Wednesday, December 16, 2009

Menerima Pemberian RIBA'?

1. Apa hukum menerima hibah (pemberian) atau hadiah dari orangtua, kerabat atau selain kerabat, sedangkan kita mengetahui bahwa harta mereka dihasilkan dari cara-cara yang haram, seperti hasil bekerja di bank yang telah kita ketahui bersama bahwa bank menggunakan muamalah riba yang dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya atau usaha-usaha haram lainnya? Juga ketika kita mengunjungi mereka, apa hukum menyantap jamuan yang mereka hidangkan?


2. Bagaimana dengan seorang anak yang hidup di bawah tanggungan nafkah orangtuanya yang berpenghasilan haram seperti riba atau yang lainnya?

Alhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya dalam daerah larangan.

Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari, no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599 dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma)


Sikap wara’, yaitu berhati-hati dari sesuatu yang dikhawatirkan akan memudaratkan agama dan akhirat, adalah sikap yang terpuji dan dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim yang tidak memiliki wara’ akan bermudah-mudahan dengan perkara syubhat yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya, sehingga menyeretnya bermudah-mudahan dengan perkara haram, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma di atas.

Namun seperti kata Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ dalam Kitabul Bai’, Babul Ijarah: “Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan yang buta (yang merupakan permainan hawa nafsu). Karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman para sahabat.”

Alhamdulillah, para ulama telah berbicara dan berfatwa dalam permasalahan-permasalahan ini.

1. Untuk permasalahan yang pertama Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai oleh Al-Imam Al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz mengeluarkan fatwa yang rinci dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/330-331):

“Jika engkau mengetahui secara persis bahwa hadiah yang diberikan kepadamu dan makanan yang dihidangkan untukmu adalah harta yang dihasilkan dengan cara yang haram, maka jangan terima hadiah itu dan jangan makan hidangan itu. Demikian pula hukumnya jika seluruh harta mereka dihasilkan dengan cara yang haram.


Adapun jika harta mereka bercampur antara yang halal dan haram, tanpa ada kejelasan mana yang halal dan mana yang haram, maka ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang hukum menerima hadiahnya dan memakan hidangannya serta muamalah semisalnya.
Ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram secara mutlak.


Ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram jika lebih dari sepertiga hartanya adalah haram.

Ada yang berpendapat, hukumnya haram jika mayoritas hartanya haram.
Ada pula yang berpendapat, hukumnya halal secara mutlak, maka halal baginya untuk menerima hadiahnya dan memakan hidangannya.


Pendapat (yang terakhir) inilah yang zhahir (yang nampak) kebenarannya dengan dalil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima dan memakan seekor domba bakar (panggang) yang diberikan oleh seorang wanita Yahudi, serta keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashara) halal bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 5)
Merupakan sesuatu yang diketahui bersama bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani makan harta riba dan tidak menjaga diri dari penghasilan yang haram. Mereka menghasilkan harta dengan cara yang halal dan haram. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan untuk memakan sembelihan mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan sembelihan mereka. Sekian ahli hadits telah meriwayatkan dari hadits Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Zirr bin Abdillah, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:


“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepadanya dengan berkata: ‘Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang makan riba dan senantiasa mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Maka Ibnu Mas’ud menjawab:

‘Nikmatnya untukmu dan dosanya atas dirinya’.”
Namun seandainya seorang muslim menjaga diri dari perbauran dengan mereka serta mengurangi frekuensi acara hadiah-menghadiahi dan kunjung-mengunjungi dengan mereka, kemudian membatasi diri dengan apa-apa yang membawa maslahat dan dituntut oleh kebutuhan saja, tentu hal itu lebih baik baginya.”

Pendapat ini pula yang difatwakan oleh Al-Imam Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu sebagaimana dalam Al-Hawi Min Fatawa Al-Albani (hal. 428) ketika menjawab pertanyaan tentang seseorang yang mengetahui secara yakin bahwa kedua orangtuanya bermuamalah dengan jual beli yang haram dan mayoritas penghasilannya bersumber dari muamalah yang haram tersebut, apakah boleh baginya untuk menyantap hidangan yang disajikan oleh orangtuanya ketika berkunjung kepada mereka?

