“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Wahai Rabb Kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman (berada) dalam hati kami. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Diantara keutamaan-keutamaan iman yang itu merupakan buah dari keimanan seorang muslim dan akan nampak pada segi amalan lahiriyah-nya adalah mereka sangat bersemangat untuk bisa memberikan kemanfaatan kepada saudaranya sesama muslim, baik itu berbentuk pengajaran ilmu yang bermanfaat atau bantuan yang berupa materi atau paling minimal ia akan mendoakan kebaikan padanya.
Hanya saja hal ini timbul disebabkan adanya sisi kebersamaan didalam keimanan. Dan hal tersebut akan memberikan sebuah konsekuensi adanya suatu ikatan persaudaraan diantara sesama kaum mukminin. Dengan timbulnya suatu ikatan persaudaraan diantara kaum mukminin, pada akhirnya, akan membuahkan hasil yang menggembirakan berupa saling mencintai dan saling mendoakan dengan kebaikan diantara mereka.
Para pembaca yang kami hormati, marilah kita mencoba merenung sejenak untuk bisa menghayati makna-makna dan bisa mengambil beberapa faedah yang bisa dipetik dari cuplikan ayat diatas.
Makna dari:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ
adalah: Orang-orang yang datang setelah Muhajirin dan Anshar yaitu para tabi’in dan kaum muslimin setelahnya sampai hari kiamat.
Mereka mendoakan ampunan bagi saudara-saudara mereka yang telah mendahului mereka dalam keimanan, yaitu para shahabat (Muhajirin dan Anshar) Radhiallahu ‘anhum.
Dan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata dalam kitabnya, Taisirul Karimir Rahman, menafsirkan ayat tersebut, bahwa doa ini (ayat ini) mencakup segenap kaum mukminin yang terdahulu baik dari kalangan shahabat maupun kaum mukminin yang hidup sebelum masa shahabat, dan juga kaum mukminin yang datang setelah para shahabat.
Jadi doa mereka mencakup semua kaum mukminin. Mereka mendoakan bagi saudaranya sesama mukmin dengan kebaikan dalam keadaan saudaranya tersebut tidak hadir di hadapannya dan tanpa sepengetahuannya. Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dalam kitab-kitabnya dengan ( اَلدُّعَاءُ بِظَهْرِ الْغَيْبِ ).
Adalah suatu doa yang dilakukan tanpa kehadiran orang yang didoakan dan juga tanpa sepengetahuannya. Dan insya Allah akan datang penjelasannya melalui hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Perlu diketahui, bahwasanya amalan yang seperti ini merupakan bukti dan petunjuk yang kuat dan jelas akan kejujuran dan kesempurnaan keimanan seseorang. Sebab bagaimana tidak sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maka jika engkau mendoakan bagi saudaramu suatu kebaikan apapun tanpa sepengetahuannya bahwa engkau telah mendoakannya dan juga tanpa adanya wasiat dari dirinya untuk minta didoakan dengan sesuatu, maka hal itu merupakan suatu petunjuk akan kecintaanmu yang jujur kepada saudaramu tersebut. Ini juga berarti bahwa engkau benar-benar menginginkan suatu kebaikan ada pada diri saudaramu sebagaimana engkau menginginkan kebaikan itu ada pada dirimu sendiri.
Untuk itu kita juga meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dihilangkan dari diri kita penyakit-penyakit yang bisa menghalangi timbulnya sifat kecintaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan doa mereka dalam firman-Nya:
وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “
“…Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman (berada) dalam hati kami. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
-Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya, Al-Jami’ li Ahkamil- Qur`an, bahwa makna ( غِلاًّ ) adalah sifat dendam dan iri hati.
Disini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya bahwa dalam doa tersebut mereka memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dihilangkan dari hati-hati mereka sifat dendam dan iri hati, baik sedikit maupun banyak. Yang mana jika hilang dua sifat tercela tersebut, maka akan tertanam dalam hati itu sifat kebalikannya, yaitu adanya kecintaan sesama mukmin, loyalitas, saling menasehati, dan lain-lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ محمد: ١٩
“Dan memohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) kaum mukminin, baik yang laki-laki maupun perempuan.” (Muhammad: 19)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan nabi-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam agar beliau berdoa meminta ampun atas dosa-dosanya dan juga memintakan ampunan bagi saudara-saudaranya kaum mukminin, laki-laki dan perempuan.
Hal yang senada juga Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan dalam firman-Nya tentang doa nabi Ibrohim ‘Alaihis Salam:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ إبراهيم: ٤١
“Wahai Rabb kami, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan segenap orang-orang yang beriman pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (Ibrohim: 41)
Potongan dua ayat diatas kembali menunjukkan tentang mendoakan saudaranya dengan kebaikan tanpa sepengetahuan dan kehadiran saudaranya di hadapannya.
Kesimpulan dari ayat-ayat yang telah kita lewati itu bahwasanya mendoakan saudaranya dengan kebaikan tanpa sepengetahuannya merupakan petunjuk, jalan dan amalan yang telah diamalkan oleh para rasul عليهم الصلاة والسلام .
