Wednesday, December 30, 2009

Ummu 'Umarah Radhiallahu'anha

Kehidupan dunia dengan segala penderitaannya seolah tak lagi berarti baginya, manakala dia telah mendengar janji indah tentang surga. Sepenuh pengorbanan jiwa dan raga dia berikan untuk Allah dan Rasul-Nya.

Mungkin orang yang belum pernah mendengar namanya akan mengernyitkan dahi sembari bertanya, siapakah dia? Namun tak mungkin diingkari, dia adalah seorang shahabiyah yang memiliki untaian kemuliaan besar. Kemuliaannya tertulis dalam sejarah kaum muslimin. Dia bernama Nusaibah bintu Ka’b bin ‘Amr bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar radhiallahu 'anha. Ibunya bernama Ar Rabbab bintu ‘Abdillah bin Habib bin Zaid bin Tsa’labah bin Zaid Manat bin Habib bin ‘Abdi Haritsah bin ‘Adlab bin Jasym bin Al Khazraj.
Ummu ‘Umarah dipersunting oleh Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar. Mereka dikaruniai dua orang putra, ‘Abdullah dan Habib, yang kelak di kemudian hari menjadi shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyertai beliau dalam medan peperangan. Sepeninggal suaminya, Ummu ‘Umarah menikah dengan Ghaziyah bin ‘Amr bin ‘Athiyah bin Khansa’ bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar radhiallahu 'anhu. Dari pernikahan mereka, lahir Tamim dan Khaulah.
Ummu ‘Umarah radhiallahu 'anha menyambut datangnya seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah keislamannya itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan banyak kemuliaan padanya. Satu per satu peristiwa besar turut dilaluinya. Dia salah satu wanita yang hadir pada malam ‘Aqabah dan berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Medan Uhud, Hudaibiyah, Khaibar, ‘Umratul Qadla’, Hunain tak lepas dari sejarah perjalanan hidupnya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan semasa pemerintahan Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu, dia turut terjun memerangi Musailamah Al Kadzdzab dalam perang Yamamah.
Kisah indah dan mengesankan dalam medan pertempuran Uhud, tatkala Ummu ‘Umarah radhiallahu 'anha ikut berperan dalam kancah itu bersama suaminya, Ghaziyah bin ‘Amr serta kedua putranya, ‘Abdullah dan Habib radhiallahu 'anhum. Dengan membawa geriba tempat air minum untuk memberi minum pasukan yang terluka, Ummu ‘Umarah berangkat bersama pasukan kaum muslimin di awal siang.
Pertempuran berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, tak tersisa di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali hanya beberapa orang yang tak sampai sepuluh orang banyaknya. Di saat yang genting itu, Ummu ‘Umarah terjun langsung dalam peperangan dengan pedangnya. Bersama suami dan dua putranya, Ummu ‘Umarah mendekati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, melindungi di depan beliau dengan segenap kemampuan.
Tanpa perisai Ummu ‘Umarah melindungi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara sebagian besar pasukan muslimin lari kocar-kacir. Di antara orang-orang yang berlarian menjauh dari beliau, ada seseorang yang lari membawa perisainya. Beliau pun berseru, “Berikan perisaimu pada orang yang berperang!” Orang itu pun melemparkan perisainya dan segera diambil oleh Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah pun bertameng dengannya. Demikian keadaan yang mereka hadapi saat itu, sementara lawan mereka adalah pasukan berkuda kaum musyrikin.
Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda memacu kudanya sembari menyabetkan pedangnya ke arah Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah menangkis tebasan itu dengan perisainya hingga orang itu tak berhasil berbuat sesuatu. Ummu ‘Umarah pun menebas kaki kudanya hingga penunggang kuda itu pun terjatuh. Menyaksikan hal itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam segera memanggil salah seorang putra Ummu ‘Umarah, “Ibumu! Ibumu!” Dengan cepat putra Ummu ‘Umarah datang membantu ibunya hingga dapat melumpuhkan musuh Allah itu.
Di tengah berkecamuknya perang, putra Ummu ‘Umarah, ‘Abdullah bin Zaid terluka di lengan kirinya, ditebas oleh seseorang yang sangat cepat datangnya dan berlalu begitu saja, tanpa sempat dia kenali. Darah pun mengucur tak henti. Melihat itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Balut lukamu!” Ummu ‘Umarah pun datang membawa pembalut yang dipersiapkannya untuk membalut luka-luka, segera mengikat luka putranya, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri mengawasi. Usai mengikat luka, Ummu ‘Umarah berkata pada putranya, “Bangkitlah! Perangilah orang-orang itu!” Mendengar ucapannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa yang mampu melakukan seperti yang kaulakukan, wahai Ummu ‘Umarah?”
Kemudian datanglah orang yang melukai ‘Abdullah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata, “Itu orang yang menebas putramu!” Ummu ‘Umarah segera menghadangnya dan menebas betisnya hingga orang itu terjatuh. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum menyaksikannya hingga tampak gigi geraham beliau. Ummu ‘Umarah pun menebasnya bertubi-tubi hingga mati. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan pada Ummu ‘Umarah, “Segala puji milik Allah yang telah menolongmu serta menyenangkan hatimu dengan keadaan musuhmu dan memperlihatkan pembalasan itu di depan matamu.”
Ummu ‘Umarah pun menderita luka-luka dalam peperangan itu. Luka yang paling besar terdapat di pundaknya, karena tikaman pedang seorang musuh Allah dan Rasul-Nya, Ibnu Qami’ah. Saat itu, Ibnu Qami’ah datang dan berseru, “Tunjukkan aku pada Muhammad! Aku tidak akan selamat kalau dia selamat!” Dia pun segera dihadang oleh Mush’ab bin ‘Umair radhiallahu 'anhu bersama para sahabat yang lain. Ummu ‘Umarah berada dalam barisan itu. Maka Ibnu Qami’ah menghunjamkan pedangnya ke pundak Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah pun membalas dengan beberapa kali tebasan, namun musuh Allah itu mengenakan baju perang yang melindunginya.
Tatkala melihat Ummu ‘Umarah terluka di pundaknya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berseru pada ‘Abdullah, “Ibumu! Ibumu! Balutlah lukanya! Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan ibumu pada hari ini lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan suami ibumu lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait!” Ummu ‘Umarah pun meminta, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar kami menemanimu di dalam surga!” Beliau pun berdoa, “Ya Allah, jadikan mereka orang-orang yang menemaniku di dalam surga.” Ummu ‘Umarah berkata, “Aku tidak peduli lagi apa yang menimpaku di dunia.”
Dua belas luka didapatkan oleh Ummu ‘Umarah dalam peperangan itu. Tikaman pedang Ibnu Qami’ah itulah luka yang paling parah yang diderita oleh Ummu ‘Umarah, hingga dia harus mengobati luka itu setahun lamanya.
Keadaan luka yang sedemikian hebat tak menyurutkan semangat Ummu ‘Umarah untuk membela Allah dan Rasul-Nya. Ketika kaum muslimin diseru untuk bersiap menuju peperangan di Hamra`il Asad, Ummu ‘Umarah pun menyingsingkan bajunya. Namun, dia tak kuasa menahan kucuran darah dari lukanya. Dalam semalam lukanya terus diseka hingga pagi.
Sepulang dari peperangan di Hamra`il Asad, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Abdullah bin Ka’b Al-Mazini untuk menanyakan keadaan Ummu ‘Umarah. ‘Abdullah bin Ka’b pun melaksanakan perintah beliau, kemudian menyampaikan kabar Ummu ‘Umarah kepada beliau.
Kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya terus diwujudkannya, sampai pun setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat. Ketika Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu menjabat sebagai khalifah, muncul seorang pendusta bernama Musailamah Al-Kadzdzab, yang mengaku sebagai nabi. Abu Bakr radhiallahu 'anhu pun memeranginya bersama pasukan kaum muslimin dalam perang Yamamah. Ummu ‘Umarah pun turut serta dalam pasukan itu. Di sanalah Ummu ‘Umarah terpotong tangannya dan menderita sebelas luka lainnya karena tebasan pedang dan tusukan tombak. Di sanalah pula Ummu ‘Umarah kehilangan putranya, Habib bin Zaid radhiallahu 'anhu.
Tak hanya dalam peperangan dia hadir di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pun Ummu ‘Umarah meriwayatkan ilmu dari beliau, serta menyebarkannya pada manusia. Perwujudan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya dengan segala pengorbanan jiwa dan raga sepanjang perjalanan kehidupannya di dunia, mengantarkan dirinya untuk mendapatkan kemuliaan yang kekal selama-lamanya.
Ummu ‘Umarah, semoga Allah meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/265-266)
Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1948-1949)
Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/412-415)
Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/278-282)



Barirah radhiallahu 'anha Maulah 'Aisyah radhiallahu 'anha Ummul Mukminin


Ini adalah kisah seorang sahaya yang ingin mendapatkan kemerdekaannya. Perjalanan hidupnya membuahkan pelajaran-pelajaran berharga untuk seluruh kaum muslimin hingga akhir masa.

Barirah, dia seorang sahaya (budak) milik salah seorang dari Bani Hilal. Suaminya seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah, bernama Mughits. Barirah radhiallahu 'anha menginginkan kemerdekaan dirinya. Dia pun mengikat perjanjian dengan tuannya untuk membayar sembilan uqiyah sebagai harga dirinya. Dalam setahun, dia membayar satu uqiyah.
Barirah datang menemui ‘Aisyah radhiallahu 'anha untuk meminta bantuannya. Saat itu, ‘Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan padanya, “Kembalilah pada tuanmu dan katakan, kalau mereka mau, aku akan membayarkan tunai seluruh hargamu, lalu kumerdekakan dirimu dan nanti wala`1mu untukku.” Barirah pun kembali untuk menyampaikan keinginan ‘Aisyah radhiallahu 'anha. Namun hasilnya nihil. Mereka menolak sembari mengatakan, “Kalau dia mau mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan bantuannya padamu, maka hendaknya dia lakukan, sementara wala`mu tetap untuk kami.”
Barirah mengadukan penolakan mereka kepada ‘Aisyah radhiallahu 'anha, “Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka, namun mereka menolak, kecuali bila wala`ku untuk mereka.”
Hal itu didengar oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pun bertanya, “Apa permasalahan Barirah?” ‘Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Mendengar penuturan ‘Aisyah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Belilah dia, lalu merdekakan. Sesungguhnya wala` itu bagi orang yang memerdekakan.” Setelah itu beliau bangkit untuk berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta'ala beliau bersabda, “Bagaimana kiranya keadaan suatu kaum, mereka mengajukan syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Syarat mana pun yang tidak ada di dalam Kitabullah, maka syarat itu batil, biarpun seratus kali mereka mengajukan syarat. Ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala itu lebih haq, syarat Allah Subhanahu wa Ta'ala itu lebih kokoh. Bagaimana kiranya salah seorang dari mereka bisa mengatakan, ‘Bebaskanlah budakku, wahai Fulan, sementara wala`nya untukku’. Sesungguhnya wala` itu hanya untuk orang yang memerdekakan.”
Akhirnya, Barirah pun mendapatkan kemerdekaan dirinya yang selama ini diimpikan. Ketika itu, Barirah diberi pilihan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tetap bersama suaminya atau berpisah darinya. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengiringi pula dengan nasihat agar Barirah tetap mempertahankan pernikahannya. Barirah lalu bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah ini sesuatu yang wajib kulakukan?”
“Tidak,” kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.”
“Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah.
Maka berpisahlah Barirah dari Mughits. Barirah memilih dirinya, diiringi kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits mengikuti Barirah berjalan di jalan-jalan Madinah sembari berlinangan air mata, memohon kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Namun Barirah enggan untuk kembali sembari mengatakan, “Aku tidak membutuhkanmu.” Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau, Al-’Abbas radhiallahu 'anhu, “Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa benci Barirah terhadap Mughits, dan rasa cinta Mughits pada Barirah?”
Masa ‘iddah Barirah kala itu seperti ‘iddah wanita merdeka yang ditalak.
Sebelum dimerdekakan, Barirah biasa membantu ‘Aisyah. Ketika tersebar berita dusta tentang ‘Aisyah yang disebarkan oleh gembong munafikin, Abdullah bin Ubai bin Salul, atas saran ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Barirah untuk menanyakan tentang keadaan ‘Aisyah.
“Wahai Barirah, pernahkah engkau melihat sesuatu pada ‘Aisyah yang membuatmu bimbang?” tanya beliau.
“Demi Dzat Yang mengutusmu dengan Al-Haq,” jawab Barirah, “aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang pantas kucela, kecuali dia itu seorang wanita yang masih sangat muda yang masih suka tertidur di sisi adonan makanan yang dibuat untuk keluarganya hingga datang hewan memakan adonan itu.”
Berbagai kisah dirangkai oleh Barirah dengan keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Suatu ketika, Barirah pernah diberi sedekah daging kambing. Lalu ia pun menghadiahkan kepada keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Saat itu ‘Aisyah enggan memakannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun datang, dan bertanya, “Dari mana daging ini?”
“Barirah yang memberikannya untuk kita dari daging yang disedekahkan baginya,” jawab ‘Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ini sedekah baginya dan hadiah bagi kita darinya.”
Barirah melalui masa hidupnya hingga beberapa masa pemerintahan. Barirah sempat berfirasat bahwa nanti Abdul Malik bin Marwan akan menduduki kepemimpinan kaum muslimin. Disampaikannya firasat ini kepada Abdul Malik bin Marwan jauh-jauh hari sebelum Abdul Malik diangkat sebagai khalifah, ketika Abdul Malik bertemu dengan Barirah di Madinah. Kata Barirah, “Wahai Abdul Malik, aku melihatmu memiliki perangai-perangai yang mulia, dan engkau layak untuk memegang tampuk pemerintahan. Maka bila nanti engkau diserahi kepemimpinan, berhati-hatilah dengan masalah darah kaum muslimin, karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang ditolak dari pintu surga setelah melihat keindahan surga disebabkan darah seorang muslim sepenuh mihjamah2 yang dia tumpahkan tanpa hak.”
Barirah kembali kepada Rabbnya pada masa khilafah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu 'anhuma. Barirah maulah Ummu Mukminin ‘Aisyah, semoga Allah meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber Bacaan:
 Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/535)
 Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1795-1796)
 Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/256-260)
 Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Kitabul Mukatab, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani
 Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/297-304)
 Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/136-137)