Beliau berfatwa: “Boleh pada batas secukupnya, sekadar memenuhi kebutuhannya yang bersifat darurat, dan tidak lebih dari itu. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang datang dari beberapa jalan periwayatan:

“Setiap daging yang yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas baginya.”


Terkait dengan masalah ini, apakah disyariatkan bagi seseorang untuk menanyakan sumber harta yang dihibahkan atau dihadiahkan kepadanya dan menanyakan sumber makanan yang disuguhkan buatnya?

Jawabannya: Hal itu tidak disyariatkan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan sumber domba bakar yang diberikan oleh wanita Yahudi kepadanya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/344):

“Hal itu (yakni menanyakan sumber harta) bukan ajaran Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya serta sahabatnya yang mulia g. Juga karena hal itu akan menyebabkan adanya jarak atau kedengkian atau putusnya hubungan. Kami mewasiatkan kepadamu agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam perkara-perkara seperti ini yang justru akan menjerumuskan dirimu dalam kesulitan yang memberatkanmu.”

2. Permasalahan yang kedua serupa dengan permasalahan pertama. Untuk permasalahan ini, secara khusus Al-Lajnah Ad-Da`imah telah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/344-345):

“Engkau berkewajiban untuk menasihati ayahmu dengan menerangkan haramnya riba serta azab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala siapkan bagi pelakunya. Dan tidak boleh bagimu menerima darinya apa yang engkau ketahui bahwa dia menghasilkannya dengan muamalah riba. Wajib atasmu untuk mencari rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mencurahkan seluruh kemampuanmu dalam menempuh usaha-usaha yang syar’i (halal) menurut ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Barangsiapa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan urusannya.”
Demikian pula fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu sebagaimana dalam Al-Hawi Min Fatawa Al-Albani (hal. 428):

“Jika dia hidup di bawah tanggungan ayahnya yang diyakini olehnya bermuamalah riba, sementara pendidikan yang dijalaninya hanyalah merupakan jalan untuk mencari rizki dan bukan perkara wajib atasnya, maka wajib atasnya untuk menempuh segala macam usaha yang mampu diupayakannya (dalam mencari rizki) agar bisa berlepas diri dari nafkah ayahnya yang bersumber dari kemaksiatan.

Meskipun terpaksa meninggalkan pendidikannya, karena pendidikan itu sendiri tidak wajib atas dirinya. Sehingga dirinya bisa berusaha untuk menghasilkan rizki yang halal dengan jerih payah tangannya dan cucuran keringatnya sendiri. Hal ini lebih baik dan lebih kekal. Aku berkeyakinan bahwa mata pencaharian rizki masih luas medannya di negeri kalian pada khususnya, sehingga memungkinkannya untuk meninggalkan pendidikan meskipun sementara waktu, dalam rangka mengupayakan sendiri rizki yang mencukupinya dan menjaga dirinya dari nafkah ayahnya (yang kotor).

Namun jika dia terpaksa hidup di bawah tanggungan nafkah ayahnya untuk memenuhi hajatnya yang bersifat darurat, dalam keadaan dirinya tidak suka dengan hal itu dan tidak melampaui batas daruratnya, maka tidak boleh baginya menuntut lebih dari sekadar untuk mempertahankan hidupnya dan mengatasi kepayahannya serta menjaga dirinya dari meminta-minta kepada manusia.”

Wallahu a’lam bish-shawab.

Bagaimana pula sikap kita jika ada suatu masjid atau fasilitas umum lainnya yang dibangun oleh seorang yang berpenghasilan haram seperti riba dan yang lainnya, apakah kita shalat di mesjid itu dan menggunakan fasilitas-fasilitas umum itu?

Jawab:
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berfatwa dalam Asy-Syarhul Mumti’, Kitabul Bai’ Babul Ijarah dalam permasalahan ini:

“Tidak mengapa shalat di mesjid itu meskipun dibangun dari harta riba atau usaha haram lainnya, karena dosa maksiat itu atas pelakunya sendiri. Adapun terkait dengan kita maka di hadapan kita ada masjid yang menghadap ke kiblat, dan tidak ada sesuatu apapun dalam mesjid itu yang menghalangi kita untuk memamfaatkannya.

