Wednesday, February 24, 2010
Perhatikan amalan hati ini...
Ditulis:al-Bamalanjy
Penyusun dan disunting:Ummu Jauharah at-Taqqiyah
Sumber Rujukan,
Oleh: Syaikh Kholid bin Ali al-Musyaiqih – hafizhohulloh -.
الحمد لله والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد
Sesungguhnya amalan teragung yang hendaknya sangat diperhatikan oleh seorang muslim, lebih khusus seorang penuntut ilmu, adalah amalan-amalan hati. Kerana hati adalah penentunya amalan badan. Oleh karena itulah Nabi - shollallohu ‘alaihi wa sallam - bersabda,
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niat-niat, dan seseorang hanyalah mendapatkan yang dia niatkan.”
Dan para ulama pun telah memberikan perhatian terhadap amalan-amalan hati. Mereka telah menulis berbagai karya tulis tentangnya. Maka sudah selayaknya bagi seorang penuntut ilmu untuk melihat dan memperhatikan hatinya, kerana sebagaimana sabda Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam -
إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
“Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika rosak maka rosaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, dia adalah hati.”
Maka wajib bagi seorang penuntut ilmu – selalu dan selamanya – untuk memperhatikan hatinya, selalu menggantungkannya kepada Alloh – ‘azza wa jalla -, dengan ikhlas, tawakal, rasa takut, harap, rohbah, roghbah, meminta pertolongan, dan selainnya. Dan hendaknya dia memenuhi hatinya dengan rasa khosy-yah (rasa takut terhadap dzat yang diagungkan -pent). Hendaknya ilmunya mendorong dia untuk khosy-yah kepada Alloh ‘azza wa jalla, bertakwa kepada-Nya, berkeinginan kuat terhadap kebaikan, menjauh dari keburukan, bersegera mengamalkan kebaikan-kebaikan. Dan hendaknya dia benar-benar waspada dari sifat kibir (sombong, menolak kebenaran dan meremehkan manusia -pent), ‘ujub (membanggakan diri), hasad, permusuhan, riya`, sum’ah, dan berbagai amalan hati lain yang kerosakan dan bahayanya sangat besar terhadap seorang penuntut ilmu dalam perjalanan ilmiyahnya.
Dan hendaknya seorang penuntut ilmu memakmurkan hatinya dengan mengingat Alloh, senantiasa membiasakan lisannya untuk berdzikir kepada Alloh dalam seluruh waktu dan keadaannya. Alloh ta’ala berfirman,
أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, dengan mengingat Alloh, hati-hati menjadi tenang.”
Adapun berpaling dari dzikir, adalah sebab matinya hati, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,
مثل الذي يذكر ربه والذي لا يذكر ربه مثل الحي والميت
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Robbnya dengan orang yang tidak berdzikir kepada Robbnya, seperti orang yang hidup dan yang mati.”
Dan di antara hal yang hendaknya diperhatikan seorang penuntut ilmu untuk kebaikan hatinya adalah hendaknya hatinya selamat dari perasaan dengki, hasad, permusuhan, kebencian terhadap seseorang dari kaum muslimin. Kebersihan hati dari penyakit-penyakit ini adalah jalan untuk kebersihan hati.
Akhirnya,saya nasihatkan kepada saudara saya para penuntut ilmu, untuk berusaha sungguh-sungguh memperbaiki hati mereka dengan segala hal yang boleh mendekatkan mereka kepada Alloh dan menjauhkan dari apa yang Alloh – subhanahu wa ta’ala - haramkan.
Semoga Alloh memberi taufiq kepada semuanya, kepada apa yang dicintai dan diridhoi-Nya.
Dan aku memohon kepada Alloh agar Dia memperbaiki hati-hati kita, amalan-amalan kita, dengan anugerah dan kemurahan-Nya.
Sebab Kurangnya Rasa Bersyukur...
Alloh menyebutkan dalam kitab-Nya, bahawa makhluk tidak akan mampu menghitung nikmat-nikmatNya kepada mereka. Alloh ‘Azza min Qo`il berkata,
وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا
“Dan seandainya kalian menghitung nikmat Alloh, kalian tidak akan (mampu) menghitungnya.” (an-Nahl: 18)
Maknanya, mereka tidak akan mampu bersyukur atas nikmat-nikmat Alloh dengan cara yang dituntut. Karena orang yang tidak mampu menghitung nikmat Alloh, bagaimana mungkin dia akan mensyukurinya?
Barangkali seorang hamba tidak dikatakan lalai jika dia mengerahkan segenap usahanya untuk bersyukur, dengan mewujudkan ubudiyah (penghambaan) kepada Alloh, Robb semesta alam, sesuai dengan firmanNya,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kalian kepada Alloh, menurut kemampuan kalian.” (at-Taghobun: 16)
Sikap meremehkan yang kami maksudkan adalah, jika seorang manusia senantiasa berada dalam nikmat Alloh siang dan malam, ketika safar maupun mukim, ketika tidur maupun terjaga, kemudian muncul dari perkataan, perbuatan dan keyakinannya sesuatu yang tidak sesuai dengan sikap syukur sama sekali. Sikap peremehan inilah yang kita ingin mengetahui sebagian sebab-sebabnya. Kemudian kita sampaikan obatnya dengan apa yang telah Alloh bukakan. Dan taufiq hanyalah di tangan Alloh.
Di antara sebab-sebab ini:
Sebab pertama: Lalai dari nikmat Alloh.
Sesungguhnya banyak manusia yang hidup dalam kenikmatan yang besar, baik nikmat yang umum mahupun khusus. Akan tetapi dia lalai darinya. Dia tidak mengetahui bahawa dia hidup dalam kenikmatan. Itu kerana dia telah terbiasa dengannya dan tumbuh berkembang padanya. Dan dalam hidupnya, dia tidak pernah mendapatkan selain kenikmatan. Sehingga dia menyangka bahawa perkara (hidup) ini memang seperti itu sahaja.
Seorang manusia jika tidak mengenal dan merasakan kenikmatan, bagaimana mungkin dia mensyukurinya? Kerana syukur, dibangun di atas pengetahuan terhadap nikmat, mengingatnya dan memahami bahawa itu adalah nikmat pemberian Alloh kepadanya.
Sebagian salaf berkata, “Nikmat dari Alloh untuk hambaNya adalah sesuatu yang majhulah (tidak diketahui). Jika nikmat itu hilang barulah dia diketahui.” [Robii’ul Abror 4/325]
Sesungguhnya banyak manusia di zaman kita ini senantiasa berada dalam kenikmatan Alloh, mereka memenuhi perut mereka dengan berbagai makanan dan minuman, memakai pakaian yang paling indah, bertutupkan selimut yang paling baik, menunggangi kenderaan yang paling bagus, kemudian mereka berlalu untuk urusan mereka tanpa mengingat-ingat nikmat dan tidak mengetahui hak bagi Alloh. Maka mereka seperti binatang, mulutnya menyela-nyela tempat makanan, lalu jika telah kenyang dia pun berlalu darinya. Dan semacam ini pantas bagi binatang.
Jika kenikmatan telah menjadi banyak dengan mengalirnya kebaikan secara terus-menerus dan bermacam-macam, manusia akan lalai dari orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat itu. Dia menyangka bahwa orang lain seperti dia, sehingga tidak muncul rasa syukur kepada Pemberi nikmat. Oleh karena itu, Alloh memerintahkan hambaNya untuk mengingat-ingat nikmatNya atas mereka – sebagaimana telah dijelaskan. Karena mengingat-ingat nikmat akan mendorong seseorang untuk mensyukurinya. Alloh berfirman,
وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ
“Dan ingatlah nikmat Alloh padamu, dan apa yang telah diturunkan Alloh kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Alloh memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkanNya itu.” (al-Baqarah: 231)
Sebab kedua: Kebodohan terhadap hakikat nikmat
Sebahagian orang tidak mengetahui nikmat, tidak mengenal dan tidak memahami hakikat nikmat. Dia tidak tahu bahawa dirinya berada dalam kenikmatan, kerana dia tidak mengetahui hakikat nikmat. Bahkan mungkin dia memandang pemberian nikmat Alloh kepadanya sangat sedikit sehingga tidak pantas untuk dikatakan sebagai kenikmatan. Maka orang yang tidak mengetahui nikmat, bahkan bodoh terhadapnya, tidak akan boleh mensyukurinya.
Sesungguhnya ada sebahagian manusia yang jika melihat suatu kenikmatan diberikan kepadanya dan juga kepada orang lain, bukan kekhususan untuknya, maka dia tidak bersyukur kepada Alloh. Karena dia memandang dirinya tidak berada dalam suatu kenikmatan selama orang lain juga berada pada kenikmatan tersebut. Sehingga banyak orang yang berpaling dari mensyukuri nikmat Alloh yang sangat besar pada dirinya yang berupa anggota badan dan indera, dan juga nikmat Alloh yang sangat besar pada alam semesta ini.
Ambilah sebagai contoh, nikmatnya penglihatan. Ini merupakan nikmat Alloh yang sangat agung yang banyak dilalaikan oleh manusia. Siapakah yang mengetahui kenikmatan ini, memperhatikan haknya dan menyukurinya? Alangkah sedikitnya mereka itu.
Seandainya seseorang mengalami kebutaan, lalu Alloh mengembalikan penglihatannya dengan suatu sebab yang Alloh takdirkan, apakah dia akan memandang penglihatannya pada keadaan yang kedua ini sebagaimana kelalaiannya terhadap yang pertama? Tentu tidak, karena dia telah mengetahui nilai kenikmatan ini setelah dia kehilangan nikmat tersebut. Maka orang ini mungkin akan bersyukur kepada Alloh atas nikmat penglihatan ini, akan tetapi dengan cepat dia akan melupakannya. Dan ini adalah puncak kebodohan, karena rasa syukurnya bergantung kepada hilang dan kembalinya nikmat tersebut. Padahal sesuatu (kenikmatan) yang langgeng lebih berhak disyukuri daripada (kenikmatan) yang kadang-kadang terputus. [Lihat Mukhtashor Minhajil Qoshidin, hlm 288]
Sebab ketiga: Pandangan sebagian manusia kepada orang yang berada di atasnya.
Jika seorang manusia melihat kepada orang yang diatasnya, yaitu orang-orang yang diberi kelebihan atasnya, dia akan meremehkan karunia yang Alloh berikan kepadanya. Sehingga dia pun kurang dalam melaksanakan kewajiban syukur. Kerana dia melihat bahawa apa yang diberikan kepadanya adalah sedikit, sehingga dia meminta tambahan untuk boleh menyusul atau mendekati orang yang berada diatasnya. Dan ini ada pada kebanyakan manusia. Hatinya sibuk dan badannya letih dalam berusaha untuk menyusul orang-orang yang telah diberi kelebihan atasnya berupa harta dunia. Sehingga keinginannya hanyalah untuk mengumpulkan dunia. Dia lalai dari bersyukur dan melaksanakan kewajiban ibadah, yang sebenarnya dia diciptakan untuk hal tersebut (ibadah).
Telah datang suatu hadits dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلىَ مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فيِ الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلىَ مَن هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan atasnya dalam masalah harta dan penciptaan, hendaknya dia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya, yang dia telah diberi kelebihan atasnya.” [Riwayat Muslim (2963) dan lihat Jami’ul Ushul (10/142)]
Sebab keempat: Melupakan masa lalu.
Di antara manusia ada yang pernah melewati kehidupan yang menyusahkan dan sempit. Dia hidup pada masa-masa yang menegangkan dan penuh rasa takut, baik dalam masalah harta, penghidupan atau tempat tinggal. Dan tatkala Alloh memberikan kenikmatan dan karunia kepadanya, dia enggan untuk membandingkan antara masa lalunya dengan kehidupannya sekarang agar menjadi jelas baginya karunia Robb atasnya. Barangkali hal itu akan membantunya untuk mensyukuri nikmat-nikmat itu. Akan tetapi dia telah tenggelam dalam nikmat-nikmat Alloh yang sekarang dan telah melupakan keadaannya terdahulu. Oleh karena itu engkau lihat banyak orang yang telah hidup dalam kemiskinan pada masa-masanya yang telah lalu, namun mereka kurang bersyukur dengan keadaan mereka yang engkau lihat sekarang ini.
