Kaidah Penerapan Sunnah Penulis:
Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed
Memang orang yang memulai menghidupkan suatu sunnah pada masa umat meninggalkannya akan mendapatkan risiko yang berat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat di atas.
Orang yang mengerjakannya seperti orang yang memegang bara api. Jika dipegang tangan terbakar, namum jika dilepaskan kita akan tersesat jauh dari jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Namun risiko itu sesuai dengan pahalanya yang besar, yaitu lima puluh kali para sahabat.Di samping itu, agama ini memang bermula dengan keasingan dan pada saatnya akan kembali asing seperti permulaannya.
Jika dengan alasan masih asing, kemudian kita meninggalkan sunnah maka akan lenyaplah Islam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengkhabarkan akan asingnya agama ini pada mulanya dan akan kembali menjadi asing pada saatnya.
Namun beliau juga sekaligus memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang terasing karena menjalankan agama ini.
Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing seperti permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing. (HR. Muslim)
Untuk itu janganlah perasaan asing, malu, takut, dan lain-lain menjadikan kita meninggalkan sunnah. Kita harus ingat bahwa sunnah adalah Islam, dan Islam tidak lain melainkan kumpulan sunnah-sunnah.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Barbahari dalam bukunya, Syarhus Sunnah: “Islam adalah
sunnah dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya”.
Jika berkurang satu sunnah maka berkuranglah kesempurnaan Islam, begitulah seterusnya hingga akan hilanglah Islam secara keseluruhan. Berkata Abdullah Ibnu Dailami: ”Sesungguhnya awal pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya sunnah.
Agama ini akan hilang satu sunnah demi satu sunnah seperti hilangnya tali satu kekuatan demi kekuatan”. (Ushul I’tiqad Ahlussunnah, Al Lalikai 1/93).
Oleh karena itulah Ahlul bid’ah dikatakan oleh para ulama sebagai orang yang ikut andil dalam menghancurkan Islam. Karena dengan kebidahan yang mereka lakukan, maka ada sunnah yang tergeser.
Semakin banyak bid’ah dikerjakan, semakin banyak pula sunnah yang hilang, hingga hancurlah Islam.Berkata Al Auza’i dari Hassan bin Athiyyah: ”Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisalnya.
Kemudian tidak akan dikembalikan kepada mereka sampai hari kiamat”.Dan berkata Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu:
“Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka mengada-adakan satu kebid’ahan dan mematikan satu sunnah. Demikianlah hingga berkembanglah kebid’ahan dan matilah sunnah”. (al-Bida’ wa nahyu ‘anha,hal. 38-39; lihat Dlaruratul Ihtimam, hal. 85).
Sedangkan Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’nya menyatakan bahwa orang-orang yang mematikan sunnah itu ada dua jenis. Pertama orang-orang yang mengerjakan kebid’ahan-kebid’ahan dan yang kedua orang-orang yang tidak mau menghidupkan sunnah.
Ketahuilah bahwa di samping risiko yang akan dihadapi oleh orang yang memulai menghidupkan sunnah, ada pula maslahat bagi agama yang besar yaitu hidupnya sunnah. Adapun mafsadah atau risiko yang dihadapinya hanyalah bersifat pribadi.
Tentunya maslahat agama harus lebih diutamakan daripada maslahat pribadi. Dengarkanlah apa yang diucapkan oleh Imam asy-Syatibi berikut: “Aku ragu dan berulang kali menghitung antara menerapkan sunnah dengan konsekwensi menyelisihi kebiasaan manusia yang tentunya akan mendapatkan risiko seperti apa yang telah didapatkan oleh orang yang menyelisihi adat kebiasaan kaumnya; apalagi kalau mereka menganggap apa yang biasa mereka lakukan tidak lain adalah sunnah; namun di samping risiko yang berat itu ada pahala yang besar.
Atau aku memilih untuk mengikuti kebiasaan mereka dengan konsekuensi menyelisihi sunnah dan menyelisihi jalan salafus shalih hingga aku digolongkan termasuk orang-orang yang menyimpang –Naudzubillah min dzalika—
Namun karena aku mencocoki kebiasaan manusia akan dianggap sebagai orang yang bisa bermasyarakat dan tidak termasuk orang yang menyelisihi adat. Akhirnya aku berpendapat bahwa kebinasaan dalam mengikuti sunnah adalah keselamatan, dan bahwasanya manusia tidak akan bisa mencukupi aku dari Allah sedikitpun”.
(Dlaruratul Ihtimam, Syaikh, Abdus Salam bin Barjas hal. 88)
Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 20/Th. I tgl 13 Muharram 1425 H/5 Maret 2004 M
Sunnah Yang Hilang
Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani
Sesungguhnya menjaga sunnah yang telah diwariskan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemuliaan yang tiada tara disisi Allah Ta’ala. Akan tetapi untuk mewujudkannya membutuhkan pengorbanan yang sangat besar.
Terlebih lagi, jika dituntut untuk merealisasikannya dimasa akhir zaman. Yaitu pada masa dimana hawa nafsu terus diumbar, fatamorgana kesenangan dunia selalu diprioritaskan, sifat pelit telah menjadi panutan, dan setiap orang yang memiliki rasio merasa bangga dengan pikirannya.
Inilah waktu yang kebanyakan manusia tidak lagi menghiraukan ajaran sunnah. Kelangkaan mengamalkan sunnah sudah menjadi tradisi yang mengakar ditengah-tengah kehidupan manusia pada umumnya. Sedangkan berkomitmen dengan sunnah laksana menggenggam bara api.
Namun bukan berarti bahwa ajaran sunnah telah lenyap secara keseluruhan dari muka bumi ini. Pejuang sunnah akan tetap eksis sampai Allah mendatangkan hari kiamat, walaupun dalam jumlah yang minoritas.
Demikianlah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan yang pasti, sebagaimana dalam sabdanya,
“Senantiasa akan ada sekumpulan kecil dari umatku yang selalu tampak diatas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka siapa saja yang menyelisihi dan merendahkan mereka, sampai datang perintah dari Allah (hari kiamat), sementara mereka masih dalam kondisi yang demikian itu”. (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Sahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)
Mereka yang mau membangun kembali puing-puing sunnah yang sudah runtuh dan dilupakan adalah pihak yang sangat berbahagia. Allah telah menjanjikan pahala yang cukup besar sebagai ganjaran atas perjuangan mereka.
Keberuntungan ini tergambar dalam sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut,“Hendaklah kalian memerintah kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar, sampai kalian melihat sifat pelit sudah dipeturutkan, hawa nafsu sudah diikuti, dunia sudah diprioritaskan, dan setiap orang yang memiliki rasio sudah merasa bangga dengan pikirannya, maka hendaklah engkau menjaga dirimu sendiri dan tinggalkanlah urusan keumuman manusia.
Sesungguhnya dibelakang kalian terdapat hari-hari kesabaran. Saat itu kesabaran (diatas agama) laksana menggenggam bara api. Bagi yang mau mengamalkan (agama) diantara mereka (niscaya akan memperoleh) seperti pahala lima puluh orang yang beramal seperti amalnya”.Dalam sebuah riwayat: “Sang sahabat bertanya, wahai Rosulullah! Apakah (seperti) pahala lima puluh orang dari mereka? Beliau menjawab, (seperti) pahala lima puluh orang dari kalian”.
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya, Ibnu Majah, An Nasai, Ibnu Hibban, serta yang selainnya, dari sahabat Abu Tsa’labah Al Khusyani. Lihat “Al Qobidhuna ‘Alal Jamr” karya Salim Al Hilali, hal 11-dst)
No comments:
Post a Comment