum mengetahui alasan yang tepat, sekalipun mereka menyangka bahawa orang-orang agama memiliki tujuan yang lebih besar berbanding diri mereka sendiri khususnya hidup setelah mati.

Jadi pil penawar patah hati dan stress sebenarnya bukan sahaja aspirin atau ubat penyakit jantung seperti beta blockers dan statins waktu di hospital, tetapi juga terlatak sejauh mana keyakinan dan perlaksanaan ‘kepercayaan kepada Tuhan’.

Sumber: http://www.ibnuhasyim.com/2009/04/penemuan-penawar-patah-hati-inikah.html

Takotsubo cardiomyopathy

From Wikipedia, the free encyclopedia

Takotsubo cardiomyopathy, also known as transient apical ballooning syndrome,[1] apical ballooning cardiomyopathy,[2] stress-induced cardiomyopathy, broken-heart-syndrome, and simply stress cardiomyopathy, is a type of non-ischemic cardiomyopathy in which there is a sudden temporary weakening of the myocardium (the muscle of the heart). Because this weakening can be triggered by emotional stress, such as the death of a loved one, the condition is also known as broken heart syndrome.[3] It has also been reported in cases of partial drowning. The presence of a trigger such as emotional or physical has been reported in 33% to 100% of the cases.[1][4]

The typical presentation of someone with takotsubo cardiomyopathy is a sudden onset of congestive heart failure or chest pain associated with EKG changes suggestive of an anterior wall myocardial infarction. During the course of evaluation of the patient, a bulging out of the left ventricular apex with a hypercontractile base of the left ventricle is often noted. It is the hallmark bulging out of the apex of the heart with preserved function of the base that earned the syndrome its name "tako tsubo", or octopus trap in Japan, where it was first described.[5]

The cause appears to involve high circulating levels of catecholamines (mainly adrenaline/epinephrine). Evaluation of individuals with takotsubo cardiomyopathy typically include a coronary angiogram, which will not reveal any significant blockages that would cause the left ventricular dysfunction. Provided that the individual survives their initial presentation, the left ventricular function improves within 2 months. Takotsubo cardiomyopathy is more commonly seen in post-menopausal women.[6] Often there is a history of a recent severe emotional or physical stress.[6]

Etiology

The etiology of takotsubo cardiomyopathy is not fully understood, but several mechanisms have been proposed.

1. Wraparound LAD: The left anterior descending artery (LAD) supplies the anterior wall of the left ventricle in the majority of patients. If this artery also wraps around the apex of the heart, it may be responsible for blood supply to the apex and the inferior wall of the heart. Some researchers have noted a correlation between takotsubo and this type of LAD.[7] Other researchers have shown that this anatomical variant is not common enough to explain takotsubo cardiomyopathy.[8] This theory would also not explain documented variants where the midventricular walls or base of the heart does not contract (akinesis).

2. Transient Vasospasm: Some of the original researchers of takotsubo suggested that multiple simultaneous spasms of coronary arteries could cause enough loss of blood flow to cause transient stunning of the myocardium.[9] Other researchers have shown that vasospasm is much less common than initially thought.[10][11][12] It has also been noted that when there are vasospasms, even in multiple arteries, that they do not correlate with the areas of myocardium that are not contracting [13].

3. Microvascular Dysfunction: The theory gaining the most traction is that there is dysfunction of the coronary arteries at the level where they are no longer visible by coronary angiography. This could include microvascular vasospasm, however it may well also have some similarities to the diseases such as diabetes mellitus. In such disease conditions the microvascular arteries fail to provide adequate oxygen to the myocardium.

It is likely that there are multiple factors at play which could include some amount of vasospasm, failure of the microvasculature, and an abnormal response to catecholamines (such as epinephrine and norepinephrine, released in response to stress).[14] Case series looking at large groups of patients report that some patients develop takotsubo cardiomyopathy after an emotional stress or, while others have a preceding clinical stressor (such as an asthma attack or sudden illness).

Roughly one third of patients have no preceding stressful event.[15] A recent large case series from Europe found that takotsubo was slightly more frequent during the winter season. This may be related to two different possible/suspected pathophysiological causes: coronary spasms of microvessels, which are more prevalent in cold weather, and viral infections – such as Parvovirus B19 – which occur more frequently during the winter season. [1]

Diagnosis

Transient apical ballooning syndrome or takotsubo cardiomyopathy is found in 1.7–2.2% of patients presenting with acute coronary syndrome.[1] While the original case reports reported on individuals in Japan, takotsubo cardiomyopathy has been noted more recently in the United States and Western Europe. It is likely that the syndrome went previously undiagnosed before it was described in detail in the Japanese literature.