Setiap manusia wajib untuk mengambil pelajaran dari kisah yang ada dalam hadits shohih [Hadits panjang dari Abu Huroiroh,
“Sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan Bani Isroil, orang yang punya penyakit kusta, orang yang botak dan orang yang buta...” diriwayatkan oleh al-Bukhori (3277) dan Muslim (2946)] (yang maknanya),
Sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan Bani Isroil yang ingin Alloh uji. Mereka adalah orang yang punya penyakit kusta, orang yang botak dan orang yang buta. Maka ujian itu menampakkan hakikat mereka yang telah Alloh ketahui sebelum menciptakan mereka. Adapun orang yang buta, maka dia mengakui pemberian nikmat Alloh kepadanya, mengakui bahawa dahulu dia adalah seorang yang buta lagi miskin, lalu Alloh memberikan penglihatan dan kekayaan kepadanya. Dia pun memberikan apa yang diminta oleh pengemis, sebagai bentuk syukur kepada Alloh. Adapun orang yang botak dan orang yang berpenyakit kusta, mereka mengingkari kemiskinan dan buruknya keadaan mereka sebelum itu. Keduanya berkata tentang kekayaan itu, ‘Sesungguhnya aku mendapatkannya dari keturunan.’
Inilah keadaan kebanyakan manusia. Tidak mengakui keadaannya terdahulu berupa kekurangan, kebodohan, kemiskinan dan dosa-dosa, (tidak mengakui) bahwasanya Alloh lah yang memindahkan dia dari keadaannya semula kepada kebalikannya, dan memberikan kenikmatan tersebut.
Diterjemahkan dari makalah Syaikh Abdulloh bin Sholih al-Fauzan hafizhohulloh, dengan judul
التقصير في الشكر وأسبابه
Sumber (berbahasa arab): http://www.alfuzan.islamlight.net/index.php?option=content&task=view&id=2053&Itemid=47
Sunday, February 21, 2010
Wanita Mutiara dalam Cangkerangnya.
Penulisan ini daripada akak senior saya,namanya Ummu Salama Farhamizah.Saya kagum dengan petikan surah ini,dan kagum dengan pendapatnya.
Begini..mengapa saya kunyahkan nama saya kepada Ummu Jauharah at-Taqiyyah yang bermakna mutiara yang taqwa.Wanita ini ibarat mutiara yang tersimpan dalam cangkerangnya..apabila tiba masanya ia cukup besar,waktu itu mutiara ini menunggu seseorang untuk membukanya.Mutiara ini bercahaya dan putih warnanya,suci,indah.Itulah ibaratnya wanita yang menutupi dirinya,yang tidak mendedahkan auratnya,lebih sempurna wajahnya juga ditutup rapi.Janganlah wanita menjadi seperti butiran manik yang memang cantik tetapi tidak berharga seperti mutiara,yang terdedah tanpa cangkerangnya.
Daripada surah Al-Ahzab.. Tah kenapa tadi bila bace je ayat ni boleh nangis.. Nak kata ayat ni memilukan, tak juga. Tapi saya rasa macam ALLAH saje je nak tuju ayat ni pada saya:
28. Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
29. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.
30. Hai isteri-isteri nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.
31. Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan kami sediakan baginya rezki yang mulia.
32. Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,
33. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
34. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
36. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.
Ni la ayat2 yang menusuk ke dalam jiwa, sanubari ini hari ni.. HUHU... SEDIHNYA...!!!
Akhir2 ni dan sebelum2 ni pun saya banyak berbuat dosa, lalai dan alpa. Selalu terleka, kurang muhasabah, tak boleh mendisiplinkan diri dengan jadual2 yang dah disusun... kerja banyak bertangguh..
Rasa macam tah apa2.. Kadang2 rasa bersalah.. Kadang2 rasa sedih, tak tenang... Saya tahu, saya mungkin kurang beramal. Beramal dengan apa yang saya sendiri cakapkan..
Apa sahaja yang saya luahkan, yang saya tuturkan di mulut ni, semuanya ALLAH uji saya betul2.. Kadang2 sampai rasa takut juga nak bagi nasihat pada orang lain. Takut diri yang memperkatakan nasihat itu sendiri tak mampu melakukannya.. Apapun, saya akan usaha..
Bagi kawan2, silalah tegur diri ini.. Mungkin luar je saya nampak baik, tapi hakikat yang sebenarnya tiada yang mengetahuinya selain ALLAH je. Semalam saya ada bercakap dengan seseorang melalui telefon. Saya kata pada dia (sekadar meluahkan isi hati masa tu)
“Teringin gak kan nak letak gambar di facebook, YM.. Cuma nak letak gambar yang Kecik2 je. Yang orang takleh zoom tu.. Tapi tak berani pulak letak. Segan jgk nak pamerkan gambar kat internet..”
Kemudian, orang tu cakap,
“Better tak payah letak. Saya tak galakkan awak letak gambar di facebook. Wanita itu seharusnya sifatnya tidak mendedahkan sebaliknya sesuatu yang perlu ditutup. Tidak terdedah di sini bukanlah hanya tidak terdedah paras atau luarannya sahaja tapi juga sifatnya, tutur katanya dan lain2..”
Selepas habis cakap, kawan saya yang tengah buat kerja depan saya tu bertanya.
“Kenapa Farha?”
“Takde apa2.. Cuma ada orang pesan something kat aku.. Mengenai perempuan yang meletakkan gambar2nya di facebook..”
“Kenapa? Tak boleh ke? Apa ye hukum kita letak gambar2 kita kat facebook bg orang tengok?
“Pasal hukum tu aku tak berani la nak jawab... Aku bukan pandai sangat.. .Tapi aku nak tanya ang... WANITA NI APA??
Diri wanita , kita sendiri ni adalah perhiasan kan? Bila dikatakan perhiasan, sudah tentu ia adalah sesuatu yang ‘menarik’ dan cantik.. Tapi, wanita sebagai perhiasan yang sepatutnya ditutup dan dijaga. Bukan untuk sewenang-wenangnya ditayangkan di sana-sini..
Sebab tu la ALLAH suruh kita tutup aurat.. Supaya apa? Supaya kita lebih terpelihara. Terpelihara dari fitnah, terpelihara dari lelaki, dan lain2.. Jadi, jika kita tayang muka kita, body kita yang cantik tu dengan gambar2 yang menarik perhatian tu, maknanya kita masih tidak menutup dengan erti kata yang sebenarnya. Kita pakai tudung, tapi kita bertabarruj (menampakkan kecantikan diri pada bukan mahram).
Mestila gambar yang kita letak kat facebook tu adalah gambar yang cantik2 kan? Untuk apa? Tanya balik tujuan kita. Niat kita letak gambar tu.. Mungkin kita tak sedar, atau mungkin kita ingat biasa2 je sebab orang ramai buat camtu.. Tapi kita ada tak terfikir kesannya pada orang lain? Contohnya pada orang yang ‘admire’ pada seseorang prempuan tu. Tiap2 hari buka facebook, tengok gambar, komen sana, komen sini... Merapu2 perkara yang tak penting.. Tidakkah perkara ni akan mendatangkan dosa pada dia? Lelaki menatap wanita yang tidak halal baginya.. Kasihanilah lelaki... Mungkin kadang2 nafsu mereka terganggu akibat perbuatan seorang wanita..
Firman Allah:
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya ..... (An-Nur, 30-31)
Hayatilah Ayat tersebut wahai rakan2ku... Aku mohon kepadamu dan juga diriku sendiri yang serba lemah ini.. TOLONG JAGA DIRI ANDA SEBAGAI WANITA KERANA SEORANG WANITA ITU AMAT BERHARGA.. Jagalah diri untuk suamimu.. Jangan biarkan lelaki lain merasai kecantikanmu sebelum tiba masanya KERANA KAU AMAT BERNILAI dan bukannya sesuatu yang murah dan boleh dapat dimana2 dan bila2 saja.
Jadi, GUNALAH FACEBOOK UNTUK KEBAIKAN ATAU PERKARA BERFAEDAH. Tidak salah berfacebook, share something dengan kawan2, erat silaturrahim, kongsi maklumat... TAPI JANGAN JADIKAN FACEBOOK TEMPAT BUAT DOSA.. (Dosa mengata orang, mengumpat, tak jaga pandangan, tabarruj, dan lain2..)
_FARHAH_
Saturday, February 20, 2010
Go GREEN!Amalan yang cerminkan Islam.
Disunting oleh:Ummu Jauharah at-Taqqiyah
Penulis: Buletin Jum’at At-Tauhid
Dekad terakhir ini,Aktivis Alam,Mahasiswa Universiti,pemerintah,Pensyarah-pensyarah terus melancarkan program penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana kita akan melihat pengakuan dan promosi penghijauan, baik melalui media visual, mahupun audio-visual. Promosi ini banyak diadakan di sudut-sudut jalan, dan pelekat-pelekat di kereta dan lainnya yang mengajak kita menyukseskan program tersebut.Di USM sendiri melancarkan pelbagai Program kehijauan seperti The White Coffin,No Plastik Bags,Eco-Desa Saujana,penanaman semula,Durian Valley untuk menjada ekosistem alam kita.
Sebahagian orang menyangka bahwa program penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapatkan pahala di sisi Allah, sehingga ada diantara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung program tersebut. Demi menepis persangkaan yang salah ini, kali ini kami akan mengulas PENTINGNYA PENGHIJAUAN menurut tuntunan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- beserta dalil-dalilnya.
Para pembaca yang budiman, mungkin anda masih mengingat sebuah hadits yang masyhur dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, beliau bersabda,
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendo’akan kebaikan baginya". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Washiyyah (4199)]
Perhatikan, satu diantara perkara yang tiddak akan terputus amalannya bagi seorang manusia, walaupun dia telah meninggal dunia adalah SEDEKAH JARIYAH, sedekah yang terus mengalir pahalanya bagi seseorang.
Para ahli ilmu menyatakan bahawa sedekah jariyah memiliki banyak macam dan jalannya, seperti membuat perigi umum, membangun masjid, membuat jalan atau jembatan, menanam tumbuhan baik berupa pohon, biji-bijian atau tanaman ladang, dan lainnya.
Jadi, menghijaukan lingkungan dengan tanaman yang kita tanam merupakan sedekah dan amal jariyah bagi kita –walau telah meninggal- selama tanaman itu tumbuh atau berketurunan.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau haiwan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah kerananya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab AL-Muzaro'ah (2320), dan Muslim dalam Kitab Al-Musaqoh (3950)]
Al-Imam Ibnu Baththol -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Ini menunjukkan bahwa sedekah untuk semua jenis haiwan dan makhluk bernyawa di dalamnya terdapat pahala". [Lihat Syarh Ibnu Baththol (11/473)]
Seorang muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah -Azza wa Jalla-, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan haiwan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ
"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya" . [HR. Muslim dalam Al-Musaqoh (3945)]
Al-Imam Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy -rahimahullah- berkata menjelaskan faedah-faedah dari hadits yang mulia ini, "Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan menanam pohon dan tanaman, bahawa pahala pelakunya akan terus berjalan (mengalir) selama pohon dan tanaman itu ada, serta sesuatu yang lahir daripadanya sampai hari kiamat masih ada. Para ulama berselisih pendapat tentang pekerjaan yang paling baik dan paling afdhol. Ada yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah perniagaan. Ada yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah kerajinan tangan. Ada juga yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah bercocok tanam. Inilah pendapat yang benar. Aku telah memaparkan penjelasannya di akhir bab Al-Ath’imah dari kitab Syarh Al-Muhadzdzab. Di dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala dan ganjaran di akhirat hanyalah khusus bagi kaum muslimin, dan bahwa seorang manusia akan diberi pahala atas sesuatu yang dicuri dari hartanya, atau dirusak oleh hewan, atau burung atau sejenisnya". [Lihat Al-Minhaj (10/457) oleh An-Nawawiy, cet. Dar Al-Ma'rifah, 1420 H]
Pahala sedekah yang dijanjikan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits ini akan diraih oleh orang yang menanam, walapun ia tidak meniatkan tanamannya yang diambil atau dirusak orang dan haiwan sebagai sedekah.