1 Bila seorang budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia sementara ia meninggalkan harta, maka hartanya itu diwarisi oleh orang yang memerdekakannya
2 Mihjamah adalah alat untuk berbekam



Ummu Hani' bintu Abi Thalib Al-Hasyimiyyah radhiallahu 'anha


Dia begitu mengerti tentang agungnya hak seorang suami. Dia pun mengerti tentang hak anak-anak yang ditinggalkan suaminya dalam asuhannya. Dia tak ingin menyia-nyiakan satu pun dari keduanya, hingga dia dapatkan pujian yang begitu mulia, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”

Dia bernama Fakhitah, seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy. Putri paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Thalib Abdu Manaf bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Dia saudari sekandung 'Ali, ‘Aqil dan Ja’far, putra-putra Abu Thalib.
Semasa jahiliyah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminangnya. Pada saat bersamaan, seorang pemuda bernama Hubairah bin Abi Wahb Al-Makhzumi pun meminangnya pula. Abu Thalib menjatuhkan pilihannya pada Hubairah hingga akhirnya Abu Thalib menikahkan Hubairah dengan putrinya. Dari pernikahan ini, lahirlah putra-putra Hubairah, di antaranya Ja’dah bin Hubairah yang kelak di kemudian hari diangkat 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu -ketika menjabat sebagai khalifah- sebagai gubernur di negeri Khurasan. Putra-putra yang lainnya adalah `Amr –yang dulunya Ummu Hani` berkunyah dengannya, namun putranya ini meninggal ketika masih kecil– serta Hani` dan Yusuf.
Namun pada akhirnya, Islam memisahkan mereka berdua. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala membukakan negeri Makkah bagi Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan manusia berbondong-bondong masuk Islam, Ummu Hani` radhiallahu 'anha pun berislam bersama yang lainnya. Mendengar berita keislaman Ummu Hani`, Hubairah pun melarikan diri ke Najran.
Pada hari pembukaan negeri Makkah itu, ada dua kerabat suami Ummu Hani` dari Bani Makhzum, Al-Harits bin Hisyam dan Zuhair bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, datang kepada Ummu Hani` untuk meminta perlindungan. Waktu itu datang pula 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu menemui Ummu Hani` sambil mengatakan, “Demi Allah, aku akan membunuh dua orang tadi!” Ummu Hani` pun menutup pintu rumahnya dan bergegas menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Saat itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tengah mandi, ditutup oleh putri beliau, Fathimah radhiallahu 'anha dengan kain. Ummu Hani` pun mengucapkan salam, hingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Siapa itu?” “Saya Ummu Hani`, putri Abu Thalib,” jawab Ummu Hani`. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menyambutnya, “Marhaban, wahai Ummu Hani`!”
Lalu Ummu Hani` mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kedatangan dua kerabat suaminya untuk meminta perlindungan kepadanya sementara 'Ali berkeinginan membunuh mereka. Maka beliau pun menjawab, “Aku melindungi orang yang ada dalam perlindunganmu dan memberi jaminan keamanan pada orang yang ada dalam jaminan keamananmu.” Usai mandi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat delapan rakaat. Waktu itu adalah waktu dhuha.
Setelah Ummu Hani` berpisah dari suaminya karena keimanan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang untuk meminang Ummu Hani`. Namun dengan halus Ummu Hani` menolak, “Sesungguhnya aku ini seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan perhatian yang menyita banyak waktu. Sementara aku mengetahui betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan mampu untuk menunaikan hak-hak suami.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengurungkan niatnya. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”
Ummu Hani` radhiallahu 'anha meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hingga saat ini termaktub dalam Al-Kutubus Sittah. Dia pun menyebarkan ilmu yang telah dia dulang hingga saat akhir kehidupannya, jauh setelah masa khilafah saudaranya, 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, pada tahun ke-50 H. Ummu Hani` Al-Hasyimiyyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber Bacaan:
 Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Ibnu Katsir (4/292-293)
 Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/317)
 Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1963-1964)
 Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (8/47)
 Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/311-314)
 Tahdzibul Kamal, Al-Mizzi (35/389-390)

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=346

Monday, December 28, 2009

Menggunakan nama Kunyah adalah Sunnah.

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


Kun-yah adalah setiap nama yang dimulai baik dalam sebutan panggilan atau tuisan dengan Abu Fulan atau Abu Fulanah bagi laki-laki. Contohnya seperti : Abu Abdillah (dari nama Abdullah), Abu Unaisah (kun-yahnya penulis). Dn Ummu Fulan atau Ummu Fulanah bagi perempuan. Contoh seperti : Ummu Abdillah atau Ummu Unaisah.

Kun-yah merupakan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Dan kun-yah juga merupakan kemuliaan bagi orang yang dikun-yahkan [1]. Kun-yah merupakan kebiasaan kaum muslimin dan warisan yang turun temurun dari zaman ke zaman sampai mereka meninngalkannya. Demikian seriusnya perhatian ulama terhadap masalah kun-yah sehingga kalau kita membaca kitab-kitab rijalul hadits, kita akan dapati bab kun-yah tersendiri. Bahkan sebagian ulama memerlukan menyusun kitab khusus berbicara tentang masalah kun-yahnya para perawi hadits. Seperti Imam Muslim dengan kitabnya Al-Kuna wal Asma dan Imam Ad-Dulabiy dengan kitabnya Kitabul kuna wal Asma.

Tentang sunahnya berkun-yah ini sangat luas sekali diantaranya.

Pertama : Bolehnya seorang itu berkun-yah meskipun dia belum menikah yang dengan sendirinya belum mempunyai anak. Seperti Anas bin Malik dikun-yahkan dengan Abu Hamzah atau Abu Hurairah yang namanya Abdurrahman dikun-yahkan dengan Abu Hurairah padahal keduanya belum menikah.

Kedua : Atau seorang yang telah menikah akan tetapi belum mempunyai anak atau tidak mempunyai anak sama seperti Aisyah dikun-yahkan dengan Ummu Abdillah. Padahal Aisyah tidak mempunyai anak dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia dikun-yahkan dengan nama kemenakannya yaitu Abdullah bin Zubair anak Asma bin Abi Bakar Ash-Shidiq. [2]

Ketiga : Bolehnya seorang berkun-yah dengan yang bukan dengan nama anak-anaknya seperti Abu Bakar. Padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Bakar. Dan Umar dikun-yahkan dengan Abu Hafs padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Hafs. Dan lain-lain shahabat banyak sekali.

Keempat : Boleh memberi kun-yah kepada anak yang masih kecil berdasarkan riwayat shahih dibawah ini.

"Artinya : Dari Anas, dia berkata : Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil (dikun-yahkan) dengan Abu Umair -dan dia sudah disapih-. Dan beliau apabila datang (yakni ke rumah Anas) berkata, Ya, Aba Umair, apa yang telah diperbuat oleh Nughair?"

"Berkata Anas, Nughair yang dipakai bermain oleh Abu Umair".

Dikeluarkan oleh Bukhari (no. 6129, 6203) di kitab Shahihnya dan dikitabnya Adabul Mufrad (no. 847), Muslim (6/177), Abu Dawud (no. 4969), Tirmidzi (333, 1990) dan Ibnu Majah (no. 3720) dan lain-lain.

Hadits yang mulia ini memberi fawaa-id yang demikian banyak dengan mengumpulkan seluruh jalannya dan lafadz-lafadznya sampai enam puluh faedah sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath (no. 6203) di antaranya ialah bolehnya memberi kun-yah kepada anak-anak yang masih kecil sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi kun-yah kepada saudara Anas yang masih kecil dengan Abu Umair. [3]

Kelima : Bolehnya memberi kun-yah kepada seseorang dengan sesuatu yang ada pada orang tersebut. Seperti Ali bin Abi Thalib dikunyah-kan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Abu Turab (yang artinya bapak tanah). Kejadiannya ketika Ali sedang tidur di masjid punggungnya ketutupan tanah, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membangunkannya sambil berkata, Ya, Aba Turab bangunnlah! [4]

Keenam : Bolehnya seseorang mempunyai lebih dari satu kun-yah seperti Ali, selain dikun-yahkan dengan Abu Turab, dia pun dikun-yahkan dengan Abu Hasan mengambil nama anaknya yang pertama yaitu Hasan.

Ketujuh : Bolehnya berkun-yah dengan anak laki-laki atau anak perempuan.

Kedelapan : Bolehnya berkun-yah bukan dengan nama anak tertua, akan tetapi yang telah maklum berkun-yah dengan anak tertua mengambil perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkun-yah dengan anak tertua beliau yaitu Abul Qasim. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hani, Maka (kun-yah)mu adalah Abu Syuraih. Mengambil anak tertua Hani, yaitu Syuraih.

Kesembilan : Lantaran berkun-yah merupakan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kemuliaan atau penghormatan kepada orang yang dikun-yahkan, maka tidak ada kun-yah bagi orang kafir karena tidak ada kemuliaan dan kehormatan bagi mereka kecuali mereka tidak dikenal melainkan dengan kun-yahnya.

Kesepuluh : Telah berselisih para Ulama tentang hukum berkunyah dengan kun-yah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah terjadi kesepakatan (ijma') di antara mereka tentang Sunnahnya memberi nama dengan nama beliau yaitu Muhammad atau Ahmad. Barangkali yang lebih mendekati kebenaran -wallahu a'lam- illat (sebab) larangan beliau terbatas dimasa hidup beliau agar tidak terjadi kesamaran di waktu berbicara atau memanggil. Ketika beliau telah wafat maka dengan sendirinya illat tersebut pun hilang. Lebih lanjut bacalah masalah ini di Fat-hul Baari (no. 6187 dan seterusnya)d dan di Tuhfatul Maudud bab 8 fasal 7.

