TAREKAT SUFI NAQSYABANDIYAH
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada sebuah perkumpulan wanita dari Kuwait. Mereka menyebarkan dakwah sufi beraliran Naqsyabandiyah secara sembunyi-sembunyi, perkumpulan wanita tersebut berada dibawah naungan lembaga resmi.
Kami telah mempelajari kitab-kitab mereka, dan berdasarkan pengakuan mereka, yang pernah ikut perkumpulan wanita ini, tarekat ini memiliki pemahaman diantaranya :
[a]. Barangsiapa yang tidak mempunyai syaikh, maka yang menjadi syaikhnya adalah syetan.
[b]. Barangsiapa yang tidak bisa mengambil ahlak syaikh/gurunya, maka tidak akan bermanfaat baginya Kitab dan Sunnah.
[c]. Barangsiapa yang mengatakan pada syaikhnya, “Mengapa begitu ?” Maka, tak akan sukses selamanya.
Selain itu, mereka berdzikir (dengan tata cara sufi, tentunya) seraya membawa gambar syaikhnya. Mereka suka mencium tangan gurunya yang bergelar Al-Anisaa, dan berasal dari negeri Arab. Mereka menganggap akan mendapat berkah dengan meminum air sisa sang gurunya.
Mereka menulis do’a dengan do’a khusus yang dinukil dari buku Al-Lu’lu wa Al-Marjan Fi Taskhiri Muluki Al-Jann. Dan dalam lapangan pendidikan, perkumpulan ini membangun madarasah khusus untuk kalangan sendiri, mereka didik anak-anak berdasarkan ide-ide kelompoknya, bahkan ada di antaranya yang mengajar di sekolah-sekolah negeri umum, baik jenjang setingkat SMP maupun SMA. Sebagian mereka ada yang berpisah dengan suami dan meminta cerai lewat pengadilan, hal itu terjadi manakala sang suami menyuruh sang istri agar menjauh dari aliran yang sesat ini.
Pertanyaan yang kami ajukan :
[1]. Bagaimanakah menurut syariat tentang perkumpulan wanita tersebut ?.
[2]. Diperbolehkan mengawini mereka ?.
[3]. Bagaimana pula hukumnya dengan akad nikah yang telah berlangsung selama ini ?.
[4]. Sekarang, nasihat dan ancaman yang bagaimana yang pantas untuk mereka ?.
Mohon penjelasan.
Jawaban.
Tarekat sufi, salah satunya Naqsyabandiyah, adalah aliran sesat dan bid’ah, menyeleweng dari Kitab dan Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jauhilah oleh kalian perkara baru, karena sesuatu yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim]
Tarekat sufi tidak semata bid’ah. Bahkan, di dalamnya terdapat banyak kesesatan dan kesyirikan yang besar, hal ini dikarenakan mereka mengkultuskan syaikh/guru mereka dengan meminta berkah darinya, dan penyelewengan-penyelewengan lainnya bila dilihat dari Kitab dan Sunnah. Diantaranya, pernyataan-pernyataan kelompok sufi sebagaimana telah diungkap oleh penanya.
Semua itu adalah pernyataan yang batil dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sebab, yang patut diterima perkataannya secara mutlak adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. [Al-Hasyr : 7]
“Artinya : Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. [An-Najm : 3]
Adapun selain Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, walau bagaimana tinggi ilmunya, perkataannya tidak bisa diterima kecuali kalau sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah. Adapun yang berpendapat wajib metaati seseorang selain Rasul secara mutlak, hanya lantaran memandang “si dia/orang”nya, maka ia murtad (keluar dari Islam). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa ; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. [At-Taubah : 31]
Ulama menafsirkan ayat ini, bahwa makna kalimat “menjadikan para rahib sebagai tuhan” ialah bila mereka menta’ati dalam menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Hal ini diriwayatkan dalam hadits Adi bin Hatim.
Maka wajiblah berhati-hati terhadap aliran sufi, baik dia laki-laki atau perempuan, demikianlah pula terhadap mereka yang berperan dalam pengajaran dan pendidikan, yang masuk kedalam lembaga-lembaga. Hal ini agar tidak merusak aqidah kaum muslimin.