Al-Hafizh Abdur Rahman Ibnu Rajab Al-Baghdadiy -rahimahullah- berkata, "Lahiriah hadits-hadits ini seluruhnya menunjukkan bahwa perkara-perkara ini merupakan sedekah yang akan diberi ganjaran pahala bagi orang yang menanamnya, tanpa perlu maksud dan niat". [Lihat Iqozh Al-Himam Al-Muntaqo min Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam (hal. 360) oleh Salim Al-Hilaliy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]
Penghijauan merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia dan untuk membantu kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu boleh menjadi naungan bagi manusia dan haiwan yang lewat, buah dan daunnya terkadang boleh dimakan, batangnya boleh dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya boleh mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya boleh menyejukkan pandangan bagi orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung daripada gangguan tiupan angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi pencemaran udara, dan masih banyak lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran sempit ini.
Jika demikian banyak manfaat dari penghijuan, maka tidak hairan jika agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits lainnya, seperti beliau pernah bersabda,
إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
"Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang diantara kalian terdapat bibit pohon korma; jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/183, 184, dan 191), Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2068), dan Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (479). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 9)]
Ahli Hadits Abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata saat memetik faedah dari hadits-hadits di atas, "Tidak ada sesuatu (yakni, dalil) yang paling kuat menunjukkan anjuran bercocok tanam sebagaimana dalam hadits-hadits yang mulia ini, terlebih lagi hadits yang terakhir diantaranya, kerana di dalamnya terdapat targhib (dorongan) besar untuk menggunakan kesempatan terakhir dari kehidupan seseorang dalam rangka menanam sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia setelah ia (si penanam) meninggal dunia. Maka pahalanya terus mengalir, dan dituliskan sebagai pahala baginya sampai hari kiamat". [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/1/38)]
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak mungkin memerintahkan suatu perkara kepada umatnya dalam kondisi yang genting dan sempit seperti itu, kecuali kerana perkara itu amat penting, dan besar manfaatnya bagi seorang manusia. Semua ini menunjukkan tentang keutamaan "Go Green" alias program penghijauan yang digalakkan oleh pemerintah kita –semoga Allah memberikan balasan kebaikan bagi mereka-.
Betapa besarnya manfaat peghijauan, tanah yang dahulu kering kontang boleh berubah menjadi tanah subur. Sungai yang dahulu gersang, dengan penghijauan boleh berubah menjadi berair.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda dalam sebuah yang shohih,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَعُودَ أَرْضُ الْعَرَبِ مُرُوجًا وَأَنْهَارًا
"Tak akan tegak hari kiamat sampai tanah Arab menjadi tanah subur, dan sungai-sungai". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/370 & 417), dan Muslim dalam Kitab Ash-Shodaqoh (2336)]
Ketika para sahabat mendengarkan hadits-hadits ini, maka mereka berlomba-lomba dan saling mendorong untuk melakukan program penghijauan ini, karena ingin mendapatkan keutamaan dari Allah -Azza wa Jalla- di dunia dan di akhirat berupa ganjaran pahala.
Para pembaca yang budiman, jika kita mau membuka sebagian kitab-kitab hadits yang berisi keterangan dan petunjuk jalan hidup para salaf (pendahulu) kita dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, maka kita akan mendapatkan manusia-manusia yang memiliki semangat dalam menggalakkan perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam perkara ini.
Seorang tabi’in yang bernama Umaroh bin Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshoriy Al-Madaniy -rahimahullah- berkata,
سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُوْلُ لأَبِيْ : مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَغْرِسَ أَرْضَكَ ؟ فَقَالَ لَهُ أَبِيْ : أَنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ أَمُوْتُ غَدًا ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : أَعْزِمْ عَلَيْكَ لَتَغْرِسَنَّهَا, فَلَقَدْ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَغْرِسُهَا بِيَدِهِ مَعَ أَبِيْ
"Aku pernah mendengarkan Umar bin Khoththob berkata kepada bapakku, "Apa yang menghalangi dirimu untuk menanami tanahmu?" Bapakku berkata kepada beliau, "Aku adalah orang yang sudah tua, akan mati besok". Umar berkata kepadanya, "Aku mengharuskan engkau (menanamnya). Engkau harus menanamnya!" Sungguh aku melihat Umar bin Khoththob menanamnya dengan tangannya bersama bapakku". [HR. Ibnu Jarir Ath-Thobariy sebagaimana dalam Ash-Shohihah (1/1/39)]
Al-Imam Al-Bukhoriy -rahimahullah- meriwayatkan sebuah atsar dari Nafi’ bin Ashim bahwa,
أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ لابْنِ أَخٍ لَهُ خَرَجَ مِنَ الْوَهْطِ : أَيَعْمَلُ عُمَّالُكَ ؟ قَالَ : لاَ أَدْرِيْ ، قَالَ : أَمَا لَوْ كُنْتَ ثَقَفِيًّا لَعَلِمْتَ مَا يَعْمَلُ عُمَّالُكَ ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيْنَا فَقَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا عَمِلَ مَعَ عُمَّالِهِ فِيْ دَارِهِ – وَقَالَ أَبُوْ عَاصِمٍ مَرَّةً : فِيْ مَالِهِ – كَانَ عَامِلاً مِنْ عُمَّالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
"Dia pernah mendengar Abdullah bin Amer -radhiyallahu anhu- berkata kepada keponakannya yang telah keluar dari kebunnya, "Apakah para pekerjamu sedang bekerja?" Keponakannya berkata, "Aku tak tahu". Beliau berkata, "Ingatlah, andaikan engkau adalah orang Tsaqif, maka engkau akan tahu tentang sesuatu yang dikerjakan oleh para pekerjamu". Kemudian beliau menoleh kepada kami seraya beliau berkata, "Sesungguhnya seseorang bila bekerja bersama para pekerjanya di kampungnya atau hartanya, maka ia adalah pekerja diantara pekerja-pekerja Allah -Azza wa Jalla-". [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (448). Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kan hadits ini dalam Shohih Al-Adab (hal. 154)]
Amer bin Dinar -rahimahullah- berkata,
عَنْ عَمْرٍو قَالَ: دَخَلَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فِيْ حَائِطٍ لَهُ بِالطَّائِفِ يُقَالُ لَهُ الْوَهْطُ, فِيْهِ أَلْفُ أَلْفِ خَشَبَةٍ اِشْتَرَى كُلَّ خَشَبَةٍ بِدِرْهَمٍ –يَعْنِيْ: يُقِيْمُ بِهِ اْلأَعْنَابَ- [أخرجه ابن عساكر في تاريخ دمشق - (ج 46 / ص 182)]
"Amer bin Al-Ash pernah masuk ke dalam suatu kebun miliknya di Tho’if yang dinamai dengan "Al-Wahthu". Di dalamnya terdapat satu juta batang kayu. Beliau telah membeli setiap kayu dengan harga satu dirham. Maksudnya, beliau menegakkan dengannya batang-batang anggur". [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (46/182)]
Para pembaca yang budiman, perhatikanlah sahabat Amer bin Al-Ash telah berani berkorban demi memelihara tanaman-tanaman yang terdapat dalam kebunnya. Semua ini menunjukkan kepada kita tentang semangat para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam melaksanakan perintah dan anjuran beliau dalam menghijaukan lingkungan. Maka contohlah mereka dalam perkara ini, niscaya kalian mendapatkan keutamaan sebagaimana yang mereka dapatkan. Namun satu hal perlu kita ingat bahwa usaha dan program penghijauan seperti ini terpuji selama tidak melalaikan kita dari kewajiban, seperti jihad, sholat berjama’ah, mengurusi anak dan keluarga atau kewajiban-kewajiban lainnya. Jika melalaikan, maka hal itu tercela!!!
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 121 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/akhlak/go-green-sebuah-amal-jariyah.html
Penulis: Buletin Jum’at At-Tauhid
Dekad terakhir ini,Aktivis Alam,Mahasiswa Universiti,pemerintah,Pensyarah-pensyarah terus melancarkan program penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana kita akan melihat pengakuan dan promosi penghijauan, baik melalui media visual, mahupun audio-visual. Promosi ini banyak diadakan di sudut-sudut jalan, dan pelekat-pelekat di kereta dan lainnya yang mengajak kita menyukseskan program tersebut.Di USM sendiri melancarkan pelbagai Program kehijauan seperti The White Coffin,No Plastik Bags,Eco-Desa Saujana,penanaman semula,Durian Valley untuk menjada ekosistem alam kita.
Sebahagian orang menyangka bahwa program penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapatkan pahala di sisi Allah, sehingga ada diantara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung program tersebut. Demi menepis persangkaan yang salah ini, kali ini kami akan mengulas PENTINGNYA PENGHIJAUAN menurut tuntunan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- beserta dalil-dalilnya.
Para pembaca yang budiman, mungkin anda masih mengingat sebuah hadits yang masyhur dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, beliau bersabda,
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendo’akan kebaikan baginya". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Washiyyah (4199)]
Perhatikan, satu diantara perkara yang tiddak akan terputus amalannya bagi seorang manusia, walaupun dia telah meninggal dunia adalah SEDEKAH JARIYAH, sedekah yang terus mengalir pahalanya bagi seseorang.
Para ahli ilmu menyatakan bahawa sedekah jariyah memiliki banyak macam dan jalannya, seperti membuat perigi umum, membangun masjid, membuat jalan atau jembatan, menanam tumbuhan baik berupa pohon, biji-bijian atau tanaman ladang, dan lainnya.
Jadi, menghijaukan lingkungan dengan tanaman yang kita tanam merupakan sedekah dan amal jariyah bagi kita –walau telah meninggal- selama tanaman itu tumbuh atau berketurunan.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau haiwan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah kerananya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab AL-Muzaro'ah (2320), dan Muslim dalam Kitab Al-Musaqoh (3950)]
Al-Imam Ibnu Baththol -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Ini menunjukkan bahwa sedekah untuk semua jenis haiwan dan makhluk bernyawa di dalamnya terdapat pahala". [Lihat Syarh Ibnu Baththol (11/473)]
Seorang muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah -Azza wa Jalla-, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan haiwan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ
"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya" . [HR. Muslim dalam Al-Musaqoh (3945)]
Al-Imam Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy -rahimahullah- berkata menjelaskan faedah-faedah dari hadits yang mulia ini, "Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan menanam pohon dan tanaman, bahawa pahala pelakunya akan terus berjalan (mengalir) selama pohon dan tanaman itu ada, serta sesuatu yang lahir daripadanya sampai hari kiamat masih ada. Para ulama berselisih pendapat tentang pekerjaan yang paling baik dan paling afdhol. Ada yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah perniagaan. Ada yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah kerajinan tangan. Ada juga yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah bercocok tanam. Inilah pendapat yang benar. Aku telah memaparkan penjelasannya di akhir bab Al-Ath’imah dari kitab Syarh Al-Muhadzdzab. Di dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala dan ganjaran di akhirat hanyalah khusus bagi kaum muslimin, dan bahwa seorang manusia akan diberi pahala atas sesuatu yang dicuri dari hartanya, atau dirusak oleh hewan, atau burung atau sejenisnya". [Lihat Al-Minhaj (10/457) oleh An-Nawawiy, cet. Dar Al-Ma'rifah, 1420 H]
Pahala sedekah yang dijanjikan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits ini akan diraih oleh orang yang menanam, walapun ia tidak meniatkan tanamannya yang diambil atau dirusak orang dan haiwan sebagai sedekah.
Al-Hafizh Abdur Rahman Ibnu Rajab Al-Baghdadiy -rahimahullah- berkata, "Lahiriah hadits-hadits ini seluruhnya menunjukkan bahwa perkara-perkara ini merupakan sedekah yang akan diberi ganjaran pahala bagi orang yang menanamnya, tanpa perlu maksud dan niat". [Lihat Iqozh Al-Himam Al-Muntaqo min Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam (hal. 360) oleh Salim Al-Hilaliy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]
Penghijauan merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia dan untuk membantu kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu boleh menjadi naungan bagi manusia dan haiwan yang lewat, buah dan daunnya terkadang boleh dimakan, batangnya boleh dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya boleh mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya boleh menyejukkan pandangan bagi orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung daripada gangguan tiupan angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi pencemaran udara, dan masih banyak lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran sempit ini.