Demikian pula kita mengatakan bahwa barangkali yang membangun masjid itu telah bertaubat dan dia membangunnya dalam rangka berlepas diri dari dosa dan dari hasil usahanya yang haram, berarti shalat kita di mesjid itu merupakan dorongan dan dukungan baginya untuk bertaubat.

Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan buta (yang menuruti hawa nafsu), karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman para sahabat. Tidak ada yang menyeret Khawarij4 untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu selain permainan perasaan buta mereka (yang menuruti hawa nafsu).

Tuduhan dusta mereka bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu telah berkhianat dan telah kafir dengan sebab tahkim (menyerahkan penyelesaian masalah kepada utusannya) yang dilakukannya serta tuduhan dusta lainnya adalah dampak dari permainan perasaan buta mereka (yang menuruti hawa nafsu).” Demikian pula hukum pemanfaatan fasilitas-fasilitas umum lainnya sama dengan ini.

Wallahul muwaffiq ila sawa`is sabil.

1 Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

“Bahwasanya seorang wanita Yahudi mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor domba yang telah dibumbui racun , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya….” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)

Kisah ini terjadi pada masa penaklukan Khaibar. (Lihat Shahih Ash-Shirah An-Nabawiyyah hal. 352-353 dan Fathul Bari syarah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada Kitab Al-Maghazi, Bab Asy-Syah Al-lati Summat li An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bi Khaibar), -pen.
Atsar ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 14675) dan dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad sebagaimana dalam Jami’ Al-’Ulum Wal Hikam syarah hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma. Sufyan Ats-Tsauri berkata setelah meriwayatkan atsar ini:

“Jika engkau mengetahui secara persis bahwa yang dihidangkan kepadamu adalah hartanya yang haram maka jangan engkau santap.”

HR. Ahmad, Ath-Thabarani, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim serta yang lainnya dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah pada hadits no. 2609.

Mereka adalah kaum yang tadinya bersama ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan penduduk ‘Iraq dalam menghadapi Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu dan penduduk Syam pada perang Shiffin. Ketika tanda kemenangan mulai nampak di pihak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu beserta pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al-Qur`an untuk meminta sulh (perdamaian), merekalah yang memaksa ‘Ali radhiyallahu ‘anhu untuk menerima tahkim tersebut.

Dan tahkim itupun terwujud sehingga perang berakhir. Sepulang dari Shiffin, mereka terbawa oleh perasaan kecewa dan hawa nafsu untuk tidak mengikuti ‘Ali radhiyallahu ‘anhu masuk ke Kufah dan justru menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan dusta tersebut dan melepaskan diri dari pemerintahannya. Kemudian mereka berkumpul di Harura` (daerah di Kufah) sehingga mereka juga dikenal dengan kelompok Haruriyyah.

Selanjutnya mereka berkumpul di Nahrawan (daerah di ‘Iraq) untuk memberontak. Jumlah mereka sekitar 12.000 orang. Sebelum ‘Ali radhiyallahu ‘anhu memerangi mereka, beliau mengutus Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk menasihati dan mendebat syubhat-syubhat mereka yang lemah. Hasilnya banyak dari mereka bertaubat dan sisanyapun ditumpas di sana, sehingga mereka dikenal sebagai Ashabun Nahrawan. (Al-Bidayah wan Nihayah juz 7 kisah perang Shiffin sampai perang Nahrawan) pen.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=710

Adab-adab buang hajat dengan Syariat.

Buang hajat merupakan rutin amali yang sering dilakukan semua orang. Maka alangkah baiknya bila kita mengetahui adab-adab buang hajat sesuai dengan tuntunan syari’at Islam yang mulia ini.

Adanya tuntunan dalam masalah buang hajat ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat sempurna. Tidak ada yang tersisa dari masalah umat ini, melainkan telah dijelaskan secara seluruh oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Tidak hairan, jika kaum musyrikin pernah terkejut sambil berkata kepada Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu:

“Sungguh nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu sampai-sampai perkara adab buang hajat sekalipun.” Salman menjawab: “Ya, benar…” (HR. Muslim No. 262)

Diantara adab-adab tersebut adalah:

1. Berdo’a Sebelum Masuk Tandas

Tandas dan yang semisalnya merupakan salah satu tempat yang dihuni oleh syaitan. Maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wata’ala dari kejelekan makhluk tersebut. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan do’a ketika akan masuk tandas:

(بِسْمِ اللهِ) اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَ الْخَبَائِثِ

“(Dengan menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan syaitan laki-laki dan syaitan perempuan.” (HR. Al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375. Adapun tambahan basmalah diawal hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Doa ini dapat pula dibaca dengan lafazh:

(بِسْمِ اللهِ) اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبْثِ وَ الْخَبَائِثِ

“(Dengan menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari segala bentuk kejahatan dan para pelakunya.” (Lihat Fathul Bari dan Syarhu Shahih Muslim pada penjelasan hadits diatas)

2. Mendahulukan Kaki Kiri Ketika Masuk Tandas Dan Mendahulukan Kaki Kanan Ketika Keluar

Dalam masalah ini tidak terdapat hadits shahih yang secara khusus menyebutkan disukainya mendahulukan kaki kiri ketika hendak masuk Tandas. Hanya saja terdapat hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyukai mendahulukan yang kanan pada setiap perkara yang baik.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, beberapa ulama seperti Al-Imam An-Nawawi dalam kitab beliau, Syarhu Shahih Muslim, dan juga Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Id menyebutkan disukainya seseorang yang masuk Tandas dengan mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar dengan mendahulukan kaki kanan.

3. Tidak Membawa Sesuatu Yang Terdapat Padanya Nama Allah subhanahu wata’ala Atau Ayat Al-Qur`an kedalam Tandas

Sesuatu apapun yang terdapat padanya nama Allah subhanahu wata’ala, atau terdapat padanya ayat Al-Qur’an, atau terdapat padanya nama yang disandarkan kepada salah satu dari nama Allah subhanahu wata’ala seperti Abdullah, Abdurrahman dan yang lainnya, maka tidak sepantasnya dimasukkan ke tempat buang hajat (WC). Allah subhanahu wata’ala berfirman:


“Barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Adapun hadits yang sering dipakai dalam masalah ini tentang peletakan cincin Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika masuk tandas merupakan hadits yang dilemahkan para ulama. (Taudhihul Ahkam, 1/324)

4. Berhati-hati Dari Percikan Najis

Tidak berhati-hati dari percikan kencing merupakan salah satu penyebab diadzabnya seseorang di alam kubur. Tetapi perkara ini sering disepelekan oleh kebanyakan orang. Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melewati dua kuburan, seraya beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sungguh dua penghuni kubur ini sedang diadzab. Tidaklah keduanya diadzab melainkan karena menganggap sepele perkara besar. Adapun salah satunya, ia diadzab karena tidak menjaga dirinya dari kencing. Sedangkan yang lainnya, ia diadzab karena suka mengadu domba….” (HR. Al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292)

Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan:

“Bersucilah kalian dari kencing. Sungguh kebanyakan (orang) diadzab di alam kubur disebabkan karena kencing.” (HR. Ad-Daraquthni)

5. Tidak Menampakkan Aurat

Menutup aurat merupakan perkara yang wajib dalam Islam. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang dalam keadaan apapun, termasuk ketika buang hajat, untuk menampakkan auratnya di hadapan orang lain. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Apabila dua orang buang hajat, maka hendaklah keduanya saling menutup auratnya dari yang lain dan janganlah keduanya saling berbincang-bincang. Sesungguhnya Allah sangat murka dengan perbuatan tersebut.” (HR. Ahmad dishahihkan Ibnus Sakan, Ibnul Qathan, dan Al-Albani, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu)

Oleh karena itu, kebiasaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah menjauh dari pandangan para sahabatnya ketika hendak buang hajat. Abdurrahman bin Abi Qurad radhiallahu ‘anhu berkata:

“Aku pernah keluar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ke tempat buang hajat. Kebiasaan beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia.” (HR. An Nasa’i No. 16. Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih, 1/495)

6. Tidak Beristinja’ dengan Tangan Kanan

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang beristinja’ dengan tangan kanan sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam:

“Janganlah seseorang diantara kalian memegang kemaluan dengan tangan kanannya ketika sedang kencing dan jangan pula cuci dengan tangan kanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Qotadah radhiallahu ‘anhu)

Hadits inipun mengandung larangan memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika sedang kencing. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan adab (etika yang baik) dan kebersihan, termasuk ketika buang hajat sekalipun.