Perhatian!
Patutlah seseorang jangan menghilangkan namanya lantaran dia berkun-yah kecuali dia telah masyhur dengan kun-yahnya sehingga namanya tidak dikenal atau hampir-hampir tidak dikenal seperti Abu Hurairah atau Abu Bakar.

[Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I Th 1423H/2002M]

_________
Footnotes
[1]. Oleh karena itu tidak patut memberi kun-yah kepada orang-orang kafir karena tidak ada kemuliaan bagi mereka kecuali mereka telah masyhur dengan kun-yahnya.
[2]. Sunan Abi Dawud (no. 4970), Adabul Mufrad (no. 850, 851) oleh Imam Bukhari
[3]. Syarah Muslim Kitabul Adab oleh Imam An-Nawawi
[4]. Fat-hul Baari (no. 6204) Adabul Mufrad (852)


Sumber artikel : http://www.almanhaj .or.id/content/ 2489/slash/ 0

Sunday, December 27, 2009

Tafsir Surah Al-Lahab(Al-Masad)

Para pembaca, semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa merahmati kita semua. Setiap insan tentu berharap dan mendambakan kehidupan yang bahagia di dunia dan lebih-lebih di akhirat kelak. Hal ini tidaklah bisa dicapai kecuali dengan menerima segala apa yang datang dari Allah subhanahu wata’ala dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 71)

Dan demikian pula sebaliknya, segala bentuk kehinaan dan malapetaka bersumber dari sikap antipati dan berpaling dari peringatan Allah subhanahu wata’ala dan peringatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adalah sunnatullah, tidak ada seorangpun yang menolak dan mendustakan ajaran yang dibawa oleh para nabi, kecuali ia akan hina dan binasa. Allah subhanahu wata’ala dengan tegas menyebutkan dalam firman-Nya (artinya):

“Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 48)

Lihatlah kisah umat-umat terdahulu seperti kaum ‘Ad, Tsamud, Qarun, Fir’aun dan Haman, Allah subhanahu wata’ala telah membinasakan mereka disaat mereka mendustakan dan berpaling dari ajaran yang dibawa oleh nabi yang diutus kepada mereka. Demikian pula apa yang telah terjadi pada umat nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan satu surat khusus yang berisi vonis kebinasaan bagi para pembangkang dan pengacau dakwah. Surat tersebut adalah Surat Al Masad atau dinamakan juga dengan surat Al Lahab. Surat ini terdiri atas 5 ayat dan termasuk golongan surat-surat Makkiyyah.

Sebab Turunnya Surat

Suatu hari, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam naik ke bukit Shafa. Beliau naik sampai kepuncaknya, kemudian berseru, “Ya shabahah!” (kalimat peringatan yang biasa mereka gunakan untuk mengabarkan akan adanya serangan musuh atau terjadinya peristiwa yang besar).

Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mulai memanggil kabilah-kabilah cabang dari kabilah Quraisy dan menyebut mereka kabilah per-kabilah, Wahai bani Fihr, wahai Bani Fulan, wahai Bani Fulan, wahai Bani Abdu Manaf, wahai Bani Abdul Muththalib!” ketika mendengar (panggilan tersebut), mereka bertanya, siapa yang berteriak-teriak itu? Mereka mengatakan, “Muhammad.” Maka orang-orang pun bergegas menuju beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, sampai-sampai seseorang yang tidak bisa datang sendiri mengirim utusan untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Ketika mereka telah berkumpul, beliaupun berbicara: “Apa pendapat kalian seandainya aku beritahukan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda di lembah bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka menjawab: “Ya, kami tidak pernah menyaksikan engkau melainkan selalu bersikap jujur.” Beliaupun berkata: “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih. Permisalanku dengan kalian hanyalah seperti seseorang yang melihat pasukan musuh kemudian bergegas untuk mengawasi keluarganya (mengamati dan melihat mereka dari tempat tinggi agar mereka tidak didatangi musuh secara tiba-tiba) karena ia khawatir musuh akan mendahuluinya, maka ia pun berseru, “Ya, shabahah.”

Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Lalu beliau menjelaskan kepada mereka bahwa kalimat syahadat merupakan kekuatan dunia dan keselamatan akhirat.

Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan mereka agar waspada dari siksa Allah. Dijelaskan pula bahwa keberadaan beliau sebagai rasul tidak bisa menyelamatkan mereka dari siksa dan menolong mereka sedikitpun dari (keputusan) Allah. Beliau memberi peringatan tersebut secara umum dan khusus. Beliau mengatakan: “Wahai orang-orang Quraisy, korbankanlah diri-diri kalian karena Allah! Selamatkanlah diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat kepada kalian dan tidak pula manfaat, serta aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Bani Ka’ab bin Luay, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberi mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai Bani Ka’ab bin Murrah, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Qushay, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai bani ‘Abdu Syams, selamatkanlah diri-diri kalian dari api neraka! Wahai bani Abdu Manaf, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai bani Hasyim, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Wahai bani ‘Abdul Muthalib, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat, serta aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Mintalah kepadaku dari hartaku sebanyak yang kalian suka, namun aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib (bibi Rasulullah), aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Fatimah bintu Muhammad Rasulullah mintalah kepadaku dari hartaku sebanyak apa yang engkau mau, selamatkan dirimu dari api neraka, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Karena kalian memiliki hubungan silaturahmi maka akan aku basahi dengan airnya (maksudnya akan aku sambung hubungan silaturahmi tersebut sesuai haknya).

Setelah selesai beliau menyampaikan peringatan tersebut, orang-orangpun bubar dan bertebaran. Tidak disebutkan keadaan bahwa mereka menampakkan suatu penentangan ataupun dukungan atas apa yang telah mereka dengar, kecuali apa yang terjadi pada Abu Lahab. Ia menemui Nabi dengan nada yang kasar. Ia berkata, “Celakalah engkau selama-lamanya! Cuma untuk inikah kamu kumpulkan kami?” Maka turunlah ayat (artinya): “Telah celaka kedua tangan Abu Lahab dan diapun celaka.” (Al-Lahab:1)

Kandungan surat Al Lahab

Ayat pertama

تَّبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهْبٍ وَتَبَّ

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”

Abu Lahab adalah putranya Abdul Muththalib namanya Abdul ‘Uzza. Dinamakan Abu Lahab karena ia kelak akan masuk ke dalam neraka yang memiliki lahab (api yang bergejolak). Atas dasar inilah Allah subhanahu wata’ala menyebutnya dalam kitab-Nya Al Quran dengan kun-yahnya (yaitu nama/julukan yang diawali dengan Abu atau Ibnu, atau Ummu bagi perempuan), dan bukan dengan namanya. Juga karena ia lebih tenar dengan kun-yahnya. Dan juga karena namanya disandarkan kepada nama salah satu berhala pada zaman itu. Dia adalah salah satu paman Rasul yang paling besar permusuhannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sejak dikumandangkannya dakwah mengajak beribadah hanya kepada Allah saja. Ayat ini turun sebagai bantahan kepadanya disaat menolak dan enggan untuk mengikuti seruan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Mungkin para pembaca bertanya-tanya, mengapa Allah hanya menyebutkan kedua tangannya saja yang akan binasa? Jawabannya adalah seperti yang telah dijelaskan dalam kitab tafsir Adhwa`ul Bayan, bahwa penyebutan tangan dalam ayat ini, masuk dalam kaidah penyebutan sebagian tetapi yang dimaksudkan adalah keseluruhannya. Hal ini diketahui dari lafazh setelahnya yaitu “Watabba” artinya: ia (Abu Lahab) telah binasa.

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wata’ala memaksudkan penyebutan kebinasaan seseorang dengan mencukupkan penyebutannya pada kedua tangannya. Ya, karena memang kedua tanganlah yang mempunyai peran besar dalam mengganggu dan menyakiti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Ayat kedua

مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

“Tidaklah berfaedah (berguna) kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”.

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menyebutkan: “Tatkala Rasulullah mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain Allah, berkatalah Abu Lahab: “Jika apa yang dikatakan putra saudaraku (Rasulullah) adalah benar aku akan menebus diriku dari azab yang pedih pada hari kiamat dengan harta dan anak-anakku.” Maka turunlah firman Allah Ta’ala (artinya): “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (Tafsir Ibnu Katsir)

Ketika vonis binasa telah disandangnya, maka tidak bermanfaat lagi apa yang telah diusahakannya dari harta-benda, anak istri, kedudukan, jabatan dan lain sebagainya dari perkara dunia ini. Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya (artinya): “Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.”

Ayat ketiga

سَيَصْلَى نَاراً ذَاتَ لَهَبٍ

“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.”

Kelak ia akan diliputi oleh api neraka dari segala sisinya

Ayat keempat

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.”

Istri Abu Lahab merupakan salah satu tokoh wanita Quraisy. Namanya adalah Auraa’ bintu Harb bin Umayyah kunyahnya Ummu Jamil, saudara perempuannya Abu Sufyan (bapaknya Muawiyyah). Sebagaimana suaminya, ia juga merupakan wanita yang paling besar gangguan dan permusuhannya terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ia dan suaminya bahu-membahu dalam permusuhan dan dosa. Ia curahkan segenap daya dan upayanya untuk mengganggu dan memusuhi beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Pernah ia membawa dahan yang penuh duri, lalu ia tebarkan di jalan yang sering dilalui oleh Rasulullah pada waktu malam, sehingga melukai beliau dan para shahabatnya.

Ketika mendengar turunnya ayat: “Telah celaka kedua tangan Abu Lahab.” Ia pun datang, sambil tangannya menggenggam batu, ia mencari-cari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sementara beliau tengah duduk bersama Abu Bakr di dekat Ka’bah. Kemudian Allah subhanahu wata’ala menutup penglihatannya sehingga ia tidak bisa melihat kecuali Abu Bakr t saja. Maka ia pun bertanya, “Mana temanmu itu (Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam)? Telah sampai kepadaku bahwa dia telah mengejekku dengan syair. Demi Allah, seandainya aku menjumpainya, sungguh aku akan pukul mulutnya dengan batu ini. Ketahuilah, demi Allah aku sendiri juga pandai bersyair.” Kemudian iapun mengucapkan syair:

Orang tercela kami tentang

Urusan kami mengabaikannya

Dan agamanya kami tidak suka

Lalu ia pun pergi. Maka bertanya Abu Bakr, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengira bahwa dia melihatmu?” Kemudian beliau pun menjawab, “Dia tidak melihatku. Allah telah menutupi pengelihatannya.”

Maka terkumpullah di punggung wanita jahat ini dosa-dosa, seolah orang yang mengumpulkan kayu bakar yang telah mempersiapkan seutas tali di lehernya. Atau ayat ini bermakna pula di dalam neraka wanita ini membawa kayu bakar untuk menyiksa suaminya sambil melilitkan dilehernya seutas tali dari sabut. Sedangkan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah dan As-Sa’dy menafsirkan ayat ini dengan namimah. Maksudnya istri Abu Lahab profesinya sebagai tukang fitnah. Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah (salah seorang tokoh besar dan ulama` tabi’in) berkata: “Istrinya Abu Lahab memfitnah Rasulullah dan para sahabatnya kepada musyrikin.” (Fathul Bari dan Tafsir Ibnu Katsir)

Ayat kelima

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدَ

“Yang dilehernya ada tali dari sabut.”