Jika demikian banyak manfaat dari penghijuan, maka tidak hairan jika agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits lainnya, seperti beliau pernah bersabda,
إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
"Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang diantara kalian terdapat bibit pohon korma; jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/183, 184, dan 191), Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2068), dan Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (479). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 9)]
Ahli Hadits Abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata saat memetik faedah dari hadits-hadits di atas, "Tidak ada sesuatu (yakni, dalil) yang paling kuat menunjukkan anjuran bercocok tanam sebagaimana dalam hadits-hadits yang mulia ini, terlebih lagi hadits yang terakhir diantaranya, kerana di dalamnya terdapat targhib (dorongan) besar untuk menggunakan kesempatan terakhir dari kehidupan seseorang dalam rangka menanam sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia setelah ia (si penanam) meninggal dunia. Maka pahalanya terus mengalir, dan dituliskan sebagai pahala baginya sampai hari kiamat". [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/1/38)]
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak mungkin memerintahkan suatu perkara kepada umatnya dalam kondisi yang genting dan sempit seperti itu, kecuali kerana perkara itu amat penting, dan besar manfaatnya bagi seorang manusia. Semua ini menunjukkan tentang keutamaan "Go Green" alias program penghijauan yang digalakkan oleh pemerintah kita –semoga Allah memberikan balasan kebaikan bagi mereka-.
Betapa besarnya manfaat peghijauan, tanah yang dahulu kering kontang boleh berubah menjadi tanah subur. Sungai yang dahulu gersang, dengan penghijauan boleh berubah menjadi berair.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda dalam sebuah yang shohih,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَعُودَ أَرْضُ الْعَرَبِ مُرُوجًا وَأَنْهَارًا
"Tak akan tegak hari kiamat sampai tanah Arab menjadi tanah subur, dan sungai-sungai". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/370 & 417), dan Muslim dalam Kitab Ash-Shodaqoh (2336)]
Ketika para sahabat mendengarkan hadits-hadits ini, maka mereka berlomba-lomba dan saling mendorong untuk melakukan program penghijauan ini, karena ingin mendapatkan keutamaan dari Allah -Azza wa Jalla- di dunia dan di akhirat berupa ganjaran pahala.
Para pembaca yang budiman, jika kita mau membuka sebagian kitab-kitab hadits yang berisi keterangan dan petunjuk jalan hidup para salaf (pendahulu) kita dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, maka kita akan mendapatkan manusia-manusia yang memiliki semangat dalam menggalakkan perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam perkara ini.
Seorang tabi’in yang bernama Umaroh bin Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshoriy Al-Madaniy -rahimahullah- berkata,
سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُوْلُ لأَبِيْ : مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَغْرِسَ أَرْضَكَ ؟ فَقَالَ لَهُ أَبِيْ : أَنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ أَمُوْتُ غَدًا ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : أَعْزِمْ عَلَيْكَ لَتَغْرِسَنَّهَا, فَلَقَدْ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَغْرِسُهَا بِيَدِهِ مَعَ أَبِيْ
"Aku pernah mendengarkan Umar bin Khoththob berkata kepada bapakku, "Apa yang menghalangi dirimu untuk menanami tanahmu?" Bapakku berkata kepada beliau, "Aku adalah orang yang sudah tua, akan mati besok". Umar berkata kepadanya, "Aku mengharuskan engkau (menanamnya). Engkau harus menanamnya!" Sungguh aku melihat Umar bin Khoththob menanamnya dengan tangannya bersama bapakku". [HR. Ibnu Jarir Ath-Thobariy sebagaimana dalam Ash-Shohihah (1/1/39)]
Al-Imam Al-Bukhoriy -rahimahullah- meriwayatkan sebuah atsar dari Nafi’ bin Ashim bahwa,
أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ لابْنِ أَخٍ لَهُ خَرَجَ مِنَ الْوَهْطِ : أَيَعْمَلُ عُمَّالُكَ ؟ قَالَ : لاَ أَدْرِيْ ، قَالَ : أَمَا لَوْ كُنْتَ ثَقَفِيًّا لَعَلِمْتَ مَا يَعْمَلُ عُمَّالُكَ ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيْنَا فَقَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا عَمِلَ مَعَ عُمَّالِهِ فِيْ دَارِهِ – وَقَالَ أَبُوْ عَاصِمٍ مَرَّةً : فِيْ مَالِهِ – كَانَ عَامِلاً مِنْ عُمَّالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
"Dia pernah mendengar Abdullah bin Amer -radhiyallahu anhu- berkata kepada keponakannya yang telah keluar dari kebunnya, "Apakah para pekerjamu sedang bekerja?" Keponakannya berkata, "Aku tak tahu". Beliau berkata, "Ingatlah, andaikan engkau adalah orang Tsaqif, maka engkau akan tahu tentang sesuatu yang dikerjakan oleh para pekerjamu". Kemudian beliau menoleh kepada kami seraya beliau berkata, "Sesungguhnya seseorang bila bekerja bersama para pekerjanya di kampungnya atau hartanya, maka ia adalah pekerja diantara pekerja-pekerja Allah -Azza wa Jalla-". [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (448). Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kan hadits ini dalam Shohih Al-Adab (hal. 154)]
Amer bin Dinar -rahimahullah- berkata,
عَنْ عَمْرٍو قَالَ: دَخَلَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فِيْ حَائِطٍ لَهُ بِالطَّائِفِ يُقَالُ لَهُ الْوَهْطُ, فِيْهِ أَلْفُ أَلْفِ خَشَبَةٍ اِشْتَرَى كُلَّ خَشَبَةٍ بِدِرْهَمٍ –يَعْنِيْ: يُقِيْمُ بِهِ اْلأَعْنَابَ- [أخرجه ابن عساكر في تاريخ دمشق - (ج 46 / ص 182)]
"Amer bin Al-Ash pernah masuk ke dalam suatu kebun miliknya di Tho’if yang dinamai dengan "Al-Wahthu". Di dalamnya terdapat satu juta batang kayu. Beliau telah membeli setiap kayu dengan harga satu dirham. Maksudnya, beliau menegakkan dengannya batang-batang anggur". [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (46/182)]
Para pembaca yang budiman, perhatikanlah sahabat Amer bin Al-Ash telah berani berkorban demi memelihara tanaman-tanaman yang terdapat dalam kebunnya. Semua ini menunjukkan kepada kita tentang semangat para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam melaksanakan perintah dan anjuran beliau dalam menghijaukan lingkungan. Maka contohlah mereka dalam perkara ini, niscaya kalian mendapatkan keutamaan sebagaimana yang mereka dapatkan. Namun satu hal perlu kita ingat bahwa usaha dan program penghijauan seperti ini terpuji selama tidak melalaikan kita dari kewajiban, seperti jihad, sholat berjama’ah, mengurusi anak dan keluarga atau kewajiban-kewajiban lainnya. Jika melalaikan, maka hal itu tercela!!!
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 121 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/akhlak/go-green-sebuah-amal-jariyah.html
Thursday, February 18, 2010
Sillaturrahim,Keindahan Akhlak Islami.
Penulis : Al-Ustadz Abu ‘Awanah Jauhari, Lc
Disunting:Ummu Syauqina Nurharyati Husna
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Mukadimah
Syariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merosak hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya.
Silaturahim adalah resepi mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin ‘Abasah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: أَرْسَلَنِي بِصِلَةِ الْأَرْحَامِ وَكَسْرِ الْأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللهُ لاَ يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ
Aku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam ‘Amr bin ‘Abasah, no. 1927)
An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (‘Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)
Makna Silaturahim
Silaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ- يَصِلُ , yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ – الْاِتِّصَالُ yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)
Adapun kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)
Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.
Penjelasan Ayat
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka AllahSubhanahu wa Ta’ala mengatakan:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”
Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.
Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan,iaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.
وَبِذِي الْقُرْبَى
“(Dan kepada) karib kerabat.”
Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
وَالْيَتَامَى
“(Dan kepada) anak-anak yatim.”
Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.
وَالْمَسَاكِينِ
“(Dan kepada) orang-orang miskin.”
Iaitu orang-orang yang tertahan dengan keperluan mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى
“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”
Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.
Demikian juga dengan:
وَالْجَارِ الْجُنُبِ
“Tetangga yang jauh.”
Iaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ
“(Dan kepada) teman sejawat.”
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan, serta istri.
Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.
وَابْنِ السَّبِيلِ
“(Dan kepada) ibnu sabil.”
iaitu orang asing di negeri lain, yang memerlukan bantuan material ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.
وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“(Dan kepada) hamba sahayamu.”
Iaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka.
Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan ucapannya.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong….”
Maksudnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَخُورًا
“…dan membangga-banggakan diri.”
Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)
Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu)
Targhib (Motivasi)
Allah Subhanahu wa Ta’ala melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut adalah:
1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Ra’d: 21)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menyatakan:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”
Ini umum meliputi semua perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus Salam)
Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ. جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ(23)سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
“Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu:
يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ. فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)
2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda.
Dari Salman bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
الصَّدَقَةُ عَلىَ الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkannya)
3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)
Tarhib (Ancaman)
Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:
1. Laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali silaturahim
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam surat Ar-Ra’d ayat 25:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قَالَ سُفْيَانُ فِي رِوَايَتِهِ: يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)
2. Dijadikan buta dan tuli
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)
Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ. قاَلَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلىَ. قَالَ: فَذَلِكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَؤُوا إِنْ شِئْتُمْ: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan: ‘Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari diputus hubungan.’ Allah mengatakan: ‘Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu?’ Ar-Rahim mengatakan: ‘Ya.’ Allah menyatakan: ‘Itu bagimu’.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah bila kalian mau:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no. 2554]
3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)
Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar Membalas
Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya –misalnya– tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}
Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)
Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلِمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ. فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيٌر عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathi’atiha, no. 6472)
Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan: “Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”
Abul Fida` Ismail bin Katsir rahimahullahu menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan:
قَدِمَتْ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ …. فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
“Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ya, berbuat baiklah kepada ibumu’.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)
Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya.
Wallahul hadi ila sawa`is sabil.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=725
Disunting:Ummu Syauqina Nurharyati Husna
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Mukadimah
Syariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merosak hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya.
Silaturahim adalah resepi mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin ‘Abasah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: أَرْسَلَنِي بِصِلَةِ الْأَرْحَامِ وَكَسْرِ الْأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللهُ لاَ يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ
Aku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam ‘Amr bin ‘Abasah, no. 1927)
An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (‘Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)
Makna Silaturahim
Silaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ- يَصِلُ , yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ – الْاِتِّصَالُ yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)
Adapun kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)
Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.
Penjelasan Ayat
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka AllahSubhanahu wa Ta’ala mengatakan:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”
Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.
Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan,iaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.
وَبِذِي الْقُرْبَى
“(Dan kepada) karib kerabat.”
Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
وَالْيَتَامَى
“(Dan kepada) anak-anak yatim.”
Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.
وَالْمَسَاكِينِ
“(Dan kepada) orang-orang miskin.”
Iaitu orang-orang yang tertahan dengan keperluan mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى
“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”
Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.
Demikian juga dengan:
وَالْجَارِ الْجُنُبِ
“Tetangga yang jauh.”
Iaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ
“(Dan kepada) teman sejawat.”
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan, serta istri.
Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.
وَابْنِ السَّبِيلِ
“(Dan kepada) ibnu sabil.”
iaitu orang asing di negeri lain, yang memerlukan bantuan material ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.
وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“(Dan kepada) hamba sahayamu.”
Iaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka.
Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan ucapannya.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong….”
Maksudnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَخُورًا
“…dan membangga-banggakan diri.”
Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)
Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu)
Targhib (Motivasi)
Allah Subhanahu wa Ta’ala melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut adalah:
1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Ra’d: 21)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menyatakan:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”
Ini umum meliputi semua perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus Salam)
Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ. جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ(23)سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
“Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu:
يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ. فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)
2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda.
Dari Salman bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
الصَّدَقَةُ عَلىَ الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkannya)
3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)
Tarhib (Ancaman)
Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:
1. Laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali silaturahim
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam surat Ar-Ra’d ayat 25:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قَالَ سُفْيَانُ فِي رِوَايَتِهِ: يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)
2. Dijadikan buta dan tuli
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)
Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ. قاَلَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلىَ. قَالَ: فَذَلِكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَؤُوا إِنْ شِئْتُمْ: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan: ‘Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari diputus hubungan.’ Allah mengatakan: ‘Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu?’ Ar-Rahim mengatakan: ‘Ya.’ Allah menyatakan: ‘Itu bagimu’.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah bila kalian mau:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no. 2554]
3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)
Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar Membalas
Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya –misalnya– tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}
Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)
Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلِمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ. فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيٌر عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathi’atiha, no. 6472)
Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan: “Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”
Abul Fida` Ismail bin Katsir rahimahullahu menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan:
قَدِمَتْ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ …. فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
“Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ya, berbuat baiklah kepada ibumu’.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)
Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya.