Lantas, diwajibkan pula kepada seorang suami untuk melarang orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya agar jangan masuk ke dalam lembaga-lembaga tersebut ataupun sekolah-sekolah yang mengajarkan ajaran sufi. Hal ini sebagai upaya memelihara aqidah serta keluarga dari perpecahan dan kebejatan para istri terhadap suaminya.
Barangsiapa yang merasa cukup dengan aliran sufi, maka ia lepas dari manhaj Ahlus Sunnah wa Jamaah, jika berkeyakinan bahwa syaikh sufi dapat memberikan berkah, atau dapat memberikan manfa’at dan madharat, menyembuhkan orang sakit, memberikan rezeki, menolak bahaya, atau berkeyakinan bahwa wajib menta’ati setiap yang dikatakan gurunya/syaikh, walaupun bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Barangsiapa berkeyakinan dengan semuanya itu, maka dia telah berbuat syirik terhadap Allah dengan kesyirikan yang besar, dia keluar dari Islam, dilarang berloyalitas padanya dan menikah dengannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman, ………. Dan janganlah kalian menikahkan (anak perempuan) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman ……..”. [Al-Baqarah : 221]
Wanita yang telah terpengaruh aliran sufi, akan tetapi belum sampai pada keyakinan yang telah kami sebutkan diatas, tetap tidak dianjurkan untuk menikahinya. Entah itu sebelum terjadi aqad ataupun setelahnya, kecuali bila setelah dinasehati dan bertaubat kepada Allah.
Yang kita nasehatkan adalah bertaubat kepada Allah, kembali kepada yang haq, meninggalkan aliaran yang batil ini dan berhati-hati terhadap orang-orang yang menyeru kepada kejelekan-kejelekan. Hendaknya berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, membaca buku-buku bermanfa’at yang berisi tentang aqidah yang shahih, mendengarkan pelajaran, muhadharah dan acara-acara yang berfaedah yang dilakukan oleh ulama yang berpegang dengan teguh pada manhaj yang benar.
Juga kita nasehatkan kepada para istri agar taat kepada suami mereka dan orang-orang yang bertanggung jawab dalam hal-hal yang ma’ruf.
Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
[Fatwa ini dikeluarkan tanggal 18 Jumadil Awal 1414H dengan No. Fatwa 16011, dan dimuat di majalah As-Sunnah Edisi 17/II/1416H-1996M. Diterjemahkan oleh Andi Muhammad Arief Mardzy]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1485&bagian=0
——————————————-
TAREKAT-TAREKAT SUFI
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Bufiuts Al-’Ilmiyah Wal lfta’
Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Bufiuts Al-’Ilmiyah Wal lfta’ ditanya : Apa yang dimaksud dengan problematika tasawuf dan apa kedudukannya dalam Islam, yakni; Tarekat Tijaniyah, Qadariyah dan Syi’ah, tarekat-tarekat itu berpusat di Nigeria. Misalnya, Tarekat Tijaniyah, dalam ajarannya ada yang disebut shalawat ba-kariyah, yaitu ucapan; (Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada pemimpin kami Muhammad sang pembuka segala yang tertutup.. dst hingga.. dengan sebenar-benarnya kedudukan dan kedudukannya adalah agung). Shalawat ini dianggap lebih besar dan lebih utama daripada shalawat Ibrahimiyah. Ini saya temukan dalam kitab mereka “Jawahirul Ma’ani” juz I halaman 136. Apakah ini benar?
Jawaban:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada RasulNya, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba ‘du,
Ada yang mengatakan bahwa kata as-sufiyah dinisbatkan kepada as-suffah karena keserupaan mereka dengan sekelompok sahabat yang fakir dan menempati suffah (beranda) masjid Nabawi. Tapi pengertian ini tidak benar, karena penisbatan kepada kata as-suffah menjadi suffiyyun dengan mentasydidkan huruf fa’ tanpa huruf wawu.