Al-Imam Al-Fara mengatakan: “Al-Masad adalah rantai yang ada di neraka, dan disebut juga tali dari sabut. (Fathul Bari)

Faidah

Para pembaca yang semoga dimuliakan Allah, dalam surat Al Masad ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik darinya, diantaranya:

1. Surat ini merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Dimana Allah menurunkan surat ini dalam kondisi Abu Lahab dan istrinya masih hidup, sementara keduanya telah divonis sebagai orang yang akan disiksa didalam api neraka, yang konsekuensinya mereka berdua tidak akan menjadi orang yang beriman. Dan apa yang dikabarkan Allah subhanahu wata’ala Dzat Yang Maha Mengetahui perkara yang gaib pasti terjadi.

2. Tidak berguna sedikitpun harta benda (untuk melindungi) seseorang dari azab Allah ketika ia melakukan perbuatan yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.

3. Haramnya menganggu orang beriman secara mutlak.

4. Tidak bermanfaat sedikitpun hubungan kekerabatan seorang musyrik, dimana Abu Lahab adalah pamannya Nabi tetapi ia di dalam neraka.

Penutup

Para pembaca yang semoga senantiasa dirahmati Allah subhanahu wata’ala, mudah-mudahan dengan kita mengetahui tafsir surat Al Masad ini akan menambah rasa tunduk dan patuh kita kepada Allah subhanahu wata’ala dan menjadi pendorong bagi kita untuk melaksanakan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Amïn Yä Rabbal ‘Älamïn…

Buletin Al-Ilmu Jember
http://www.assalafy.org/mahad/?p=162#more-162

Saturday, December 26, 2009

Pesanan ringkas Dr Asri kepada Gabungan Mahasiswa Tajdid

Dr asri kata kita kena jadi org yang adil dengan penuh keinsafan,jikalau tidak bercanggah dengan quran dan sunnah makanya kita tidak menentang,kita menentang syirik,bida'ah dan perkara-perkara yang langgar syariat Islam.

Sesungguhnya,ahlul sunnah wal jamaah adalah orang yang beraqidah seperti Rasulullah saw dan para sahabatnya.

Kita kena adil,jika ada dikalangan mereka benar kita akui kebenaran mereka,jika mereka tidak benar kita tegur dengan hikmah dan hujjah)quran dan sunnah).

Islam itu tidak ghulu'(melampaui batas),tetapi islam itu sederhana.Keseimbangan,ada orang byk ilmu tapi tidak dakwah,ada orang yang dakwah tapi tidak ada ilmu,maka jgn kita ghulu'(melampau) hanya sederhana.ada ilmu dan dakwah semampu kita.

Kata dia lagi,kita dakwah dengan menegakkan kata-kata Allah dan Rasullah(wahyu),bukan menegakkan tokoh,jemaah,semangat,hanya Allah dan Rasulullah.

Wallahu a'alm

Menjawab soalan Trinity itu apa?

Assala moalaikum..em nampaknya orang yang provoke ana itu tidak mengetahui ana adalah student Perbandingan Agama,makanya,ana mengetehui perbezaan Rubbubiyah,Ulluhiyah,Asma' Wassifat dengan Trinity.

Trinity itu adalah kepercayaan Kristian Katholik(Romawi),yang menyatakan Tuhan itu itu 3,tapi bukan tiga hanya satu.Mereka kata,Father is god,Son is god,Ruhul Kudus is god,not 3 god but 1 god.Analogi mereka adalah air,air dapat berbentuk pepejal(Ais),Cecair(air),gas(wap air),kata Kristian air ini sama tetapi dalam 3 bentuk,makanya mereka kata not 3 god but 1 god.

Jawapan kita kepada trinity adalah,bagaimana mungkin tuhan itu ada 3 bentuk,maka adakah tuhan itu lemah?Makan seperti manusia?Mendengar seperti manusia?Melihat seperti manusia?Tentu tidak..

Firman Allah,Surah an Nisa',ayat 171,

Wahai ahli kitab!Janganlah kamu melampai batas dalam agamamu,dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar sungguh,Al Masih Isa Puta Maryam itu, adalah utusan Allah dan kalimatnya yang disampaikanNya kepada Maryam, dan dengan tiupan roh darinya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya dan janganlah kamu mengatakan Tuhan itu tiga, berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Dia dari anggapan mempunyai anak. MilikNyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.

Maka ayat itu jelas,menyatakan kita tidak boleh mengatakan Tuhan kita itu berada dalam 3 keadaan.

Walaupun Allah ada menyatakan sifat-sifatnya seperti Maha Melihat dan Maha Mendengar,cara Allah itu tidak sama dengan cara makhluknya,ini dalilnya..

Surah Al-Ikhlas,Surah 1 dan 4,

Katakanlah Muhammad,Dialah Allah Yang Maha Esa.Allah tempat meminta segala sesuatu.Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.

Manhaj Salafussoleh berpegang bahawasanya Allah itu tidak sama dengan makhluknya,Rungkaian tauhid kepada 3 adalah untuk menyatakan Allah itu Rabb(Pencipta,Rububiyyah),Ulluhiyah(Menafikan semua tuhan kecuali Allah,Laila Hail Allah),dan membenarkan semua sifat-sifat Allah(asma' wassifat) yang terkandung dalam al Quran.

Kerana ada orang yang hanya meyakini adanya Rabb(Tuhan),namun tidak menafikan selain Allah seperti Kristian yang menyatakan Jesus itu tuhan,maka perlunya ada Ulluhiyah sebagai penafian kepada semua tuhan kecuali Allah.

Dan ada manusia yang meyakini Rabb dan menafikan semua tuhan kecuali Allah tetapi tidak membenarkan sifat-sifat Allah di dalam Quran seperti Allah bersemayam di atas Arasy,maka kerana itu adanya asma' wassifat.

Jadi apa persamaan Trinity dan tauhid 3 serangkai?

Di semua Universiti IPTA Malaysia yang ada aqidah Islamiyyah..semuanya menggunakan tauhid ini(Rubbubiyyah,Ulluhiyah,Asma' Wassifat).Tauhid ini adalah tauhid yang difahami salafussoleh.Allah itu pencipta,tiada tuhan selain Allah dan dengan kebenaran semua sifat-sifatnya dalam al-Quran.

Bagi yang memfitnah,mungkin tidak tahu apa itu tauhid 3 serangkai,dan tidak tahu apa maknanya,dan tidak tahu penjelasannya.Manhaj Salafussoleh mengamalkan keinsafan,maka kami tidak memfitnah tanpa hujjah..kami akan bagi jawapan dengan hujjah dengan dalil-dalilnya.

Daripada Ummu Syauqina Nurharyati Husna,
Pelajar Fasa 2 Perbandingan Agama,
Islamic Propargation Society International.

Rububiyyah,Ulluhiyah,asma' wassifat bukan Trinity.

Wujud sesetengah pihak yang mempertikaikan pembahagian tauhid kepada tiga bahagian iaitu rububiyyah, uluhiyyah dan asma’dan sifat yang mereka sandarkan fahaman ini kepada Syakh al-Islam Ibnu Taymiyyah dan Syaikh Muhammad ‘Abdul Wahhab.

Menurut mereka tiada dalil yang mendokong pembahagian tauhid sedemikian rupa bahkan ia tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., para sahabat baginda serta para salafussoleh. Bahkan terdapat tuduhan yang lebih teruk yang menyatakan pembahagian tauhid kepada tiga bahagian ini menyerupai konsep triniti dalam agama Kristian yang menyatakan Tuhan itu satu tetapi dimanifestasikan kepada tiga personaliti iaitu Tuhan Bapa, Tuhan Anak (Nabi Isa a.s.) dan Tuhan Ruhul Kudus.

Untuk menilai dakwaan-dakwaan ini seawajarnya kita menelusuri konsep-konsep yang ada dalam pembahagian tauhid kepada tiga ini.

Tauhid Rububiyyah adalah keyakinan bahawa Allah S.W.T. adalah zat yang menciptakan seluruh alam semesta serta makhluk-makhluk yang terdapat di alam ini. Allah jugalah yang telah mengatur segala urusan makhluknya seperti memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan sebagainya.

Firman-Nya: Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. [al-Zumar (39) : 62]

Tauhid jenis ini turut diperakui oleh golongan kafir pada zaman Rasulullah s.a.w. tetapi ini bukan bermakna mereka termasuk golongan yang telah mentauhidkan Allah S.W.T. atau mereka ini telah menjadi Muslim bahkan mereka tetap dengan kekufuran mereka kerana menolak Tauhid Uluhiyyah yang akan diperjelaskan selepas ini. Bukti bahawa golongan kafir tersebut menerima bahawa Allah S.W.T. merupakan Tuhan yang telah mencipta segala sesuatu adalah seperti berikut.

“Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab) -Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [al-Mu’minun (23) : 84-89]

Sehubungan dengan itu dapat kita fahami bahawa bukan setiap orang yang telah mengakui bahawa Allah S.W.T. adalah Tuhan yang menciptakan segala sesuatu maka mereka telah mencapai kesempurnaan dalam mentauhidkan Allah. Kemuncak tauhid hanya akan dapat dicapai apabila dia telah menerima konsep la ilaha illallah yang bermaksud “tiada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah S.W.T.”.

Kalimah ini bukan sekadar menetapkan (ithbat) bahawa Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah tetapi kalimat ini juga menolak (nafi) segala bentuk peribadahan selain daripada Allah. Konsep inilah yang dinamakan Tauhid Uluhiyyah.Tauhid Uluhiyyah menetapkan bahawa semua bentuk ibadah hanya ditujukan kepada Allah semata-mata dan tiada sekutu bagi-Nya.

Menurut Syaikh al-Islam Ibnu Taymiyyah ibadah bermaksud taat kepada Allah dengan menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para Rasul. Tambah beliau lagi ibadah adalah hal yang mengcakupi segala perkataan dan perbuatan baik yang zahir mahupun batin yang dicintai dan diredhai Allah. [Dinukil dari Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, ms 27]

Justeru segala bentuk ibadah seperti solat, puasa, zikir, doa, permohonan pertolongan atau perlindungan, perasaan takut (khauf), tawakal dan sebagainya hendaklah ditujukan atau dipersembahkan hanya kepada Allah S.W.T. sahaja. Perkara ini telah Allah tekankan menerusi surah al-Fatihah yang sentiasa di baca oleh umat Islam sekurang-kurangnya 17 kali dalam solat mereka iaitu “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” [al-Fatihah (1) : 5]

Merealisasikan Tauhid Uluhiyyah ini merupakan misi utama bagi setiap Rasul yang diutuskan oleh Allah S.W.T. di setiap penjuru muka bumi ini. Firman-Nya: “Sesungguhnya telah Kami utuskan seorang Rasul kepada setiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah dan jauhilah taghut.” [al-Nahl (16) : 36]

Menurut Imam Malik taghut adalah setiap sesuatu yang disembah selain Allah.Tauhid Uluhiyyah inilah yang telah dingkari oleh golongan kafir sama ada pada zaman dahulu mahupun sekarang Sikap golongan kafir yang menolak konsep keesaan Tuhan ini telah digambarkan dalam al-Qur’an sebagaimana firman-Nya : “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” [Shaad (38) : 5]

Maka mereka menyembah sesuatu selain daripada Allah bertujuan agar sesembahan mereka itu dapat memberi syafaat kepada mereka atau sebagai perantaraan untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Sikap golongan ini adalah sebagaimana yang dikhabarkan oleh Allah S.W.T. melalui firman-Nya: “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” [Yunus (10) : 18]

Tidakkah sikap golongan ini menyerupai gelagat segelintir kecil umat Islam yang mengunjungi kuburan-kuburan para wali bertujuan untuk beribadah serta meminta sesuatu permohonan? Bukankah alasan yang diberikan oleh mereka adalah perbuatan tersebut hanya menjadikan ahli kubur itu sebagai perantaraan agar permohonan mereka akan diterima oleh Allah S.W.T.? Aneh sungguh sikap mereka yang bertentangan dengan sunnah Nabi ini bahkan ia merupakan satu perbuatan yang bodoh kerana ahli kubur yang mereka seru itu tidak bernyawa serta tidak mampu untuk membantu agar permohonan mereka diperkenankan.