Wallahul hadi ila sawa`is sabil.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=725
Wednesday, February 17, 2010
Amalan Sunnah Solat Malam...
SUNNAH-SUNNAH DALAM SHALAT MALAM
Oleh
Syaikh Khalid al Husainan
http://www.almanhaj.or.id/content/2099/slash/0
Disunting bahasanya oleh:Ummu Syauqina Nurharyati Husna
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa bulan muharram dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat lail.” [Hadits Riayat. Muslim no. 1163]
[a]. Sebaik-baik jumlah raka’at dalam shalat lail adalah sebelas raka’at atau tiga belas raka’at dengan pengerjaan shalat yang lama. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat lail sebanyak 11 raka’at, maka yang demikian itu adalah shalat beliau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1147]
Riwayat yang lain menyebutkan.
“Artinya : Rasulullah shalat malam sebanyak 13 raka’at” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764]
[b]. Disunnahkan bagi orang yang mengerjakan shalat lail untuk bersiwak dan membaca ayat-ayat terakhir dari surat Ali Imran mulai dari firman Allah
“Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumu dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [ Ali Imran : 190]
Dibaca sampai akhir surat
[c]. Disunnahkan kepada orang yang mengerjakan shalat malam untuk berdoa dengan doa yang shahih yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ya Allah, bagiMu segala puji, Engkaulah Penegak langit dan bumi dan segala isinya. BagiMu segala puji, milikMu kerajaan langit dan bumi serta segala isinya. bagiMu segala puji (Engkau) Pemberi cahaya langit dan bumi (serta segala isinya). bagiMu segala puji, Engkau penguasa langit dan bumi. bagiMu segala puji Engkau lah Yang Mahabenar, janji-Mu itu benar adanya dan pertemuan dengan-Mu itu benar adanya. FirmanMu itu benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Nabi Muhammad itu benar (utusanMu), kiamat itu benar adanya. Ya Allah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku kembali, kepadaMu aku mengadu dan kepadaMu aku berhukum. Ampunilah dosaku di masa lalu, masa yang akan datang, yang tersebunyi serta yang nampak (Karena Engkau adalah Maha Mengetahui itu daripada aku). Engkau lah Yang terdahulu dan Yang terakhir (Engkau Tuhanku) dan tidak ada Tuhan kecuali Engkau atau tidak ada Tuhan (bagiku) kecuali Engkau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1120, 6317, 7385 dan Muslim no. 2717]
[d]. Sunnah memulai shalat lail dengan dua raka’at yang ringan (pendek). Hal itu dilakukan hingga datangnya semangat untuk memanjangkan raka’atnya setelah dua rakaat yang pendek tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Apabila salah seorang diantara kalian mendirikan shalat lail hendaklah membuka shalatnya dengan shalat dua raka’at yang ringan (surat-surat yang dibaca pendek. Pent) [Hadits Riwayat. Muslim no. 768]
[e]. Merupakan sunnah, memulai shalat malam dengan doa yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang Nasrani dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki” [Hadits Riwayat. Muslim no. 770, Abu Dawud no. 767, Ibnu Majah no. 1357]
[f]. Disunnahkan untuk mempanjangkan shalat malam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Shalat apakah yang paling baik?” Rasulullah menjawab : “Yang panjang qunutnya (lama berdirinya)” [Hadits Riwayat. Muslim no.756]
Yang dimaksud qunut[1] adalah berdiri yang lama
[g]. Disunnahkan untuk bertaawudz (minta perlindungan kepada Allah) ketika membaca ayat tentang adzab dengan ucapan:
“Aku berlindung kepada Allah dari Adzab Allah”
Dan memohon rahmat kepada Allah ketika membaca ayat tentang permohonan dengan ucapan
“Ya Allah aku meminta kepadaMu dari karuniaMu”
Dan bertasbih ketika membaca ayat-ayat yang mengandung pujian tentang keMahasucian Allah.
Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat) dengan tartil apabila beliau melewati satu ayat tasbih maka beliaupun membaca tasbih. Apabila melewati ayat permohonan(tentang rahmat,-ed) maka beliaupun memohon. Dan apabila melewati ayat memohon perlindungan, maka beliaupun memohon perlindungan (bertaawudz)…” [Hadits Riwyat. Muslim no. 772]
Sebab-sebab agar mendapatkan kemudahan untuk shalat malam
[a]. Berdoa
[b]. Menjauh kan (diri) dari begadang
[c]. Tidur di siang harinya
[d]. Meninggalkan kemaksiyatan
[e]. erkeinginan diri yang kuat untuk melakukan shalat malam
Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
_________
Foote Note
[1]. Qunut dalam hadits itu memiliki banyak arti berdasarkan banyak riwayat. Dalam Hadyus Saari Muqaddimah dari Fathul Baari oleh Ibnu Hajar hal. 305 (Cet. Daar Abi Hayyaan) pasal Qaf Nun disebutkan tentang makna qunut antara lain do’a, berdiri, tenang, diam, ketaatan, shalat, kekhusu’an, ibadah, dan memperpanjang berdiri. Pent.
Oleh
Syaikh Khalid al Husainan
http://www.almanhaj.or.id/content/2099/slash/0
Disunting bahasanya oleh:Ummu Syauqina Nurharyati Husna
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa bulan muharram dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat lail.” [Hadits Riayat. Muslim no. 1163]
[a]. Sebaik-baik jumlah raka’at dalam shalat lail adalah sebelas raka’at atau tiga belas raka’at dengan pengerjaan shalat yang lama. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat lail sebanyak 11 raka’at, maka yang demikian itu adalah shalat beliau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1147]
Riwayat yang lain menyebutkan.
“Artinya : Rasulullah shalat malam sebanyak 13 raka’at” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764]
[b]. Disunnahkan bagi orang yang mengerjakan shalat lail untuk bersiwak dan membaca ayat-ayat terakhir dari surat Ali Imran mulai dari firman Allah
“Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumu dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [ Ali Imran : 190]
Dibaca sampai akhir surat
[c]. Disunnahkan kepada orang yang mengerjakan shalat malam untuk berdoa dengan doa yang shahih yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ya Allah, bagiMu segala puji, Engkaulah Penegak langit dan bumi dan segala isinya. BagiMu segala puji, milikMu kerajaan langit dan bumi serta segala isinya. bagiMu segala puji (Engkau) Pemberi cahaya langit dan bumi (serta segala isinya). bagiMu segala puji, Engkau penguasa langit dan bumi. bagiMu segala puji Engkau lah Yang Mahabenar, janji-Mu itu benar adanya dan pertemuan dengan-Mu itu benar adanya. FirmanMu itu benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Nabi Muhammad itu benar (utusanMu), kiamat itu benar adanya. Ya Allah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku kembali, kepadaMu aku mengadu dan kepadaMu aku berhukum. Ampunilah dosaku di masa lalu, masa yang akan datang, yang tersebunyi serta yang nampak (Karena Engkau adalah Maha Mengetahui itu daripada aku). Engkau lah Yang terdahulu dan Yang terakhir (Engkau Tuhanku) dan tidak ada Tuhan kecuali Engkau atau tidak ada Tuhan (bagiku) kecuali Engkau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1120, 6317, 7385 dan Muslim no. 2717]
[d]. Sunnah memulai shalat lail dengan dua raka’at yang ringan (pendek). Hal itu dilakukan hingga datangnya semangat untuk memanjangkan raka’atnya setelah dua rakaat yang pendek tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Apabila salah seorang diantara kalian mendirikan shalat lail hendaklah membuka shalatnya dengan shalat dua raka’at yang ringan (surat-surat yang dibaca pendek. Pent) [Hadits Riwayat. Muslim no. 768]
[e]. Merupakan sunnah, memulai shalat malam dengan doa yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang Nasrani dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki” [Hadits Riwayat. Muslim no. 770, Abu Dawud no. 767, Ibnu Majah no. 1357]
[f]. Disunnahkan untuk mempanjangkan shalat malam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Shalat apakah yang paling baik?” Rasulullah menjawab : “Yang panjang qunutnya (lama berdirinya)” [Hadits Riwayat. Muslim no.756]
Yang dimaksud qunut[1] adalah berdiri yang lama
[g]. Disunnahkan untuk bertaawudz (minta perlindungan kepada Allah) ketika membaca ayat tentang adzab dengan ucapan:
“Aku berlindung kepada Allah dari Adzab Allah”
Dan memohon rahmat kepada Allah ketika membaca ayat tentang permohonan dengan ucapan
“Ya Allah aku meminta kepadaMu dari karuniaMu”
Dan bertasbih ketika membaca ayat-ayat yang mengandung pujian tentang keMahasucian Allah.
Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat) dengan tartil apabila beliau melewati satu ayat tasbih maka beliaupun membaca tasbih. Apabila melewati ayat permohonan(tentang rahmat,-ed) maka beliaupun memohon. Dan apabila melewati ayat memohon perlindungan, maka beliaupun memohon perlindungan (bertaawudz)…” [Hadits Riwyat. Muslim no. 772]
Sebab-sebab agar mendapatkan kemudahan untuk shalat malam
[a]. Berdoa
[b]. Menjauh kan (diri) dari begadang
[c]. Tidur di siang harinya
[d]. Meninggalkan kemaksiyatan
[e]. erkeinginan diri yang kuat untuk melakukan shalat malam
Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
_________
Foote Note
[1]. Qunut dalam hadits itu memiliki banyak arti berdasarkan banyak riwayat. Dalam Hadyus Saari Muqaddimah dari Fathul Baari oleh Ibnu Hajar hal. 305 (Cet. Daar Abi Hayyaan) pasal Qaf Nun disebutkan tentang makna qunut antara lain do’a, berdiri, tenang, diam, ketaatan, shalat, kekhusu’an, ibadah, dan memperpanjang berdiri. Pent.
Monday, February 15, 2010
Maulid itu bukan Sunnah..
Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah
Penyunting:Ummu Syauqina Nurharyati Husna
Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahawa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk cinta kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga dia mencintai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anak-anaknya, bahkan seluruh manusia. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
"Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia." [HR. Bukhariy (15), dan Muslim (44)]
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -hafizhahullah- berkata, "Hadits ini memberikan faedah kepada kita bahawasanya keimanan tidak akan sempurna hingga seseorang mencintai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusdia." [Lihat Minhajul Firqatun Najiyah (hal. 111)]
Setelah kita mengetahui hal ini, lalu bagaimana cara mencintai Nabi-Shollallahu ‘alaihi wasallam-? Cinta kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah dengan mengikuti syari’at beliau. Tidaklah dibenarkan bagi seseorang untuk mengada-adakan suatu perkara baru dalam syariat beliau, dengan anggapan hal tersebut boleh mendekatkan diri kepada Allah atau suatu bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , atau itu adalah bid’ah hasanah. Padahal semua bid’ah dalam agama adalah sesat dan buruk !!
Di edisi kali ini, kami akan bawakan fatwa ulama besar berkenaan dengan perkara yang dianggap oleh sebagian orang merupakan bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, padahal perkara tersebut tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at yang mulia ini dan bukan pula bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (mantan mufti di sebuah negeri Timur Tengah), ditanya tentang hukum perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Syaikh bin Baaz-rahimahullah- menjawab, "Tidaklah dibenarkan seorang merayakan hari lahir (maulid) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan hari kelahiran lainnya, kerana hal tersebut termasuk bid’ah yang baru diada-adakan dalam agama. Padahal sesungguhnya Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , para Khalifah Ar-Rasyidin dan selainnya dari kalangan sahabat tidak pernah melakukan perayaan tersebut dan tidak pula para tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan di zaman yang utama lagi terbaik. Mereka adalah manusdia yang paling tahu tentang Sunnah, paling sempurna cintanya kepada Nabi dan ittiba’-nya (keteladanannya) terhadap syariat beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka.
Telah shahih (sebuah hadits) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]
Beliau juga bersabda, "Wajib atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah ar rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah dia kuat-kuat dan gigit dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan, kerana semua perkara baru itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat." [Abu Dawud (4617), At-Tirmidziy (2676), dan Ibnu Majah (42). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shahih Al-Jami’ (2546)]
Jadi, dalam dua hadits yang muldia ini terdapat peringatan yang keras dari berbuat bid’ah dan mengamalkannya. Allah -Ta’ala- berfirman,
"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya ." (QS. Al-Hasyr :7).