The diagnosis of takotsubo cardiomyopathy may be difficult upon presentation. The EKG findings are often confused with those found during an acute anterior wall myocardial infarction.[6][16] It classically mimics ST-segment elevation myocardial infarction, and is characterised by acute onset of transient ventricular apical wall motion abnormalities (ballooning) accompanied by chest pain, dyspnoea, ST-segment elevation, T-wave inversion or QT-interval prolongation on EKG. Elevation of myocardial enzymes is moderate at worst and there is absence of significant coronary artery disease. [1]

The diagnosis is made by the pathognomic wall motion abnormalities, in which the base of the left ventricle is contracting normally or are hyperkinetic while the remainder of the left ventricle is akinetic or dyskinetic. This is accompanied by the lack of significant coronary artery disease that would explain the wall motion abnormalities. Although, apical ballooning has been classically described as the angiographic manifestation of takotsubo, it has been shown that left ventricular dysfunction in this syndrome includes not only the classic apical ballooning, but also different angiographic morphologies such as mid-ventricular ballooning and rarely local ballooning of other segments.

The ballooning patterns were classified by Shimizu et al. as takotsubo type for apical akinesia and basal hyperkinesia, reverse takotsubo for basal akinesia and apical hyperkinesia, mid-ventricular type for mid-ventricular ballooning accompanied by basal and apical hyperkinesia and localised type for any other segmental left ventricular ballooning with clinical characteristics of takotsubo-like left ventricular dysfunction.

Histology

Focal myocytolysis is reported as an origin of this cardiomyopathy. No microbiological agent has been associated so far with takotsubo cardiomyopathy. Kloner et al. reported that a pathologic change in the myocardium was not demonstrated in the stunned myocardium. Infiltration of small mononuclear cells has been documented in some cases; these pathologic findings suggest that this cardiomyopathy is a kind of inflammatory heart disease, but not a coronary heart disease. There is also a report describing histologic myocardial damage without coronary heart disease.

Treatment

The treatment of takotsubo cardiomyopathy is generally supportive in nature. In individuals with hypotension, support with inotropic agents or an intra-aortic balloon pump have been used. In many individuals, left ventricular function normalizes within 2 months.Aspirin and other heart drugs also appear to help in the treatment of this disease, even in extreme cases.

Prognosis

Despite the grave initial presentation in some of the patients, most of the patients survive the initial acute event, with a very low rate of in-hospital mortality or complications. The patients are expecting a favorable outcome once recovering from the acute stage of the syndrome, and the long-term prognosis is excellent.Even when ventricular systolic function is heavily compromised at presentation, it typically improves within the first few days and normalises within the first few months.Although infrequent, recurrence of the syndrome has been reported and seems to be associated with the nature of the trigger.

Statistical analysis

The increased awareness of this syndrome led life insurers to analyse mortality rates in general. In a March 2008 study, Jaap Spreeuw and Xu Wang of the Cass Business School observed that in the year following a loved one’s death, women were more than twice as likely to die than normal, and men more than six times as likely.
The broken heart syndrome also led financial analyst David X. Li to develop the Gaussian copula models for the pricing of collateralized debt obligations where at times seemingly unrelated entities become subject to sympathetic financial defaults based on common (but at times not obvious) links.

In popular culture

In an episode of E.R., The Heart of the Matter, a woman suffers a heart attack as a result of stress cardiomyopathy after learning of her husband's death.
Post-Rock band Maybeshewill have a song called "Takotsubo" on their album Not For Want Of Trying.

In Season 6 of Entourage, Johnny Chase, a.k.a. Drama, is diagnosed with takotsubo cardiomyopathy after a meltdown during an audition for Melrose Place.
On English death certificates, doctors would write "broken heart" as the cause of death if they died inexplicably following the death of a spouse.

In an episode of Grey's Anatomy Dr. Isabell Stevens diagnoses a patient with stress cardiomyopathy. The woman had been suffering from the illness for 7 years, triggered after her affair with her neighbor who suddenly passed away, she claimed he was her "soulmate."

In an episode of Scrubs a woman whose husband died suffered from a similar condition.
In House MD, episode 11 of season 3, a patient is diagnosed with Broken Heart Syndrome. The cause was his love for his brother's fiancee. The patient chose the treatment of electric currents through his brain to remove part of his memory.