Ada juga yang mengatakan bahwa itu dinisbatkan kepada kata shafiwah (suci) karena kesucian hati dan perbuatan mereka. Ini juga salah, karena penisbatan kepada kata shafwah menjadi shafwiyyun. Lain dari itu, kaum sufi lebih banyak diliputi oleh bid’ah dan kerusakan aqidah. Ada juga yang mengatakan, bahwa itu dinisbatkan kepada kata ash-shauf [kain wool], karena merupakan lambang pakaian mereka. Pengertian ini lebih mendekati secara bahasa dan realita mereka. [1]
Hanya Allah lah yang kuasa member! petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Bufiuts Al-'Ilmiyah wal lfta', 2/182]
TAREKAT-TAREKAT SUFI DAN WIRID-WIRIDNYA
Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Bufiuts Al-’Ilmiyah Wal lfta’ ditanya : Bagaimana hukum tarekat-tarekat sufi dan wirid-wirid yang mereka susun dan mereka dengungkan sebelum shalat Shubuh dan setelah shalat Maghrib. Apa pula hukum orang yang mengaku bahwa ia melihat Nabi Saw dalam keadaan terjaga dengan mengu-capkan, ’semoga kesejahteraan diliimpahkan atasmu wahai matanya semua mata dan ruhnya semua ruh.’?
Jawaban:
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada RasulNya, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba ‘du,
Tarekat-tarekat dan wirid-wirid yang anda sebutkan itu adalah bid’ah, di antaranya adalah Tarekat Tijaniyah dan Kitaniyah. Dari wirid-wirid mereka itu tidak ada yang disyari’atkan kecuali yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih.
Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan ini, bahwa ada seseorang yang menganut faham Kitani lalu ia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan inderanya dalam keadaan jaga dan mengatakan, ’semoga kesejahteraan dilimpahkan atasmu wahai matanya semua mata .. dst.’ adalah suatu kebatilan yang tidak ada asalnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah terlihat oleh seseorang dalam keadaan terjaga (tidak dalam keadaan tidur) setelah beliau wafat, dan beliau tidak akan keluar dari kuburnya kecuali pada Hari Kiamat nanti, sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di Hari Kiamat. ” [Al-Mukminun: 15-16]
Dan sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat dan yang pertama kali dibukakan kuburnya†[2]
Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta', 2/184]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Ada bab tersendiri yang membahas tentang tijaniyah dan bid’ah-bid’ahnya. Sebaiknya merujuk fatwa Lajnah Da’imah mengenai hal ini.
[2]. Imam Muslim meriwayatkan seperti itu dalam Al-Fadha’il(2278).
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1437&bagian=0
———————————————————
TAREKAT TIJANIYAH
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Banyak orang di tengah-tengah kami yang menganut Tarekat Tijaniyah, sementara saya mendengar dalam acara Syaikh (nur ‘ala ad-darb) bahwa tarekat ini bid’ah, tidak boleh diikuti. Tapi keluarga saya mempunyai wirid dari Syaikh Ahmad At-Tijani yaitu shalawat fatih, mereka mengatakan bahwa shalawat fatih adalah shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa benar shalawat fatih adalah shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mereka juga mengatakan, bahwa orang yang membaca shalawat fatih lalu meninggalkannya, ia dianggap kafir. Kemudian mereka mengatakan, ‘Jika engkau tidak mampu melaksanakannya lalu meninggalkannya, maka tidak apa-apa. Tapi jika engkau mampu namun meninggalkannya maka dianggap kafir.’Lalu saya katakan kepada kedua orang tua saya bahwa hal ini tidak boleh dilakukan, namun mereka mengatakan, ‘Engkau wahaby dan tukang mencela.’ Kami mohon penjelasan.
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa Tarekat Tijaniyah adalah tarekat bid’ah. Kaum muslimin tidak boleh mengikuti tarekat-tarekat bid’ah, tidak Tarekat Tijaniyah, tidak pula yang lainnya, bahkan seharusnya berpegang teguh dengan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, karena Allah telah berfirman.