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS.An-Nur :63).
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS.Al-Ahzab :21).
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS.Al-Maidah :3).
Membuat perkara baru -semacam maulid- ini akan memberikan sangkaan bahawa Allah -Ta’ala- belum menyempurnakan agama untuk umat ini, dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- belum menyampaikan kepada umatnya apa yang pantas untuk mereka amalkan, sehingga datanglah orang-orang belakangan ini membuat-buat perkara baru dalam syariat Allah apa yang tidak diridhoi Allah, dengan sangkaan hal tersebut boleh mendekatkan diri mereka kepada Allah. Padahal perkara ini –tanpa ada keraguan- adalah bahaya yang sangat besar, termasuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal sungguh Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya; Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah menyampaikan syariat ini dengan terang dan jelas. Beliau tidaklah meninggalkan suatu jalan yang boleh mengantarkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah sampaikan kepada umatnya, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari sahabat Abdullah bin Amer -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ, وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kebaikan atas umatnya apa yang dia telah ketahui bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang dia ketahui bagi mereka." [HR.Muslim dalam Shohih-nya (1844)]
Suatu hal yang dimaklumi bersama, Nabi kita -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah Nabi yang paling utama, penutup para nabi dan yang paling sempurna penyampaiannya dan nasihatnya. Andaikata perayaan maulid ini termasuk agama yang diridhoi Allah, niscaya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- akan jelaskan kepada umatnya atau pernah melaksanakannya atau setidaknya para sahabat pernah melakukannya. Akan tetapi, tatkala hal tersebut tidak pernah sama sekali mereka lakukan, maka diketahuilah hal tersebut bukanlah dari Islam sedikit pun juga, bahkan ddia termasuk dari perkara-perkara baru yang telah diperingatkan bahayanya oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam dua hadits yang tersebut di atas. Hadits-hadits lain yang semakna dengannya telah datang (dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-), seperti sabda beliau dalam khutbah jum’at:
أََمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, sejelek-jeleknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat." [HR.Muslim Shohih-nya (867)]
Demikian fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah-, Anda boleh lihat dalam kitab Majmu’ Fatawa As-Syaikhbin Baz (1/183), dan Al-Bida’ wal Muhdatsat (hal 619-621).
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz juga ditanya, "Apa hukum menyampaikan nasihat atau ceramah pada hari maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-?
Syaikh bin Baaz menjawab, "Amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia, menjelaskan kepada mereka tentang agama mereka, dan memberikan nasihat kepada mereka dengan sesuatu yang boleh melembutkan hati mereka adalah perkara yang disyariatkan pada setiap waktu, kerana adanya perintah untuk perkara tersebut datang secara mutlak, tanpa ada pengkhususan waktu tertentu.
Allah -Ta’ala-berfirman,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS.Al-Maidah : 104).
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Serulah (manusdia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.An-Nahl :125).
Allah juga menjelaskan keadaan orang-orang munafik dan sikap para da’i (penyeru) di antara mereka,
"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri. Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Kerana itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang berbekas pada jiwa mereka." (QS. An-Nisa’: 61-63); dan ayat-ayat lain.
Jadi, Allah memerintahkan untuk berdakwah dan memberikan nasihat secara mutlak, tidak mengkhususkannya pada waktu tertentu. Sekalipun nasihat dan bimbingan ini semakin ddianjurkan ketika ada tuntutan kepadanya, seperti khutbah Jum’at dan hari Ied, kerana warid (datang)-nya hal tersebut dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .Demikdian pula ketika melihat suatu kemungkaran, ini berdasarkan sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
"Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." [HR.Muslim (49)]
Adapun pada hari maulid, maka di dalamnya tidak boleh ada suatu pengkhususan dengan suatu ibadah tertentu yang boleh mendekatkan diri kepada-Nya, adanya nasihat, bimbingan, pembacaan kisah maulid, kerana Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah mengkhususkan hal tersebut dengan perkara-perkara tersebut. Andaikan hal tersebut baik, niscaya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pantas untuk (melakukan) hal tersebut. Akan tetapi nyatanya beliau tidak pernah melakukannya. Menunjukkan bahawa adanya pengkhususan-pengkhususan tersebut dengan ceramah, pembacaan kisah maulid atau selainnya termasuk perkara-perkara bid’ah. Telah shahih dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahawa beldiau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]
Demikian pula halnya para sahabat, mereka tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah dan paling bersemangat untuk mengamalkannya". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (5591), dan Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa ma laa Ashla lahu (628-630)]
Jadi, maulid bukanlah sarana syar’i dalam beribadah dan mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi dia adalah ajaran baru yang disusupkan oleh para pelaku bid’ah dan kebatilan . Bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H.
Ulama’ bermadzhab Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, "Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357 – 567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-".
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 79 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/?p=321
Penyunting:Ummu Syauqina Nurharyati Husna
Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahawa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk cinta kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga dia mencintai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anak-anaknya, bahkan seluruh manusia. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
"Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia." [HR. Bukhariy (15), dan Muslim (44)]
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -hafizhahullah- berkata, "Hadits ini memberikan faedah kepada kita bahawasanya keimanan tidak akan sempurna hingga seseorang mencintai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusdia." [Lihat Minhajul Firqatun Najiyah (hal. 111)]
Setelah kita mengetahui hal ini, lalu bagaimana cara mencintai Nabi-Shollallahu ‘alaihi wasallam-? Cinta kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah dengan mengikuti syari’at beliau. Tidaklah dibenarkan bagi seseorang untuk mengada-adakan suatu perkara baru dalam syariat beliau, dengan anggapan hal tersebut boleh mendekatkan diri kepada Allah atau suatu bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , atau itu adalah bid’ah hasanah. Padahal semua bid’ah dalam agama adalah sesat dan buruk !!
Di edisi kali ini, kami akan bawakan fatwa ulama besar berkenaan dengan perkara yang dianggap oleh sebagian orang merupakan bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, padahal perkara tersebut tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at yang mulia ini dan bukan pula bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (mantan mufti di sebuah negeri Timur Tengah), ditanya tentang hukum perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Syaikh bin Baaz-rahimahullah- menjawab, "Tidaklah dibenarkan seorang merayakan hari lahir (maulid) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan hari kelahiran lainnya, kerana hal tersebut termasuk bid’ah yang baru diada-adakan dalam agama. Padahal sesungguhnya Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , para Khalifah Ar-Rasyidin dan selainnya dari kalangan sahabat tidak pernah melakukan perayaan tersebut dan tidak pula para tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan di zaman yang utama lagi terbaik. Mereka adalah manusdia yang paling tahu tentang Sunnah, paling sempurna cintanya kepada Nabi dan ittiba’-nya (keteladanannya) terhadap syariat beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka.
Telah shahih (sebuah hadits) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]
Beliau juga bersabda, "Wajib atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah ar rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah dia kuat-kuat dan gigit dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan, kerana semua perkara baru itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat." [Abu Dawud (4617), At-Tirmidziy (2676), dan Ibnu Majah (42). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shahih Al-Jami’ (2546)]
Jadi, dalam dua hadits yang muldia ini terdapat peringatan yang keras dari berbuat bid’ah dan mengamalkannya. Allah -Ta’ala- berfirman,
"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya ." (QS. Al-Hasyr :7).
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS.An-Nur :63).
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS.Al-Ahzab :21).
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS.Al-Maidah :3).
Membuat perkara baru -semacam maulid- ini akan memberikan sangkaan bahawa Allah -Ta’ala- belum menyempurnakan agama untuk umat ini, dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- belum menyampaikan kepada umatnya apa yang pantas untuk mereka amalkan, sehingga datanglah orang-orang belakangan ini membuat-buat perkara baru dalam syariat Allah apa yang tidak diridhoi Allah, dengan sangkaan hal tersebut boleh mendekatkan diri mereka kepada Allah. Padahal perkara ini –tanpa ada keraguan- adalah bahaya yang sangat besar, termasuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal sungguh Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya; Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah menyampaikan syariat ini dengan terang dan jelas. Beliau tidaklah meninggalkan suatu jalan yang boleh mengantarkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah sampaikan kepada umatnya, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari sahabat Abdullah bin Amer -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ, وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kebaikan atas umatnya apa yang dia telah ketahui bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang dia ketahui bagi mereka." [HR.Muslim dalam Shohih-nya (1844)]
Suatu hal yang dimaklumi bersama, Nabi kita -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah Nabi yang paling utama, penutup para nabi dan yang paling sempurna penyampaiannya dan nasihatnya. Andaikata perayaan maulid ini termasuk agama yang diridhoi Allah, niscaya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- akan jelaskan kepada umatnya atau pernah melaksanakannya atau setidaknya para sahabat pernah melakukannya. Akan tetapi, tatkala hal tersebut tidak pernah sama sekali mereka lakukan, maka diketahuilah hal tersebut bukanlah dari Islam sedikit pun juga, bahkan ddia termasuk dari perkara-perkara baru yang telah diperingatkan bahayanya oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam dua hadits yang tersebut di atas. Hadits-hadits lain yang semakna dengannya telah datang (dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-), seperti sabda beliau dalam khutbah jum’at:
أََمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, sejelek-jeleknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat." [HR.Muslim Shohih-nya (867)]
Demikian fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah-, Anda boleh lihat dalam kitab Majmu’ Fatawa As-Syaikhbin Baz (1/183), dan Al-Bida’ wal Muhdatsat (hal 619-621).
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz juga ditanya, "Apa hukum menyampaikan nasihat atau ceramah pada hari maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-?
Syaikh bin Baaz menjawab, "Amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia, menjelaskan kepada mereka tentang agama mereka, dan memberikan nasihat kepada mereka dengan sesuatu yang boleh melembutkan hati mereka adalah perkara yang disyariatkan pada setiap waktu, kerana adanya perintah untuk perkara tersebut datang secara mutlak, tanpa ada pengkhususan waktu tertentu.
Allah -Ta’ala-berfirman,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS.Al-Maidah : 104).
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Serulah (manusdia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.An-Nahl :125).
Allah juga menjelaskan keadaan orang-orang munafik dan sikap para da’i (penyeru) di antara mereka,
"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri. Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Kerana itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang berbekas pada jiwa mereka." (QS. An-Nisa’: 61-63); dan ayat-ayat lain.
Jadi, Allah memerintahkan untuk berdakwah dan memberikan nasihat secara mutlak, tidak mengkhususkannya pada waktu tertentu. Sekalipun nasihat dan bimbingan ini semakin ddianjurkan ketika ada tuntutan kepadanya, seperti khutbah Jum’at dan hari Ied, kerana warid (datang)-nya hal tersebut dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .Demikdian pula ketika melihat suatu kemungkaran, ini berdasarkan sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
"Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." [HR.Muslim (49)]
Adapun pada hari maulid, maka di dalamnya tidak boleh ada suatu pengkhususan dengan suatu ibadah tertentu yang boleh mendekatkan diri kepada-Nya, adanya nasihat, bimbingan, pembacaan kisah maulid, kerana Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah mengkhususkan hal tersebut dengan perkara-perkara tersebut. Andaikan hal tersebut baik, niscaya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pantas untuk (melakukan) hal tersebut. Akan tetapi nyatanya beliau tidak pernah melakukannya. Menunjukkan bahawa adanya pengkhususan-pengkhususan tersebut dengan ceramah, pembacaan kisah maulid atau selainnya termasuk perkara-perkara bid’ah. Telah shahih dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahawa beldiau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]
Demikian pula halnya para sahabat, mereka tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah dan paling bersemangat untuk mengamalkannya". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (5591), dan Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa ma laa Ashla lahu (628-630)]
Jadi, maulid bukanlah sarana syar’i dalam beribadah dan mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi dia adalah ajaran baru yang disusupkan oleh para pelaku bid’ah dan kebatilan . Bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H.
Ulama’ bermadzhab Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, "Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357 – 567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-".
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 79 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/?p=321
Nasihat bagi para Wanita..
Wahai saudariku muslimah………
1) Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta'ala berfirman:
” لا خير في كثير من نجواهم إلا من أمر بصدقة أو معروف أو إصلاح بين الناس ” (النساء: الآية 114).
Artinya:
"Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia ". (An nisa:114)
Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta'ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.