Firman Allah S.W.T.: “Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu dan jika mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari perbuatan syirik kamu itu dan tiada yang dapat memberi keterangan kepada engkau seperti (Allah) yang Maha Mengetahui.” (Faathir : 14)

Tambahan pula melakukan perjalanan yang jauh semata-mata untuk mengunjungi kuburan orang-orang soleh dengan tujuan untuk beribadah dan mencari keberkatan di situ sebenarnya bertentangan dengan syarak.

Baginda bersabda: “Tidak boleh dipersiapkan perjalanan jauh (bertujuan untuk ibadah) kecuali kepada tiga masjid; Masjidil Haram (di Mekah), Masjid Rasulullah s.a.w. (Masjid Nabawi di Madinah) dan Masjid al-Aqsa (di Palestin). [Hadis riwayat Imam al-Bukhari]

Tauhid Asma’ dan Sifat pula adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan Nama-Nama mahupun Sifat-Sifat Allah dan mensucikan-Nya daripada segala aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tauhid ini dalam ertikata lain adalah untuk mengenali Allah S.W.T. melalui Nama-Nama-Nya yang indah dan Sifat-Sifat-Nya yang Maha Tinggi lagi Maha Sempurna. Tidak ada jalan lain untuk sampai kepada pengetahuan ini melainkan melalui jalan wahyu iaitu berpandukan dari al-Qur’an dan hadis Rasulullah s.a.w. yang sahih.Berkaitan dengan Tauhid Asma’dan Sifat ini Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin r.h di dalam kitabnya al-Qowa’idul Mutsla telah berkata:

“Kita mengetahui bahawa Allah telah mengkhabarkan kepada kita tentang Diri-Nya dengan Nama-Nama-Nya yang indah dan Sifat-Sifat-Nya yang Sempurna. Kita juga yakin sepenuhnya bahawa Allah-lah yang paling mengetahui segala sesuatu, paling benar perkataan-Nya dan paling baik penuturan-Nya. Oleh kerana itu, kita wajib tanpa ragu-ragu lagi menetapkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut bagi Allah sesuai sepertimana yang Dia khabarkan sendiri kepada kita. Begitu juga sikap penerimaan kita terhadap khabar yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. yang mana baginda adalah orang yang paling tahu tentang Allah ‘Azza Wa Jalla, paling benar beritanya, paling tulus niatnya dan paling jelas penuturan serta penjelasannya.

Jadi wajib kita menerima berita sahih yang datang dari baginda s.a.w.tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla.Dari keyakinan ini maka datanglah kaedah emas dalam memahami Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah sebagaimana yang telah digariskan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa:

“(Hendaklah) beriman kepada apa sahaja yang disampaikan oleh Allah mengenai diri-Nya di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah s.a.w dengan keimanan yang bersih dari tahrif (Mengubah lafaz Nama-Nama Allah) dan ta'thil (Meniadakan atau mengingkari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah) serta dari takyif (bertanya bagaimana sifat Allah) dan tamtsil (mengumpamakan atau memisalkan sifat Allah dengan makhluk-Nya).

”Secara ringkasnya kaedah ini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Malik apabila ditanya tentang tatacara, ciri-ciri dan bentuk Istawa'. Jawab Imam Malik:

“Istawa' (bersemayam) itu ma'lum (diketahui maknanya), Bagaimana (kaifiat) tatacara, ciri-ciri dan bentuk majhul (tidak diketahui), mengimaninya wajib, sedangkan bertanya tentangnya (tatacara, ciri-ciri dan bentuk) adalah bid'ah.”

Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah dari segi makna memang dapat kita fahami dan ketahui. Sebagai contoh Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?". [Shaad (38):75]

Al-Yad dalam bahasa Arab maknanya tangan maka kita perlu tetapkan Sifat Tangan kepada Allah sebagaimana maknanya yang hakiki. Namun begitu bagaimana kaifiatnya (tatacara, ciri-ciri dan bentuk) al-Yad kita serahkan kepada Allah S.W.T. dan ianya di luar batasan akal untuk membayangkannya.

Apabila Allah S.W.T berfirman yang Dia memiliki Dua Tangan dalam surah Shaad (38):75, kita beriman kepada firman-Nya. Tentu sekali Sifat itu sesuai dengan kebesaran-Nya, kemuliaan-Nya dan kesempurnaan-Nya dan sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya sebagaimana firman-Nya: Tiada sesuatupun yang seumpama dengan (Zat-Nya, Sifat-Sifat-Nya dan pentadbiran-Nya) dan Dialah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. [al-Syuura (42): 11]

Ayat ini mengandungi penyucian (Tanzih) dan penafian kepada Allah daripada menyerupai makhluk-Nya, baik dalam Zat, Sifat mahupun Perbuatan-Nya. Bahagian awal ayat ini (Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya..) merupakan bantahan terhadap kaum al-Musyabbihah dan al-Mujassimah manakala bahagian akhir ayat (Dan Dia Maha Mendengar dan Melihat) merupakan bantahan kepada kaum al-Mu'athilah (orang yang meniadakan sifat-sifat Allah).

Kaedah Tauhid Asma’ dan Sifat ini sebenarnya merupakan kaedah yang telah disepakati oleh keempat-empat imam mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad tanpa sedikit pun perbezaan di antara mereka. Syaikh al-Islam Ibnu Taymiyyah berkata dalam kitabnya al-Iman:

“Di antara rahmat Allah kepada para hamba-Nya adalah bahawa para imam yang mempunyai lidah kebenaran pada umat, seperti empat imam mazhab dan selain mereka, adalah bahawa mereka mengingkari (menentang) pendapat Ahlul Kalam dari kalangan Jahmiyah tentang al-Qur’an, iman dan Sifat-Sifat Allah.”

Beginilah secara ringkasnya tentang konsep pembahagian tauhid kepada tiga bahagian yang terbukti ianya berlandaskan dalil-dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Adakah wajar jika dikatakan Rasulullah s.a.w., para sahabat baginda serta para salafussoleh menolak konsepAllah itu mencipta segala sesuatu, Allah merupakan satu-satunya tempat kita persembahkan segala ibadah dan Dia memiliki Nama-Nama yang indah dan Sifat-Sifat yang Maha Tinggi lagi Maha Sempurna?

Tentu sekali tidak wajar. Jika konsep ini di tolak kerana Rasulullah dan para salafussoleh tidak pernah membuat pembahagian sedemikian rupa maka sewajarnya konsep sifat dua puluh itu juga perlu di tolak. Sila berikan mana dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang memberi pembahagian seperti fahaman sifat dua puluh ini. Buktikan juga bahawa Rasulullah s.a.w dan para sahabat baginda pernah menerangkan Sifat-Sifat Allah menggunakan metode sifat dua puluh. Jika setiap kaedah yang tidak pernah diamalkan oleh baginda dan para sahabat perlu ditolak maka kita juga perlu menilai semula semua kaedah-kaedah yang telah diguna pakai dalam ilmu Ushul Fiqh, ‘Ulumul Hadith, ‘Ulumul Qur’an dan sebagainya kerana penyusunan kaedah tersebut mahupun istilah-istilah yang diguna pakai juga ada yang tiada pada zaman Rasulullah. Kaedah-kaedah pengajian ini dilakukan oleh para ulamak untuk memudah pemahaman umat Islam terhadap ilmu-ilmu agama dan menyusunkannya agar ia lebih sistematik. Apa yang penting sebenarnya konsep dalam sesuatu kaedah itu perlu didokongi oleh dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana difahami dan diamalkan oleh generasi salafussoleh.

Pembahagian tauhid kepada tiga ini juga sama sekali tidak menyamai konsep triniti dalam agama Kristian.

Tuduhan ini berkemungkinan dilontarkan oleh golongan yang sebenarnya jahil tentang fahaman triniti tersebut ataupun ia sengaja dilakukan dengan niat jahat. Jika pembahagian tauhid kepada tiga dikatakan bersamaan dengan fahaman Tuhan itu satu tetapi dimanifestasikan kepada tiga personaliti, adakah pembahagian Sifat-Sifat Allah kepada dua puluh boleh dikatakan berfahaman Tuhan itu satu tetapi dimanifestasikan kepada dua puluh personaliti?

Sungguh ini merupakan satu pendustaan yang amat jelek.Sekiranya anda telah mendengar atau terbaca kata-kata dusta tentang pembahagian tauhid kepada tiga bahagian ini maka berkata sebagaimana yang telah diajar oleh Allah S.W.T. :

“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah patut bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar." [al-Nuur (24) : 16]

Thursday, December 24, 2009

Bahaya Bida'ah walaupun bukan hukum

Anggapan baik terhadap bid’ah berarti menganggap Islam seolah-olah belum sempurna

Syari’at islam telah sempurna, sehingga tidak memerlukan tambahan ataupun pengurangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah ku ridhoi islam sebagai agamamu.”( Qs. Al-Maidah: 3) Dan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam tidaklah wafat kecuali telah menjelaskan seluruh perkara dunia dan agama yang dibutuhkan. Jika demuikian, maka maksud perkataan atau perbuatan bid’ah dari pelakunya adalah bahwa agama ini seakan-akan belum sempurna, sehingga perlu untuk dilengkapi, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala belum terdapat di dalamnya.

Ibnu Majisyun berkata : “Aku mendengar Imam malik berkata: “Barang siapa yang membuat bid’ah dalam islam dan melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka Sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad rtelah berkhianat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman Dalam Al-qur’an , “pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamu.” Maka apa yang pada hari itu tidak termasuk sebagai agama maka pada hari inipun bukan termasuk Agama.”( Asy-syatibi dalam Al-I’tisam).

Amalan bid’ah tertolak (tidak di terima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala )

Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam urusan agama kami ini sesuatu yang tidak ada didalamnya, maka ia tertolak.” (Bukhari Muslim)

Sebagaimana maklum bahwa syarat di terimanya amalan adalah:ikhlas dan sesuai dengan sunnah.

Ikhlas semata-mata karena mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala di akhirat, bukan pujian atau balasan makhluk ataupun ucapan terima kasih yang ini adalah merupakan kandungan syahadat La ilaaha illallah. Sesuai dengan sunnah yaitu sesuai dengan perintah dan tuntunan Rasullullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam, bukan berdasarkan hawa nafsu dan bid’ah yang diada-adakan, yang hal ini merupakan kandungan syahadat Muhammad Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Dengan demikian amalan bid’ah itu kehilangan syarat kedua, dari dua syarat di terimanya amal.

Bid’ah…mengikuti hawa nafsu

Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah: “para pelaku bid’ah adalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan syubhat. Mereka mengikuti hawa nafsunya dalam sesuatu yang di sukai dan di benci, mereka menetapkan hukum dengan prasangka dan syubhat. Mereka mengikuti prasangka dan apa yang di inginkan nafsunya, padahal telah datang petunjuk dari Tuhan Subhanahu wa Ta’alamereka. Jika seseorang menggunakan hawa nafsunya dalam masalah agama maka sungguh dia adalah orang yang difirmankan AllahSubhanahu wa Ta’ala : “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah. “(Al-Qashash:50)

Bid’ah lebih di cintai oleh iblis dari pada perbuatan maksiat

Imam At-Tsauri rahimahullah berkata: “Bid’ah lebih di cintai oleh iblis dari pada perbuatan maksiat, orang terkadang bertaubat dari maksiat tetapi seseorang sulit bertaubat dari perbuatan bid’ahnya. Maksud perkataan Imam Ats-Tsauri rahimahullah itu di jelaskan oleh Ibnu Thaimiyah sebagai berikut: (makna perkataan mereka para imam islam, seperti Sufyan Ats-Tsauri dan lainnya) bahwa , amalan buruknya (yaitu bid’ah tersebut pent.) telah di hias-hiasi oleh syaitan sehinggga ia melihatnya sebagai suatu kebaikan, karena permulaan taubat adalah mengetahui perbuatannya itu buruk, sehingga ia bertaubat darinya, atau bahwa ia telah meninggalkan suatu kebaikan yang di perintahkan secara wajib atau tidak wajib, sehingga dia bertaubat dan mengerjakannya. Maka selama dia melihat perbuatannya suatu kebaikan, padahal sebenarnya adalah suatu keburukan, niscaya dia tidak akan bertaubat (Majmu’ fatawa X/9)

Bid’ah melenyapkan Sunnah

Seperti apa yang di katakan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu wa Anhu: ” Tidaklah datang suatu tahun pada Manusia melainkan mereka membuat bid’ah dan mematikan sunnah, hingga bentuk-bentuk bid’ah menjadi hidup dan sunnah menjadi mati.”