“Artinya : Katakanlah, ‘Jika. kamu (benar-benar) mentintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah meneasihi dan mengampuni dosa-dosamu’ .” [Ali Imran: 31]
Artinya, katakanlah kepada manusia wahai Muhammad, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’
Allah pun telah berfirman.
“Artinya : Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). ” [Al-A'raf : 3].
Dalam ayat lainnya disebutkan.
“Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. ” [Al-Hasyr : 7]
Dalam ayat lainnya lagi disebutkan.
“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain).” [Al-An'am : 153]
As-Subul (jalan-jalan yang lain) di sini maksudnya adalah jalan-jalan yang baru yang berupa perbuatan bid’ah, memperturutkan hawa nafsu, keraguan dan kecenderungan yang diharamkan. Adapun jalan yang ditunjukkan oleh sunnah RasulNya , itulah jalan yang harus diikuti.
Tarekat Tijaniyah, Syadziliyah, Qadariyah dan tarekat-tarekat lainnya yang diada-adakan oleh manusia, tidak boleh diikuti, kecuali yang sesuai dengan syari’at Allah. Yang sesuai itu boleh dilaksanakan karena sejalan dengan syari’at yang suci, bukan karena berasal dari tarekat si fulan atau lainnya, dan karena berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [Al-Ahzab : 21].
Dan firmanNya.
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100].
Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.”[1]
Dan sabda beliau.
“Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.”[2]
Serta sabda beliau dalam salah satu khutbah Jum’at.
“Artinya : Amma ba ‘du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Saw, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.”[3]
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna.
Shalawat fatih adalah shalawat kepada Nabi Saw sebagaimana , yang mereka klaimkan, hanya saja shighah lafazhnya tidak seperti yang diriwayatkan dari Nabi Saw, sebab dalam shalawat fatih itu mereka mengucapkan (Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada penghulu kami, Muhammad sang pembuka apa-apa yang tertutup, penutup apa-apa yang terdahulu dan pembela kebenaran dengan kebenaran). Lafazh ini tidak pernah menjadi jawaban mengenai cara bershalawat kepada beliau ketika ditanyakan oleh para sahabat. Adapun yang disyari’atkan bagi umat Islam adalah bershalawat kepada beliau dengan ungkapan yang telah disyari’atkan dan telah diajarkan kepada mereka tanpa harus mengada-adakan yang baru.
Di antaranya adalah sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Ka’b bin ‘Ajrah , bahwa para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat kepadamu?” beliau menjawab,
“Artinya : Ucapkanlah (Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah engkau limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahabaik. Dan limpahkanlah keber-kahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau limpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahabaik.)” [4]
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Ucapkanlah (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, para isterinya dan keturunannya sebagaimana telah Engkau limpahkan shalawat kepada keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad, para isterinya dan keturunannya, sebagaimana telah Engkau limpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahabaik.)”. [5]
Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, dari hadits Ibnu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Ucapkanlah (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau limpahkan shalawat kepada keluargaa Ibrahim. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau limpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahabaik di seluruh alam.)”[6]
Hadits-hadtis ini dan hadits-hadits lainnya yang semakna, telah menjelaskan tentang cara bershalawat kepada beliau yang beliau ridhai untuk umatnya dan telah beliau perintahkan. Adapun shalawat fatih, walaupun secara global maknanya benar, tapi tidak boleh diikuti karena tidak sama dengan yang telah diriwayatkan secara benar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan cara bershalawat kepada beliau yang diperintahkan. Lain dari itu, bahwa kalimat (pembuka apa-apa yang tertutup) mengandung pengertian global yang bisa ditafsiri oleh sebagian pengikut hawa nafsu dengan pengertian yang tidak benar. Wallahu waliyut taufiq.
[Majalah Al-Buhuts, nomor 39, hal. 145-148, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Disepakati keshahihannya dari hadits Aisyah Ra, : Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir bin Abdullah RA dalam Al-Jumu’ah (867).
[4]. Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya’ (3369). Muslim dalam Ash-Shalah (407).
[5]. Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya’ (3369). Muslim dalam Ash-Shalah (407).
[6]. HR. Muslim dalam Ash-Shalah (407).
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1404&bagian=
No comments:
Post a Comment