"عن اليمين وعن الشمال قعيد. ما يلفظ من قولٍ إلا لديه رقيب عتيد ” (ق: الآية 17-18)
Artinya:
"Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir" (Qaaf:17-18).
Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan.
1) Bacalah Al qur'an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti.
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما- عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” يقال لصاحب القرآن: اقرأ وارتق ورتّل كما كنت ترتّل في الدنيا فإن منزلتك عند آخر آية تقرؤها رواه أبو داود والترمذي
Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda:
dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.
HR.abu daud dan attirmidzi
2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” كفى بالمرء كذباً أن يتحدّث بكل ما سمع “
Dari Abu hurairah radiallahu 'anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan."
(HR.Muslim dan Abu Dawud)
3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia.
عن عائشة – رضي الله عنها- أن امرأة قالت: يا رسول الله، أقول إن زوجي أعطاني ما لم يعطني؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” المتشبّع بما لم يُعط كلابس ثوبي زور “.
Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah, aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan." (muttafaq alaihi)
4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta'ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta'ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:
” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم… ” (آل عمران: الآية 191).
Artinya:
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…" (Ali imran:191).
5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda:
” وإن أبغضكم إليّ وأبعدكم مني مجلساً يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون “.
"sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta'ajjub terhadap ucapannya."
(HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa'labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)
6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:
” من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت “.
" Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam."
(muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)
8) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi'ar kepribadianmu.
9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara.Alah Ta'ala berfirman:
” يا أيها الذين آمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيراً منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيراً منهن ” (الحجرات: الآية 11).
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik."
(QS.Al-Hujurat:11)
10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur'an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya:
: ” وإذا قرىء القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون ” (الأعراف: الآية 204).
Artinya: "dan apabila dibacakan Alqur'an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat". Qs.al a'raf :204
11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu'adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
” ثكلتك أمك يا معاذ. وهل يكبّ الناس في النار على وجوههم إلا حصائدُ ألسنتهم ” ( رواه الترمذي).
"engkau telah keliru wahai Mu'adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka."
(HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)
12- berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.
13- jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘azza wajalla berfirman:
” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم “. (آل عمران: الآية 191)
Artinya: "(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring" (QS..ali 'imran :191)
14- jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:
” سبحانك الله وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك “.
"maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu"
Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.
Ditulis oleh: Haya Bintu Mubarak Al-Buraik
Dari kitab: mausu'ah al-mar'ah al-muslimah: 31-34
Alih bahasa : Ummu Aiman
Sumber : http://www.salafybpp.com/
1) Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta'ala berfirman:
” لا خير في كثير من نجواهم إلا من أمر بصدقة أو معروف أو إصلاح بين الناس ” (النساء: الآية 114).
Artinya:
"Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia ". (An nisa:114)
Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta'ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.
"عن اليمين وعن الشمال قعيد. ما يلفظ من قولٍ إلا لديه رقيب عتيد ” (ق: الآية 17-18)
Artinya:
"Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir" (Qaaf:17-18).
Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan.
1) Bacalah Al qur'an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti.
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما- عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” يقال لصاحب القرآن: اقرأ وارتق ورتّل كما كنت ترتّل في الدنيا فإن منزلتك عند آخر آية تقرؤها رواه أبو داود والترمذي
Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda:
dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.
HR.abu daud dan attirmidzi
2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” كفى بالمرء كذباً أن يتحدّث بكل ما سمع “
Dari Abu hurairah radiallahu 'anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan."
(HR.Muslim dan Abu Dawud)
3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia.
عن عائشة – رضي الله عنها- أن امرأة قالت: يا رسول الله، أقول إن زوجي أعطاني ما لم يعطني؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” المتشبّع بما لم يُعط كلابس ثوبي زور “.
Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah, aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan." (muttafaq alaihi)
4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta'ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta'ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:
” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم… ” (آل عمران: الآية 191).
Artinya:
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…" (Ali imran:191).
5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda:
” وإن أبغضكم إليّ وأبعدكم مني مجلساً يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون “.
"sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta'ajjub terhadap ucapannya."
(HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa'labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)
6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:
” من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت “.
" Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam."
(muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)
8) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi'ar kepribadianmu.
9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara.Alah Ta'ala berfirman:
” يا أيها الذين آمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيراً منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيراً منهن ” (الحجرات: الآية 11).
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik."
(QS.Al-Hujurat:11)
10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur'an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya:
: ” وإذا قرىء القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون ” (الأعراف: الآية 204).
Artinya: "dan apabila dibacakan Alqur'an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat". Qs.al a'raf :204
11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu'adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
” ثكلتك أمك يا معاذ. وهل يكبّ الناس في النار على وجوههم إلا حصائدُ ألسنتهم ” ( رواه الترمذي).
"engkau telah keliru wahai Mu'adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka."
(HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)
12- berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.
13- jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘azza wajalla berfirman:
” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم “. (آل عمران: الآية 191)
Artinya: "(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring" (QS..ali 'imran :191)
14- jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:
” سبحانك الله وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك “.
"maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu"
Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.
Ditulis oleh: Haya Bintu Mubarak Al-Buraik
Dari kitab: mausu'ah al-mar'ah al-muslimah: 31-34
Alih bahasa : Ummu Aiman
Sumber : http://www.salafybpp.com/
Sunday, February 14, 2010
Penyakit saya..Takotsubo cardiomyopathy..
Assalamo'alaykum,mungkin ramai yang tidak mengetahui...saya sedang mengalami penderitaan penyakit 'Takotsubo cardiomyopathy'..satu penyakit yang sangat menderitakan saya...buat masa ini saya masih tidak mengambil sebarang ubat-ubatan...saya hanya banyak mendekatkan diri pada Allah SWT,namun harus saya akui,saya memerlukan ubat-ubatan kerana sangat susah untuk mengatasi apabila berhadapan dengan masyarakat.
Maka,post kali ini saya akan berkongsi dengan pembaca tentang penyakit saya ini...saya juga belum meneruskan sebarang terapi kerana saya hanya ingin menguatkan diri saya dengan al-Quran dan as-Sunnah...sememangnya...ini sahaja pilihan saya bagi menyembuhkan penyakit saya ini,selain itu,saya memerlukan sokongan daripada sahabat-sahabat saya..
Sememangnya,penyakit ini adalah berpunca kerana kehilangan orang yang kita sayangi secara berterusan..dan banyak lagi faktor-faktor luaran..
Dr. Stephen T. Sinatra adalah seorang doktor pakar jantung, terkenal dengan pengubatan penyakit jantung melalui keseimbangan gizi dan energi. Dia juga merupakan editor jurnal kedoktoran “Jantung, Kesehatan Dan Gizi”.
Di dalam bukunya Heartbreak & Heart Disease yang diterbitkan 1996, pernah membahas permasalahan pengaruh emosi terhadap jantung. Akhir-akhir ini, dalam karya tulis khususnya di situs www.bokee.com, dia menguraikan hasil pengamatannya selama bertahun-tahun mengenai penanganan penyakit jantung dengan topik “pernikahan dan kesihatan jantung”.
Dr. Sinatra mengatakan, tekanan batin yang diakibatkan oleh emosi yang ditahan mulai dari patah hati, terlalu sedih, sampai dengan rasa bermusuhan dan amarah, dapat mengakibatkan tersumbatnya aorta jantung Anda, efeknya mirip dengan oksidasi kolesterol, keracunan logam, insulin, radiasi dan darah yang mengental dan lengket. Menurutnya, banyak penelitian yang sudah membuktikan hubungan tubuh dan hati.
Dr. Sinatra menyatakan, tekanan batin adalah mematikan. Kadang-kadang penyakit jantung dapat membuat manusia mengerti sampai sebesar apakah daya bunuh tekanan batin. Meskipun sebahagian orang sudah mengerti tetap juga selamanya tidak dapat merubah keadaan yang ada.
Dia mengatakan, “Para pesakit pernah mengutarakan keluhan kepada kami, tekanan batin yang berasal dari kehidupan, mungkin kerana pekerjaan, ataupun pernikahan, benar-benar sangat melukai mereka. Semua nasihat, ubat-ubatan dan suplemen gizi tidak ada yang mampu mengatasi kerosakan yang diakibatkan oleh tekanan batin.”
Sebaliknya, perasaan yang puas akan sebuah pernikahan yang harmonis, pekerjaan yang menggembirakan cukup untuk memelihara jantung. Dikatakannya pula, penelitian terkait dan pengamatannya dalam praktis klinikal semuanya menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
Kesepian mendatangkan risiko serangan jantung.
Pasangan nikah lebih jarang mendapatkan serangan jantung daripada yang hidup sendiri, namun pernikahan yang tidak harmonis memiliki daya rosak yang besar bagi jantung.
Survei terhadap kelompok usia delapan-sembilan puluh tahun menunjukkan, usia panjang sangat erat berhubungan dengan kesihatan pernikahan.Sebuah penelitian yang luar biasa dilakukan pada 2006 telah menarik perhatian banyak orang, dia mengungkap hubungan apa saja yang ada antara pernikahan dan kesihatan jantung.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Tim Smith, seorang ahli psikologi dari Utah State University. Smith telah merekrut 150 pasangan yang sihat, kebanyakan berusia di atas 60 tahun, tidak seorang pun dari mereka yang memiliki sejarah terserang penyakit jantung.
Setiap pasangan disurvei dan direkam gambarnya oleh psikolog peneliti. Topik pembicaraan dalam survei dipilih sendiri oleh pasangan yang bersangkutan, meliputi kewangan, hubungan keluarga, anak,percutiaan dan urusan rumah tangga yang menimbulkan perselisihan. Pasangan suami isteri berhadapan untuk mendiskusikan topik yang dipermasalahkan di depan kamera.
Anggota peneliti menilai pandangan pasangan-pasangan tersebut, mulai dari sifat yang bersahabat sampai ke permusuhan, menurut sampai ke penguasaan cinta.Tutur kata dan perilaku pada saat diskusi, merupakan miniatur pola kehidupan mereka dalam jangka panjang, dapat mencerminkan keadaan mereka yang sebenarnya.
Setelah dua hari melakukan komunikasi seperti ini, seluruh peserta harus menerima pemeriksaan CT Scan khusus pada rongga dada. Berdasarkan hasil scanning, doktor akan menetapkan kadar pengapuran pembuluh nadi tajuk jantung, hal ini dapat dipakai sebagai ukuran kondisi endapan thrombosit pada arteri jantung.
Sekalipun hasil scanning belum ada yang menunjukkan bahwa pengerasan pembuluh nadi tajuk jantung sudah sedemikian buruknya sehingga harus segera dirawat di bagian gawat darurat, namun ada sebahagian yang keadaannya kurang baik, terdapat risiko masalah pada pembuluh nadi tajuk jantung.
Sumber:http://jantungprima.blogspot.com
PATAH hati atau kecewa, boleh disembuhkan, inikah penemuan baru? Para penyelidik di AS telah meneliti 70 pesakit menderita 'sindrom patah hati', penyakit yang ada hubungan dengan stress atau peristiwa emosional. Semuanya berjaya disembuhkan, setelah sebahagian besarnya diberi aspirin atau ubat penyakit jantung, meski 20% dianggap sakit parah. “Keadaan ini mungkin disebabkan oleh peningkatan hormon stress” kata Peneliti Jurnal Kardiologi AS itu.
Sindrom ini secara mediknya disebut ‘Takotsubo cardiomyopathy’, pertama kali didefinisikan oleh peneliti Jepun di awal tahun 1990an. Meski gejala-gejalannya mirip dengan serangan jantung seperti sakit di dada dan nafas tersengal atau tersumbat, namun ianya hanya sementara dan boleh disembuhkan, jika diubati dengan cepat. Penelitian tersebut dijalankan di dua hospital di Providence, Rhode Island pada Julai 2004 dan April 2008.
Dilaporkan juga sekitar 67% pesakit itu mengalami tekanan secara fizik atau emosional, seperti berita buruk mengenai ahli keluarga, pertengkaran di rumah tangga, penyakit fizik yang parah atau kemalangan kendaraan, sebelum gejala-gejala itu muncul. Enam pesakit mendapat perawatan kejutan eletrik untuk menghidupkan kembali jantung dan tiga memiliki detak-detik jantung tidak normal yang memerlukan perawatan darurat. Dua pertiga pesakit, hampir semuanya wanita yang telah menopause mengalami tekanan secara fizik atau peristiwa emosional sebelum datang ke hospital dengan gejala seperti terkena serangan jantung.