Hasan bin ‘Athiyyah : “Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah dalam agama mereka melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut dari mereka sunnah yang sepadan dengan nya, kemudian tidak akan mengembalikan kepada mereka sampai hari kiamat.” betapa indahnya yang dikatakan oleh sahabat agung Ibnu mas’ud Radhiallahu wa Anhu: “Hendaklah kamu menghindari apa yang baru di buat Manusia dari bentuk-bentuk bid’ah. Sebab agama tidak akan hilang dari hati seketika. Tetapi syaithan membuat bid’ah baru untuknya, hingga iman keluar dari hati, dan hampir-hampir Manusia meninggalkan apa yang telah di tetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka berupa shalat, puasa, halal dan haram, sementara mereka masih berbicara tentang Tuhan Yang Mahamulia. Maka siapa yang mendapatkan masa itu hendaknya dia lari. “Ia di tanya, “Wahai Abu Abdurrahman , kemana larinya ? “ia menjawab. “Tidak kemana-mana. Lari dengan hati dan agamanya. Janganlah duduk besama-sama dengan ahli bid’ah.(Al-Hajjah I/312 oleh Al-Ashbahani)

Bid’ah termasuk sikap ghuluw (melampaui batas syari’at)

Imam Al-Bukhari berkata dalam kitab shahihnya, Kitab Al-I’tisham bil kitab wa sunnah: “Bab: Apa yang dilarang tentang berlebih-lebihan, perselisihan di dalam ilmu, ghuluw di dalam agama dan bid’ah-bid’ah, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : ” Wahai Ahli kitab janganlah kamu melampauibatas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakanterhadaap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’:171)

Bid’ah menyebabkan perpecahan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “dan bahwa (yang kami peritahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.”(Al-An’am 153)

Imam Asy-Syathibi berkata: “sirhathal mustaqim (jalan yang lurus) adalah jalan Allah yang dia serukan, yaitu As-Sunnah. Sedangkan As-Subul (jalan-jalan lain) adalah jalan-jalan orang-orang yang berselisih. Yang menyimpang dari jalan yang lurus. Mereka adalah para ahli bid’ah”(Al-I’tisham I/76 tahqiq Syaikh Salim Al-Hilali)

DR. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan menyatakan: “Dan sesunggunya melakukan/membuat bid’ah di dalam agama akan menambah perpecahan di kalangan ummat karena hal itu merupakan dasar yang menyelisihi agama, yang kita di larang mengkutinya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.”(Al-An’am 153) (Al-Madkhal lid dirasalah Al-‘aqidah ‘ala Madzhab Ahli Sunnah Waljama’ah)

BAHAYA BID’AH BAGI PELAKUNYA

Amalan-amalannya tidak di terima

terdapat beberapa nash yang menyatakan bahwa ibadah ahli bid’ah tidak di terima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diantarannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orangyang paling merugi perbuatannya. “yaitu orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(Al-kahfi:103-104).

Imam Ibnu Katsir berkata: ” Karena Sesungguhnya ayat ini adalah makiyah (turun sebelum peristiwa hijrah dari makkah ke madinah) , sebelum berbicara terhadap orang-orang yahudi dan nashara, dan sebelum adanya al-hawarij (kaum pertama pembuat bid’ah) sama sekali. Sesungguhnya ayat ini umum meliputi setiap orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan jalan yang tidak di ridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala , dia menyangka bahwa dia telah berbuat benar didalam ibadah tersebut padahal dia telah berbuat salah dan amalannya tertolak.” (Tafsir Al-Qur’annil Azhim)

Pelaku bid’ah semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala

Diriwayatkan dari Al-hasan bahwa dia berkata : “shahibu (pelaku) bid’ah, tidaklah dia menambah kesungguhan, puasa, dan shalat, kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan dari Ayyub As-Sikhtiyani, dia berkata: “tidaklah pelaku bid’ah menambah kesungguhan kecuali dia semakin jauh dari AllahSubhanahu wa Ta’ala .” Pernyatan tersebut diisyaratkan kebenarannya oleh sabda Rasulullah rtentang khawarij: “satu kaum akan keluar di dalam ummat ini yang kamu meremehkan shalat kamu di bandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana melesatnya anak panah dari sasarannya.”(HR. Bukhari)

Asy-Syatibi berkata: “pertama beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pent.) menjelaskan tentang kesungguhan mereka, kemudian beliau menjelaskan tentang jaunya mereka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .(Al-I’tisham I/156)

Menangguh dosa bid’ah dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.

Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk , maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”(HR. Muslim)

Sedangkan bid’ah merupakan kesesatan sebagaimana yang telah di katakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Inginkah ahli bid’ah menanggung seluruh dosa orang-orang yang mengiutinya sampai hari kiamat?! Tidakkah hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam ini menghentikan mereka!?.

Pelaku bid’ah memposisikan dirinya pada kedudukan menyerupai pembuat syari’at

Hal ini karena pembuat syari’at (Allah Subhanahu wa Ta’ala ) telah membuat peraturan-peraturan kemudian mewajibkan makhluk untuk melaksanakannya, sehingga dia sendirian dalam hal ini. Dialah yang membuat keptutusan tentang apa yang di perselisihkan oleh makhluk. Karena jika pembuatan peraturan-peraturan itu mampu di lakukan oleh Manusia, niscaya agama yang berisi peraturan-peraturan itu tidak di turunkan oleh Allah, para Rasul tidak perlu di utus, dan tidak ada lagi perselisihan di kalangan Manusia. maka orang-orang yang mengadakan perkara-perkara baru di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala itu berarti dia telah menempatkan dirinya sebanding dengan pembuat syari’at. Yaitu dia membuat peraturan bersamaan dengan pembuat syari’at dan telah membuka pintu perselisihan, serta menolak maksud atau tujuan pembuat syari’at di dalam kesendiriannya dalam membuat syari’at (peraturan).(Al-I’tisham I/66)

Pelaku bid’ah akan di usir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pada hari kiamat

Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Sesung-guhnya aku mandahului dan menanti kamu di telaga. Barang siapa yang melewatiku niscaya dia minum, dan barang siapa yang minum niscaya dia tidak akan haus selama-lamanya. Sesungguhnya sekelompok orang akan mendatangiku, aku mengenal mereka, dan mereka mengenalku, kemudian dihalangi antara aku dengan mereka, maka aku berkata: “Sesungguhnya mereka dari pengikutku” tetapi di jawab “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan secara baru setelahmu.” Maka aku (Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam) berkata: “jauh ! jauh!! Bagi orang-orang yang merubah agama setelahku.” (HR. Bukhari -Muslim)

Pelaku bid’ah diancam dengan laknat Allah

Dari Ibrhahim At-taimi dia berkata: “Bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata: Ali Radhiallahu wa Anhu berkhutbah kepada kami di atas mimbar dari batu bata dan beliau membawa sebuah pedang, yang pada pedang tersebut terdapat sebuah lembaran yan tergantung, kemudian Ali berkata: “Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala kami tidak mempunyai kitab yang di baca kecuali kitab Allah Subhanahu wa Ta’aladan apa yang ada di lembaran ini.” Kemudian Ali membukanya, maka didalam lembaran itu tertulis:…maka barang siapa yan membuat perkara-perkara baru (bid’ah) di madinah niscaya dia mendapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-malaikatnya dan seluruh Manusia.”(Bukhari no. 7300 dan Muslim no. 1730).

Pintu taubat hampir-hampir terkunci bagi shahibu (ahli) bid’ah

Hal ini disebutkan dalam beberapa hadist antara lain: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalangi taubat dari setiap shahibu bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya (Shahih At-Tarhib I/97 dan Zhilalul Jannah : 21 oleh Imam Al-Albani). Sesungguhnya ahli bid’ah tidak mendapakan taufik (bimbingan) untuk bertaubat. Sehingga taubat itu sama sekali tidak terjadi pada mereka kecuali jika dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah makna yang benar, dan tidak ada keraguan padanya.Karena telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan perkataan para salaf ini serta kenyataan para Ahli bid’ah itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Hasan Al-Basri : “Allah Subhanahu wa Ta’ala enggan mengizinkan taubat bagi Ahli bid’ah” (HR. Al-Lalikai).

Risalah Al-Hujjah No: 41 / Thn IV / Dzulhijjah / 1422H

Tuesday, December 22, 2009

Keterbukaan Minda

Assala moalaikum,ustaz cahaya..saya pelik la..mana buktinya mengatakan manhaj salafussoleh ini memecahkan ummah?Malah ramai pembaca dan penuntut ilmu agama yang dapat menerima dengan keterbukaan..mana sikap keterbukaan saudara?Sedangkan semua hujah-hujah diterangkan dengan dalil-dalil yang sahih..

Kebenaran itu di hati,fatwa hati...apabila saya belajar subjek Ushul Fiqh..topik yang pertama yang perlu saya belajar adalah sumber-sumber Islam.Iaitu al-Quran dan as-Sunnah.Hadith pula terdapat banyak kedudukannya,samada sahih,hassan,dhaif dan maudhuk.Dan untuk berhujah dalam beragama hadith sahih sahaja yang dipakai..untuk beramal juga sama,beramal dengan sunnah yang sahih bukan yang maudhuk(palsu).

Maka,terdetik di hati,ketaqwaan(ketakutan) untuk beramal dan berhujah dengan hadith yang maudhuk(palsu) juga dhaif.Takut kita ini mendustai kata-kata Rasulullah saw.

Dakwah salafi ini dapat diterima oleh masyarakat,golongan ilmuwan,pemimpin-pemimpin tanpa pemecahan ummah malah dengan keterbukaan.Kita ada akal untuk berfikir dan memilih samada ingin melakukan bida'ah atau melakukan sunnah yang ada dalil yang sahih.Itu pilihan masing-masing,tidak pernah dakwah salafi ini mebida'ahkan orang,ini bukan satu paksaan.

Yang saya pelik,Yusuf al-Qordhowi(ketua ulamak sedunia) dalam bidang fiqh dapat diterima dengan baik dalam masyarakat Malaysia,sedangkan Yusuf al-Qordhowi menentang bida'ah.Pernah tanya Yusuf al-Qordhowi itu ikut mazhab ape?Dia solat subuh dengan qunut ke?Saya yakin,tiada siapa yang endahkannya..tetapi apabila Dr Asri..ish Dr Asri ni tak ikut mazhab Syafie,solat subuh tak ada qunut..

Kenapa?sebab Dr Asri itu bangsa Melayu dan duduk di Malaysia jadi perlu ikut hanya mazhab Syafie?kena berqunut ketika solat subuh?Bagaimana sempitnya pemikiran masyarakat islam kini..apabila kebenaran dijelaskan dengan penuh ilmiah dengan hujah-hujah beserta dalil-dalil..dikatakan pemecahan ummah?

Ustaz cahaya,sebenarnya,ustaz sahaja yang berfikiran tidak terbuka dengan mengatakan dakwah salafi ini yang menerangkan bida'ah ini memecahkan ummah,sedangkan mahasiswa mahasiswi,masyarakat malah Cancellor USM,Prof Dzulkifli juga dapat menerima penjelasan tentang soal bida'ah.

Pada pendapat saya banyak pendapat-pendapat imam Hambali itu tepat dan baik,jadi saya ambil..apa salah?Yusuf al-Qordhowi juga tidak ikut mazhab syafie seratus-peratus...