7. Boleh Bersuci dengan Batu (Istijmar)

Diantara bentuk kemudahan dari Allah subhanahu wata’ala ialah dibolehkan bagi seseorang untuk bersuci dengan batu (istijmar). Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:

“Suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, lalu beliau meminta kepadaku tiga batu untuk bersuci.” (HR. Al-Bukhari No. 156)

Namun batu yang dipakai harus berjumlah ganjil dengan jumlah minimal tiga batu sebagaimana dinyatakan Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu:

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang bersuci (istijmar) kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)

Juga hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Jika kalian bersuci dengan batu (istijmar), maka hendaklah dengan bilangan ganjil.” (HR. Muslim)

Para ulama menyebutkan kriteria batu yang dipakai adalah batu yang suci lagi kering. Tidak boleh jika batu tersebut dalam keadaan basah. Dibolehkan juga menggunakan benda-benda lain selagi bisa menyerap benda najis dari tempat keluarnya, yaitu qubul dan dubur, dengan syarat berjumlah ganjil dan minimal 3 (tiga) buah.

8. Larangan Beristinja’ dengan Tulang dan Kotoran Binatang

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang beristinja’ dengan tulang atau kotoran binatang, disamping keduanya merupakan benda yang tidak dapat menyucikan. Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata:

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah melarang beristinja’ dengan tulang dan kotoran binatang.” (HR. Muslim)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan hikmah pelarangan beristinja’ dengan tulang sebagaimana disebutkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tulang adalah makanan saudara kalian dari kalangan jin.” (HR. Al-Bukhari)

9. Tidak Menghadap Atau Membelakangi Kiblat Ketika Buang Hajat

Para ulama berbeza pendapat dalam permasalahan ini. Sebagian ulama berpendapat dilarangnya buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat secara mutlak, baik di tempat terbuka maupun di tempat tertutup. Inilah pendapat Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani dan yang lainnya. Berdalil dengan hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Apabila seseorang dari kalian buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. Akan tetapi hendaknya ia menyamping dari arah kiblat.” (HR. Al-Bukhari No. 394 dan Muslim No. 264)

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa larangan buang hajat dengan menghadap kiblat adalah apabila di tempat terbuka. Namun jika di tempat tertutup, maka dibolehkan menghadap kiblat. Dalil yang menunjukkan bolehnya perkara tersebut adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

“Aku pernah menaiki rumah saudariku Hafshah (salah satu istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) untuk suatu kepentingan. Maka aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang buang hajat dengan menghadap ke arah negeri Syam dan membelakangi Ka’bah.” (HR. Al-Bukhari No. 148 dan Muslim No. 266)

Demikian pula hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

“Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam melarang kami membelakangi atau menghadap kiblat ketika buang hajat. Akan tetapi aku melihat beliau kencing dengan menghadap kiblat setahun sebelum beliau wafat.” (HR. Ahmad, 3/365, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih, 1/493)

Pendapat inilah yang nampak bagi penulis lebih kuat. Dan ini pendapat yang dipilih Al-Imam Malik, Ahmad, Asy-Syafi’i, dan majoriti para ulama.

Namun dalam rangka berhati-hati, sebaiknya tidak menghadap kiblat ketika buang hajat walaupun di tempat tertutup. Hal ini disebabkan karena perbezaan pendapat yang sangat kuat diantara para ulama dalam masalah ini.

10. Berdo’a Setelah Keluar Tandas

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan do’a yang dibaca ketika keluar dari tempat buang hajat. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

“Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika keluar dari tempat buang hajat membaca do’a:

غُفْرَانَكَ

“(Aku memohon pengampunanmu).” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil No. 52)

Terdapat riwayat-riwayat lain yang menyebutkan beberapa bentuk do’a yang dibaca setelah buang hajat. Namun seluruh hadits-hadits tersebut didha’ifkan para ulama pakar hadits. Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Hadits yang paling shahih tentang masalah ini adalah hadits ‘Aisyah (yang telah disebutkan diatas).” (Taudhihul Ahkam, 1/352)

Inilah beberapa perkara yang perlu dicermati oleh setiap muslim. Sungguh tidak layak bagi seorang muslim menganggap hal ini sebagai perkara yang mudah.

Wallahu ta’ala a’lam.


URL to article: http://www.assalafy.org/mahad/?p=268