Secara keseluruhan, majoriti pesakit mendapat pengubatan aspirin atau ubat penyakit jantung seperti beta blockers dan statins waktu di hospital. Meski seperlima dalam keadaan sakit parah dan memerlukan perawatan darurat agar dapat diselamatkan jiwa mereka, seluruh pesakit tetap hidup dalam 48 jam pertama dan kemudian sembuh total. Para peneliti ini juga menemui di mana, tidak seperti serangan jantung yang cenderung terjadi di musim sejuk, tetapi sindrom ini cenderung terjadi di musim semi dan musim panas.
Dr Richard Regnante dari hospital Miriam ketua penelitian ini mengatakan, pola musim ini dapat membantu untuk mengetahui penyakit. “Sebagian pihak memandang hal itu merupakan satu bentuk serangan jantung yang 'berhenti' dengan sendirinya, sehigga tidak merosak otot jantung secara permanen.. Pihak lain mengatakan sindrom ini tidak ada hubungan dengan arteri jantung dan hanya merupakan masalah dengan otot jantung. Kerana ‘pola musim’ sindrom patah hati yang kami pelajari, berbeda dengan pesakit serangan jantung. Penelitian ini mengisyaratkan, walaupun bukan bukti, namun teori belakangan ini agak benar."
Sementara itu, otak orang-orang agama terbukti lebih tenang bila menghadapi situasi yang tidak pasti dan memiliki tingkat stress yang lebih rendah sewaktu mengalami apa-apa kesalahan berbanding orang yang tidak mempercayai agama. Ini kesimpulan sebuah studi di Kanada yang mempelajari hubungan antara penganut agama dari berbagai latar belakang agama, termasuk umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha dengan aktivis otak.
"Orang-orang agama atau mereka yang percaya pada Tuhan terbukti memiliki tingkat stress atau kecemasan yang lebih rendah setelah melakukan kesalahan," ujar Michael Inzlicht, profesor psikologi University of Toronto.
Peserta diminta untuk mengisi kuesioner agama tentang keyakinan mereka terhadap Tuhan dan tingkat keimanan mereka. Lalu, mereka diminta untuk mengerjakan tugas Stroop, sebuah test psikologi yang mengukur waktu reaksi selama menjalankan berbagai tugas seperti mengenali warna dengan cepat. Pada tubuh setiap responden dipasang elektrod yang mengukur aktiviti di wilayah otak yang disebut ‘anterior cingulate cortex’ (ACC). ACC berfungsi untuk mengendalikan emosi dan membantu orang untuk memodifikasi perilaku masa mengalami sebuah kejadian yang memicu kecemasan seperti semasa membuat kesalahan.
“Bahagian ini akan terganggu saat anda melakukan kesalahan atau dihadapkan pada situasi dimana anda tidak tahu apa yang perlu dibuat." jelas Prof Michael Inzlicht lagi.
Maka penelitian ini menunjukkan aktiviti ACC pada orang agama lebih rendah bila dibandingkan kepada mereka yang tidak percaya pada Tuhan. Ini menunjukkan mereka tidak terlalu cemas semasa melakukan kesalahan selama ujian. Semakin kuat tingkat keimanan dan keyakinan pada Tuhan, maka semakin rendah aktiviti ACC sebagai respons atas kesalahan yang mereka lakukan sendiri.
Ini menunjukkan adanya korelasi antara keyakinan agama dan aktiviti otak. Namun begitu, ahli-ahli penyelidik itu, masih belum mengetahui alasan yang tepat, sekalipun mereka menyangka bahawa orang-orang agama memiliki tujuan yang lebih besar berbanding diri mereka sendiri khususnya hidup setelah mati.
Jadi pil penawar patah hati dan stress sebenarnya bukan sahaja aspirin atau ubat penyakit jantung seperti beta blockers dan statins waktu di hospital, tetapi juga terlatak sejauh mana keyakinan dan perlaksanaan ‘kepercayaan kepada Tuhan’.
Sumber: http://www.ibnuhasyim.com/2009/04/penemuan-penawar-patah-hati-inikah.html
Takotsubo cardiomyopathy
From Wikipedia, the free encyclopedia
Takotsubo cardiomyopathy, also known as transient apical ballooning syndrome,[1] apical ballooning cardiomyopathy,[2] stress-induced cardiomyopathy, broken-heart-syndrome, and simply stress cardiomyopathy, is a type of non-ischemic cardiomyopathy in which there is a sudden temporary weakening of the myocardium (the muscle of the heart). Because this weakening can be triggered by emotional stress, such as the death of a loved one, the condition is also known as broken heart syndrome.[3] It has also been reported in cases of partial drowning. The presence of a trigger such as emotional or physical has been reported in 33% to 100% of the cases.[1][4]
The typical presentation of someone with takotsubo cardiomyopathy is a sudden onset of congestive heart failure or chest pain associated with EKG changes suggestive of an anterior wall myocardial infarction. During the course of evaluation of the patient, a bulging out of the left ventricular apex with a hypercontractile base of the left ventricle is often noted. It is the hallmark bulging out of the apex of the heart with preserved function of the base that earned the syndrome its name "tako tsubo", or octopus trap in Japan, where it was first described.[5]
The cause appears to involve high circulating levels of catecholamines (mainly adrenaline/epinephrine). Evaluation of individuals with takotsubo cardiomyopathy typically include a coronary angiogram, which will not reveal any significant blockages that would cause the left ventricular dysfunction. Provided that the individual survives their initial presentation, the left ventricular function improves within 2 months. Takotsubo cardiomyopathy is more commonly seen in post-menopausal women.[6] Often there is a history of a recent severe emotional or physical stress.[6]
Etiology
The etiology of takotsubo cardiomyopathy is not fully understood, but several mechanisms have been proposed.
1. Wraparound LAD: The left anterior descending artery (LAD) supplies the anterior wall of the left ventricle in the majority of patients. If this artery also wraps around the apex of the heart, it may be responsible for blood supply to the apex and the inferior wall of the heart. Some researchers have noted a correlation between takotsubo and this type of LAD.[7] Other researchers have shown that this anatomical variant is not common enough to explain takotsubo cardiomyopathy.[8] This theory would also not explain documented variants where the midventricular walls or base of the heart does not contract (akinesis).
2. Transient Vasospasm: Some of the original researchers of takotsubo suggested that multiple simultaneous spasms of coronary arteries could cause enough loss of blood flow to cause transient stunning of the myocardium.[9] Other researchers have shown that vasospasm is much less common than initially thought.[10][11][12] It has also been noted that when there are vasospasms, even in multiple arteries, that they do not correlate with the areas of myocardium that are not contracting [13].
3. Microvascular Dysfunction: The theory gaining the most traction is that there is dysfunction of the coronary arteries at the level where they are no longer visible by coronary angiography. This could include microvascular vasospasm, however it may well also have some similarities to the diseases such as diabetes mellitus. In such disease conditions the microvascular arteries fail to provide adequate oxygen to the myocardium.
It is likely that there are multiple factors at play which could include some amount of vasospasm, failure of the microvasculature, and an abnormal response to catecholamines (such as epinephrine and norepinephrine, released in response to stress).[14] Case series looking at large groups of patients report that some patients develop takotsubo cardiomyopathy after an emotional stress or, while others have a preceding clinical stressor (such as an asthma attack or sudden illness).
Roughly one third of patients have no preceding stressful event.[15] A recent large case series from Europe found that takotsubo was slightly more frequent during the winter season. This may be related to two different possible/suspected pathophysiological causes: coronary spasms of microvessels, which are more prevalent in cold weather, and viral infections – such as Parvovirus B19 – which occur more frequently during the winter season. [1]
Diagnosis
Transient apical ballooning syndrome or takotsubo cardiomyopathy is found in 1.7–2.2% of patients presenting with acute coronary syndrome.[1] While the original case reports reported on individuals in Japan, takotsubo cardiomyopathy has been noted more recently in the United States and Western Europe. It is likely that the syndrome went previously undiagnosed before it was described in detail in the Japanese literature.
The diagnosis of takotsubo cardiomyopathy may be difficult upon presentation. The EKG findings are often confused with those found during an acute anterior wall myocardial infarction.[6][16] It classically mimics ST-segment elevation myocardial infarction, and is characterised by acute onset of transient ventricular apical wall motion abnormalities (ballooning) accompanied by chest pain, dyspnoea, ST-segment elevation, T-wave inversion or QT-interval prolongation on EKG. Elevation of myocardial enzymes is moderate at worst and there is absence of significant coronary artery disease. [1]
The diagnosis is made by the pathognomic wall motion abnormalities, in which the base of the left ventricle is contracting normally or are hyperkinetic while the remainder of the left ventricle is akinetic or dyskinetic. This is accompanied by the lack of significant coronary artery disease that would explain the wall motion abnormalities. Although, apical ballooning has been classically described as the angiographic manifestation of takotsubo, it has been shown that left ventricular dysfunction in this syndrome includes not only the classic apical ballooning, but also different angiographic morphologies such as mid-ventricular ballooning and rarely local ballooning of other segments.
The ballooning patterns were classified by Shimizu et al. as takotsubo type for apical akinesia and basal hyperkinesia, reverse takotsubo for basal akinesia and apical hyperkinesia, mid-ventricular type for mid-ventricular ballooning accompanied by basal and apical hyperkinesia and localised type for any other segmental left ventricular ballooning with clinical characteristics of takotsubo-like left ventricular dysfunction.
Histology
Focal myocytolysis is reported as an origin of this cardiomyopathy. No microbiological agent has been associated so far with takotsubo cardiomyopathy. Kloner et al. reported that a pathologic change in the myocardium was not demonstrated in the stunned myocardium. Infiltration of small mononuclear cells has been documented in some cases; these pathologic findings suggest that this cardiomyopathy is a kind of inflammatory heart disease, but not a coronary heart disease. There is also a report describing histologic myocardial damage without coronary heart disease.
Treatment
The treatment of takotsubo cardiomyopathy is generally supportive in nature. In individuals with hypotension, support with inotropic agents or an intra-aortic balloon pump have been used. In many individuals, left ventricular function normalizes within 2 months.Aspirin and other heart drugs also appear to help in the treatment of this disease, even in extreme cases.
Prognosis
Despite the grave initial presentation in some of the patients, most of the patients survive the initial acute event, with a very low rate of in-hospital mortality or complications. The patients are expecting a favorable outcome once recovering from the acute stage of the syndrome, and the long-term prognosis is excellent.Even when ventricular systolic function is heavily compromised at presentation, it typically improves within the first few days and normalises within the first few months.Although infrequent, recurrence of the syndrome has been reported and seems to be associated with the nature of the trigger.
Statistical analysis
The increased awareness of this syndrome led life insurers to analyse mortality rates in general. In a March 2008 study, Jaap Spreeuw and Xu Wang of the Cass Business School observed that in the year following a loved one’s death, women were more than twice as likely to die than normal, and men more than six times as likely.
The broken heart syndrome also led financial analyst David X. Li to develop the Gaussian copula models for the pricing of collateralized debt obligations where at times seemingly unrelated entities become subject to sympathetic financial defaults based on common (but at times not obvious) links.
In popular culture
In an episode of E.R., The Heart of the Matter, a woman suffers a heart attack as a result of stress cardiomyopathy after learning of her husband's death.
Post-Rock band Maybeshewill have a song called "Takotsubo" on their album Not For Want Of Trying.
In Season 6 of Entourage, Johnny Chase, a.k.a. Drama, is diagnosed with takotsubo cardiomyopathy after a meltdown during an audition for Melrose Place.
On English death certificates, doctors would write "broken heart" as the cause of death if they died inexplicably following the death of a spouse.
In an episode of Grey's Anatomy Dr. Isabell Stevens diagnoses a patient with stress cardiomyopathy. The woman had been suffering from the illness for 7 years, triggered after her affair with her neighbor who suddenly passed away, she claimed he was her "soulmate."
In an episode of Scrubs a woman whose husband died suffered from a similar condition.
In House MD, episode 11 of season 3, a patient is diagnosed with Broken Heart Syndrome. The cause was his love for his brother's fiancee. The patient chose the treatment of electric currents through his brain to remove part of his memory.
Subscribe to:
Posts (Atom)