Masyarakat Islam mendahagakan ilmu-ilmu agama yang sahih,mereka mendahagakan kebenarn,mereka ingin tahu..jadi mengapa kita menyekat penyebaran ilmu?Sila tampilkan sikap keterbukaan dalam penerimaan ilmu...Saya tidak menyekat penyebaran ilmu yang ustaz cahaya tampilkan di blog ustaz..masing-masing ada akal untuk fikir dan buat pilihan..

Istighfar dengan segala tuduhan dengan mengatakan Manhaj salafi menghina ulamak..dalam kitab-kitab islam tiada penghinaan..kecuali menyatakan hujah siapa yang lebih tepat,dalil mana yang sahih dan tidak.

Kepada Mahasiswa dan Mahasiswi,Dr Maza(Dr Asri) akan mengadakan perjumpaan bersama Mahasiswa di Institusi al-Qoyyim pada 25 Disember 2009(4pm hingga 11pm)Pengangkutan,makanan,penginapan disediakan.Pada 26 dan 27 Disember ada Konvensyen Sunnah di tempat yang sama.
Pendaftaran=

Muslimin=Kamal(0135014280)
Muslimat=Azizah(0196289873)

Monday, December 21, 2009

Penjelasan Kebida'ahan doa Awal Dan Akhir tahun pada 1 Muharram

Dipetik daripada blog,
http://lobaitampin.blogspot.com,
Menjelaskan mengapa doa Awal dan Akhir tahun pada 1 Muharram itu satu bentuk tambahan dalm syariat Islam.

Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Doa awal dan akhir tahun timbul lagi. Ya setiap tahun ia muncul. Bid'ahkah ia?

Sahabat-sahabat sekalian, sudah banyak tulisan berkaitan hal ini. Sudah jelas dan terang.

Kenapa ia dikatakan bid'ah? Kerana manusia mencipta satu masa yang khusus untuk doa-doa tertentu.

Doa boleh dilakukan pada setiap masa. Dan ada waktu yang mana doa sangat diberatkan dan dinyatakan sebagai waktu doa mustajab. Antaranya ialah doa ketika sujud, doa ketika sepertiga malam, doa ketika hujan turun, doa ketika musafir dan lain-lain. Kenapa kita menyatakan dan menyebarkan kepada masyarakat bahawa pada saat-saat itu sunnah berdoa, doa mustajab? Kerana ada dalilnya. ada petunjuk wahyu menyatakan sedemikian.

Lalu di mana dalilnya doa akhir dan awal tahun sebagaimana adanya dalil tentang doa ketika sujud? Di mana dalilnya doa akhir dan awal tahun sebagaimana wujudnya dalil tentang doa selepas wudhu'?

Doa itu sunnah, umum pada setiap waktu, tetapi apabila kita meletakkan satu spesifik waktu dengan kata-kata "sunat berdoa awal dan akhir tahun" itu adalah satu bentuk pengkhususan, spesifik waktu yang mana hanya pembuat Syariat iaitu Allah SWT sahaja yang berhak menspesifikkan sesuatu ibadah.

Masyarakat umumnya memang tahu doa itu sunnah, tetapi masalah sekarang masyarakat juga dihebahkan dengan 'sunnah spesifik' doa awal dan akhir tahun.

Menyatakan bahawa doa awal dan akhir tahun sebagai bid'ah bukanlah bermaksud kita membenci doa. Kita membenci bid'ah. Kita menyuruh manusia berdoa setiap masa, apatah lagi pada waktu-waktu yang dijelaskan secara spesifik kelebihannya, akan tetapi untuk menyatakan ada nya doa yang khusus buat waktu tertentu, kelebihan untuk doa pada waktu tertentu, ia memerlukan dalil. Kita bukanlah Tuhan si pembuat syariat. Kita adalah makhluk kepada al-Kholiq.

Kenapakah kita cuba mengambil tugas Allah al-Kholiq? Apakah kita cuba menempatkan diri kita di posisi Allah SWT. Doa adalah satu bentuk perhambaan kita kepada Allah, perhambaan apakah ini apabila ia dilakukan dengan cara yang cuba meletakkan kita di tempat al-Kholiq, sedangkan ia sesuatu yang mustahil.

Kita sebagai makhluk menghambakan diri kita kepada Al-Kholiq dengan cara yang dikehendaki Maha Pencipta, bukan dengan cara yang kita reka-reka mengikut kepala akal dan nafsu.

Jangan nanti muncul lagi si pembuat syariat yang menyatakan ada doa khusus ketika 'on' dan 'off' laptop, bahkan dengan fadhilat-fadhilat tertentu.

Berhati-hatilah kita supaya tidak mengkhianati Rasulullah SAW yang telah menjadi Rasul terakhir. Apakah kita cuba menjadi Rasul selepas kewafatan baginda SAW?

Di sini ada satu tulisan menarik berkaitan doa awal dan akhir tahun:


Awal Muharram dan Doa awal dan akhir tahun
Filed under: Hadith Nabawi, Pendapat — aburuqayya @ 6:44 pm

Awal Muharram merupakan merupakan bermulanya tahun baru di dalam kalender Islam. Masyarakat kita telah didedahkan semenjak zaman berzaman lagi upacara membaca doa awal tahun dan akhir tahun. Yang agak sedihnya adalah terdapatnya semacam janji syaitan kepada si pengamal doa ini bahawa : “Kesusahan bagiku dan sia-sialah pekerjaanku menggoda anak Adam pada tahun ini dan Allah akan membinasakan aku pada saat itu juga. Dengan membaca doa ini Allah akan mengampunkan dosanya setahun.” dan juga “Telah amanlah anak Adam daripada godaanku pada tahun ini kerana Allah telah mewakilkan dua malaikat untuk memeliharanya dari fitnah syaitan”.

Kata-kata siapakah ini? Apakah kata-kata dari manusia biasa boleh dijadikan sebagai hujah fadilat sesuatu amalan lebih-lebih lagi perkara yang berkaitan dengan aqidah? Sudah tentu sekali tidak boleh sama sekali. Perkara yang berkaitan dengan fadilat amal, dosa, pahala dan semua perkara yang berkaitan dengan akidah tidak boleh berhujah atau diambil dari kata-kata manusia biasa yang tidak maksum, meskipun ia merupakan seseorang yang begitu alim dan warak di dalam selok belok agama. Hanya Allah dan Rasulnya sahaja yang berhak.

Yang paling menyedihkan sekali, kata-kata yang terkandung di dalamnya janji-janji syaitan itu disandarkan kepada Rasulullah s.a.w. Tetapi sayangnya ujaran kata-kata di atas tidak terdapat di dalam kitab-kitab yang menghimpun hadith-hadith baginda s.a.w seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan al-Tirmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’ie, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, Sahih Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Khuzaimah dan lain-lain lagi.

Maka jelaslah bahawa fadilat doa awal dan akhir tahun adalah palsu dan batil serta tidak boleh sama sekali disandarkan kepada Nabi s.a.w. Ketahuilah bahawa di situ terdapat amaran keras daripada Rasulullah s.a.w bagi sesiapa yang menyandarkan sesuatu perkara yang bukan dari baginda, Sabdanya: “Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka” Hadith riwayat Bukhari dan Muslim.

Beramal dengan riwayat palsu?


Berdasarkan hadith di atas, para ulama hadith menekankan bahawa haram beramal dan menyebarkan hadith-hadith palsu apatah lagi disandarkan kepada baginda s.a.w bagi sesiapa yang mengetahui status kepalsuannya, seperti yang dinyatakan oleh al-Imam Ibnu al-Solah di dalam karangannya ”Ulum al-Hadith‘ m.s 98: “Tidak halal kepada sesiapa yang mengetahui ianya hadith palsu meriwayatkannya dalam apa bentuk sekalipun, melainkan disertai dengan menerangkan kepalsuannya“.

Al-Imam an-Nawawi juga menjelaskan hukum berkenaan dengan hadith palsu di dalam muqaddimah (pendahuluan sesuatu kitab) karangannya iaitu ‘Syarh Sahih Muslim‘: “Haram meriwayatkan sesuatu hadith palsu bagi orang yang mengetahui bahawa hadith itu maudhu’ atau dia hanya menyangka hadith ini palsu. Siapa yang menceritakan hadith yang dia tahu atau dia sangka bahawa ianya palsu serta dia tidak menerangkan keadaannya maka dia termasuk dalam ancaman ini. Tidak ada perbezaan dalam pengharaman pendustaan atas Nabi Muhammad SAW di antara hadith tentang hukum-hukum dan hadith yang bukan berkenaan dengan hukum seperti hadith yang mengandungi dorongan serta galakan beramal ibadat, hadith-hadith nasihat dan lain lain. Semuanya haram termasuk dalam sebesar-besar dosa dan sejelek-jelek perkara dengan ijmak ulamak Islam.“

Seterusnya an-Nawawi berkata lagi: ” Ulama-ulama telah pun sepakat tentang haram berdusta atas nama orang-orang biasa. Bagaimana pula dengan orang yang kata-katanya adalah syariat, kalamnya adalah wahyu dan berdusta atasnya adalah pendustaan atas Allah juga.”.


Selain itu, kebatilan riwayat doa tersebut dan fadilatnya dikuatkan dengan tiada riwayat yang menyatakan amalan ini diamalkan oleh golongan salafussoleh yang terdiri dari golongan sahabat dan tabi’ien. Jika benar amalan ini dari Rasul dan digalakkan di dalam Islam, nescaya para sahabat dan tabi’ien berlumba-lumba untuk melakukannya demi mengarap kebaikan disebalik amalan tersebut yang kononnya hebat fadilatnya. Begitu juga tiada riwayat yang menceritakan bahawa Nabi s.a.w dan para sahabat r.a membaca doa tersebut secara berjemaah dan beramai-ramai. Apa yang thabit dari baginda s.a.w dan para sahabat r.a adalah membaca semua jenis doa secara bersendirian.

Bolehkah beramal dengan doa ini?

Berasaskan minda yang terbuka, tidak ada salahnya membaca doa ini selagimana tidak terlintas di hati pembacanya bahawa ia disyarakkan atau diperintah oleh agama kita. Begitu juga kerana maknanya pun tidak menyalahi syarak. Kita tidak perlu terhad kepada kaifiat yang didatangkan bersama-sama doa ini, seperti kaifiat doa awal tahun hendaklah di baca selepas Magrhrib 1 Muharram. Disebabkan maknanya baik, tidak kiralah waktu dan hari apapun, baca sahajalah doa ini dengan mengharapkan Allah mengkabulkan doa tersebut.

Pada pendapat penulis, doa ini adalah lebih baik tidak diamalkan samaada individu ada secara berjemaah. Kerana terbukti bahawa ia datang dari riwayat yang palsu dan batil. Kerana ia juga dikuatiri bahawa masyarakat akan menganggap bahawa amalan ini adalah sunnah yang datang dari baginda s.a.w atau dari sahabat nabi r.a. Lihat sahaja bilangan bacaan yang digalakkan untuk membacanya(sebanyak tiga kali), siapakah yang mengesyorkannya begitu? sudah tentu bukan sama sekali dari Allah s.w.t dan RasulNya.

Lihat realiti semasa, betapa ramainya individu muslim menganggap bahawa doa awal dan akhir tahun disyarakkan oleh agama sedangkan ia tidak termaktub sama sekali di dalam al-Quran dan Sunnah mahupun amalan salafussoleh. Jika anggapan seperti ini terus diyakini setelah mengetahui kebatilan riwayat, sanad dan matannya, maka secara jelasnya ini adalah Bid’ah di dalam agama dan perkara yang diketogarikan sesat dan ditolak oleh Islam.

Semua orang maklum bahawa doa tidak perlu terhad kepada apa yang terdapat dari al-Quran dan hadith-hadith Nabi saw sahaja tetapi ia adalah yang terbaik. Ia merupakan manifestasi keikhlasan dan kesungguhan si pemintanya yang dilahirkan dari suara hati dan bait-bait perkataan. Asalkan ia tidak menyalahi syarak dan keterlaluan, maka bacalah apa sahaja doa yang kita hajati.

Artikel Ustaz Abu Umair
Menjadi kelaziman sebahagian orang Islam, apabila berakhir bulan Zulhijjah yang memberi erti bermulanya tahun baru Hijrah, mereka melakukan satu upacara doa yang dikenali dengan ‘Doa Awal dan Akhir Tahun’. Ia dibaca selepas waktu Asar, atau sebelum Maghrib pada hari terakhir bulan Zulhijjah. Lafaz doanya ‘disunatkan’ dibaca sebanyak tiga kali. Dan dikatakan fadilat doa ini ialah apabila dibaca, maka syaitan akan berkata, “Kesusahan bagiku, dan sia-sialah pekerjaanku menggoda anak Adam pada setahun ini dan Allah binasakan aku satu saat jua”. Disebut juga, dengan membaca doa ini Allah akan mengampunkan dosanya setahun.

Begitulah besarnya kelebihan yang disebut-sebut tentang doa awal dan akhir tahun ini. Tidak hairan, ramai yang mempercayainya dengan harapan memperoleh kelebihan itu. Sehingga di sesetengah sekolah, asrama, atau pejabat-pejabat, ia dibaca secara berkumpulan, dengan dipimpin oleh seorang ustaz selaku tekong dalam upacara doa tersebut dan di’amin’kan oleh jemaah.

Jika diteliti doa awal dan akhir tahun tersebut, diakui bahawa lafaz Arabnya sangat elok, susunan kata-katanya menarik, dan maksud kandungan doa juga tidak bersalahan dengan mana-mana prinsip syarak.

Tetapi, oleh kerana doa ini ditetapkan lafaz bacaannya, bilakah waktu dibaca, berapa kali bacaannya diulangi, dan apakah fadilatnya, maka upacara membaca doa ini adalah termasuk dalam bidaah. Kerana bacaan doa ini tidak pernah direkodkan dalam mana-mana kitab hadis muktabar, tidak pernah dinukilkan amalannya di kalangan para sahabat, tabien dan para salaf, dan tidak disebut pun oleh imam-imam yang masyhur.

Sedangkan kita tahu doa adalah ibadah. Dan dimaklumi bahawa ibadah bersifat tauqifiyyah iaitu mesti diambil asal dan kaifiatnya daripada syarak. Tetapi, dalam persoalan doa awal dan akhir tahun ini, tidak didapati sebarang asas pun daripada nas-nas syarak.

Syeikh Bakr Abu Zaid -rahimahullah- menyebut satu kaedah dalam amalan doa, iaitu: Setiap orang yang mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan ibadah seperti doa dan zikir dalam bentuk yang ditetapkan dengan menganggap ia adalah satu sunnah, sedangkan ia bukan daripadanya, maka dia dihukum berdosa.

Alasannya perbuatan ini adalah satu bentuk meninggalkan perkara yang disyariatkan, satu penambahan terhadap syarak, satu galakan terhadap amalan yang bukan daripada syarak, dan menyebabkan orang awam menyangka bahawa ia suatu yang masyruk. (Tashih Ad-Dua: 44)

Apabila dikatakan bahawa ia bidaah, pasti ada suara membantah, “Sikit-sikit bidaah, apa salahnya berdoa?”. Ya, berdoa tidak salah. Ibadah doa boleh dilakukan pada bila-bila masa yang sesuai. Termasuklah berdoa pada tarikh 29 Zulhijjah. Yang salahnya ialah menetapkan bentuknya seolah-olah ia daripada syarak. Ditambah pula dengan fadilat palsu tentang kata-kata syaitan begitu dan begini, dan jaminan pengampunan dosa selama setahun. Ini semua perkara ghaib yang mesti diambil daripada nas-nas sahih.

Ada juga mengatakan, “Perkara kecil seperti ini pun hendak diperbesar-besarkan?”. Jawapan kepada persoalan ini ialah kata-kata Imam al-Barbahari, “Dan awaslah kamu daripada perkara-perkara kecil yang diada-adakan, kerana bidaah-bidaah kecil akan berulang hingga ia menjadi besar”.

Ibn Taimiyyah pula mengatakan, “Bidaah-bidaah pada permulaannya hanya sejengkal. Kemudian ia bercambah di kalangan pengikut-pengikut, hingga menjadi beberapa hasta, beberapa batu dan beberapa farsakh“. (Satu farsakh bersamaan 3 batu).

Oleh itu, janganlah dipandang mudah terhadap perkara-perkara kecil yang menyalahi syariat, apatah lagi termasuk dalam bidaah. Dan yakinilah bahawa setiap amalan ibadah yang dilakukan, sedangkan ia bukan daripada agama, maka amalan itu ditolak oleh syarak. Wallahu A’lam.

Abu Umair,

28 Zulhijjah 1429

Tidak menzalimi Saudara Islam.

Rasulullah saw mendoakn org2 yng mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah.Beliau saw bersabda,

Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang mendengarkan sebuah hadiths dari kami,lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain.Banyak orang yang membawa fiqih(hadith) namun dia tidak memahami.Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya.Ada tiga hal yang dengannya hati seorang akan bersih(dar khianat,dengki dan keburukan),yaitu melakukan sesuatu dengan ikhlas kerana Allah,menasihati ulil amri(penguasa) dan perpegang teguh pada jama'ah kaum muslimin,kerana doa mereka meliputi orang-orang yang berada di belakang mereka.

Beliau bersabda,Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat,Allah akan mengumpulkan kekuatannya,menjadikan kekayaan hatinya,dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia,Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya,menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya,dan dia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.

Hadith Shahih,diriwayatkan oleh Ahmad,ad-Darimi,Ibnu Hibban.

Menjaga ukhuwah dengan saling menjaga harta, nyawa dan kehormatan

Sebagian kaum muslimin bertanya:
"Mengapa kita harus saling menyalahkan satu sama yang lainnya, bukankah kita masih sama-sama kaum muslimin yang bersaudara dan kita berkewajiban mempererat ukhuwah Islamiyah?"
Benar, kita adalah kaum muslimin yang memiliki ikatan ukhuwah. Untuk itu, maka kita tidak boleh saling mendhalimi antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendhaliminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya! Takwa ada di sini -beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)

Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya. Jangan mendhaliminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat. (HR. Bukhari Muslim)

Allah سبحانه وتعالى juga berfirman:

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (al-Hujuraat: 10)


Oleh karena itu, untuk mempererat ukhuwah kita harus saling menjaga da-rah seorang muslim, harta dan kehormatan mereka.Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan 3 sebab, yaitu: murtad, orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah dan qishash (pembunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja harus dibunuh).


Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada illah yang patut diibadahi kecuali Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kecuali dengan tiga perkara: jiwa dengan jiwa, pezina yang sudah pernah menikah dan orang yang memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jama'ah (kaum muslimin).

Dengan demikian, darah seorang muslim tidak halal kecuali dengan 3 hal di atas, itupun yang berhak mengeksusinya adalah para penguasa, bukan oleh sembarang orang. Maka kami mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk meninggalkan budaya preman dalam menyelesaikan suatu perselisihan.

Mempererat ukhuwah dengan nasehat
Menjaga ukhuwah islamiyah adalah dengan menjaga hal-hal tersebut di atas: saling menjaga harta, darah dan kehormatan mereka. Bukan dengan membuang perintah Allah untuk saling nasehat-nasehati. Tidak seperti yang mereka katakan tadi: "Jangan saling salah-menyalahkan, bukankah kita bersaudara".

Kita katakan: justru karena kita bersaudara, kita harus saling mengingatkan mana yang benar dan mana yang salah. Karena seluruh kaum muslimin berharap jelasnya kebenaran dan kebatilan, sebagaimana dalam doa mereka di masjid-masjid:

Ya Allah perlihatkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami yang batil adalah batil dan bantulah kami untuk menjauhinya.
Maka tujuan dakwah ini adalah menjelaskan yang haq adalah hak dan yang batil adalah batil. Sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman:


Agar Allah menetapkan yang hak adalah haq dan membatalkan yang batil walaupun orang-orang yang berdosa itu tidak menyukainya. (al-Anfaal: 8)

Oleh karena itu, mengingatkan yang lupa dan memperbaiki yang salah jika diiringi dengan bukti-bukti dan dalil-dalil secara ilmiyah, justru akan mempererat ukhuwah islamiyah. Karena sudah merupakan kodrat manusia untuk berbuat salah dan lupa. Untuk itu harus ada di tengah mereka saling nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (al-'Ashr: 1-3)

Nasehat-menasehati tersebut harus dilatarbelakangi oleh rasa kasih sayang dan ukhuwah islamiyah. Kita tidak ingin melihat saudara kita terjatuh ke dalam kesalahan dan penyimpangan (kebid'ahan) yang pelakunya terancam dengan neraka. Maka -dalam rangka ukhuwah islamiyah- kita wajib mengingatkan kesalahan mereka dan menjelaskan penyimpangan dan kebid'ahan-kebid'ahan mereka dengan berharap semoga Allah menyelamatkan seluruh kaum muslimin dari kesesatan dan penyimpangan.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:

Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (al-Balad: 17)

Dalam rangka kasih sayang itulah, diperintahkannya amar ma'ruf nahi mungkar dalam banyak ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran: 104)

Betapa banyaknya ayat Allah dalam al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih memerintahkan kita untuk menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, karena tidak ada seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan (ma'shum) kecuali Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dan tidak ada satu kelompok pun yang selamat dari ancaman api neraka, kecuali "al-jama'ah" yakni Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para shaha
batnya رضي الله عنهم (salafus shalih).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin 'Amr رضي الله عنهما, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

Sungguh akan datang pada umatku apa yang pernah terjadi pada Bani Israil seperti sandal dengan sandal, hingga kalau pun di kalangan mereka terjadi orang yang menzinai ibunya sendiri, maka di kalangan umat ini pun akan terjadi. Dan sesungguhnya bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya dalam neraka kecuai satu golongan. Para shahabat bertanya: "Siapakah golongan tersebut ya Rasulullah?" beliau menjawab: "Apa yang aku dan para shahabatku telah jalani". (HR. Tirmidzi; Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Jami' Tirmidzi, hadits no. 2641)

Dengan demikian, maka tegur-menegur, nasehat-menasehati atau bahkan bantah-membantah antara satu kelompok dengan kelompok lainnya adalah wajar sebagai upaya menelusuri jalan kelompok yang selamat tersebut.

Kalau merasa apa yang dilakukannya adalah benar, sedangkan yang membantah itulah yang salah, maka bantahlah secara ilmiah pula dengan dalil-dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah dengan contoh-

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(an-Nahl: 125)

Dengan budaya bantah-membantah secara ilmiah, masyarakat muslimin akan terbimbing dengan ilmu sehingga standard keilmuan mereka semakin tinggi. Sebaliknya jika kaum muslimin diajak oleh para tokohnya dan diprovokasi untuk saling menyerang dan merusak (secara fisik) terhadap kelompok lainnya yang masih muslimin dan masih shalat hanya dikarenakan beberapa perbezaan, maka yang terjadi adalah masyarakat terbiasa untuk taklid pada tokoh-tokohnya dan hilang suasana ilmiyah sama sekali.

Budaya pengerahan massa yang lahir dari sistem politik demokrasi -yang bukan dari ajaran Islam-, justru akan memecah-belah persatuan kaum muslimin dan merusak ukhuwah Islamiyah. Maka hadapilah kesalahan saudara-saudara kita itu dengan sikap yang baik, hingga ukhuwah akan tetap terjaga.


Allah سبحانه وتعالى berfirman:

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Fushshilat: 34)

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 101/Th. III 27 Rabi’ul Awal 1427 H/28 April 2006 M, judul asli Mempererat Ukhuwah dengan Menebar Nasihat, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu Abdirrahman Arief Subekti HP 081564690956. )

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1073