Keutamaan amalan ini
Para pembaca yang sekalian yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, setelah kita bisa memahami makna ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas dan juga mengambil faedah yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut, maka sekarang marilah kita melihat kepada petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dalam masalah ini.
Al-Imam Muslim meletakkan beberapa hadits dalam masalah ini dalam kitab Shohih-nya yang kemudian diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i: “Keutamaan doa untuk kaum muslimin dengan tanpa sepengetahuan dan kehadiran mereka.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits dari shahabiyah Ummud Darda`:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim kepada saudaranya secara rahasia dan tidak hadir di hadapannya adalah sangat dikabulkan. Di sisinya ada seorang malaikat yang ditunjuk oleh Allah. Setiap kali ia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut berkata (kepadanya): “Ya Allah, kabulkanlah, dan (semoga) bagimu juga (mendapatkan balasan) yang semisalnya.” (HR. Muslim)
Kisah selengkapnya dari hadits diatas adalah sebagai berikut: Seorang laki-laki datang ke negeri Syam, kemudian ia ingin bertemu dengan Abud Darda` Radhiallahu ‘anhu di rumahnya namun beliau tidak ada dan hanya mendapati Ummud Darda`. Ummud Darda` berkata, “Apakah kamu ingin pergi haji tahun ini?” Orang tersebut menjawab, “Ya.” Ummud Darda` mengatakan, “Doakanlah kami dengan kebaikan. Karena sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,” kemudian Ummud Darda` menyebutkan hadits diatas.
Al-Imam An-Nawawi رحه الله menjelaskan hadits diatas dalam kitabnya, Al-Minhaj, dengan mengatakan, “Makna بظهر الغيب adalah tanpa kehadiran orang yang didoakan di hadapannya dan tanpa sepengetahuannya. Amalan yang seperti ini benar-benar menunjukkan di dalam keikhlasannya.
“Dan dahulu sebagian para salaf jika menginginkan suatu doa bagi dirinya sendiri, maka iapun akan berdoa dengan doa tersebut bagi saudaranya sesama muslim dikarenakan amalan tersebut sangat dikabulkan dan ia akan mendapatkan balasan yang semisalnya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin menjelaskan, “Bahwasanya jika seseorang mendoakan saudaranya (sesama muslim) dengan tanpa sepengetahuan dan kehadiran saudaranya di hadapannya. Seorang malaikat berkata, ‘Amin (Ya Allah, kabulkanlah), dan bagimu juga (mendapatkan balasan) yang semisalnya.’ Maka malaikat akan mengaminkan atas doamu jika engkau mendoakan bagi saudaramu tanpa sepengetahuan dan kehadirannya.”
Syarat-syarat dikabulkannya doa
Pembaca yang semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kita semua, setelah kita mengetahui bahwa mendoakan orang lain tanpa kehadiran dan tanpa sepengetahuannya adalah salah satu faktor pendorong dikabulkannya sebuah doa. Namun ada perkara yang sangat penting untuk kita ketahui agar doa kita dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebut syarat-syarat dikabulkannya doa, yaitu:
Pertama: Ikhlash karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
Hendaknya seseorang yang berdoa mengikhlashkan di dalam doanya menengadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati yang khusyu’, bersandar hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena ia tahu bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mampu mengabulkan doanya, dan berharap penuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk terkabulnya doa tersebut.
Kedua: Merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ketika berdoa merasa dalam kondisi sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sesungguhnya hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bisa mengabulkan doa orang yang dalam kesulitan serta bisa menghilangkan musibah/kesusahan yang menimpanya.
Adapun orang yang berdoa dalam keadaan merasa tidak butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetapi ia berdoa sebagai kebiasaan saja, maka yang demikian tidak pantas untuk dikabulkan doanya.
Ketiga: Meninggalkan makanan yang haram
Hendaknya ia meninggalkan makan dari makanan yang haram, karena makan dari makanan yang haram akan menjadi penghalang dikabulkannya doa seseorang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah baik dan Ia tidaklah menerima kecuali yang baik. Dan sungguh Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman (kaum mukminin) dengan apa-apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai para rasul, makanlah dari sesuatu yang baik dan beramallah dengan amalan sholih.’ Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari sesuatu yang baik apa-apa yang telah kami rizkikan kepada kalian.’ Kemudian beliau menyebutkan, ada seorang laki-laki yang sedang berpergian jauh dalam keadaan rambutnya kusut masai dan berdebu, kemudian menengadahkan kedua tangannya ke atas (ke arah langit) dan berkata: ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku!’ sementara makanannya adalah haram, minumannya adalah haram, pakaiannya adalah haram, dan ia diberi makan dari hasil yang haram. Maka, bagaimana bisa dikabulkan doanya?” (HR. Muslim)
Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menganggap jauh akan terkabulnya doa orang tersebut. Padahal orang tersebut telah melakukan sebab-sebab zhahir (tampak) terkabulnya doa seperti:
1. Mengangkat telapak tangan ke arah langit (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), karena Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy.
2. Menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala “Ar Rabb” (الرَّبُّ). Ber-tawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama ini adalah salah satu sebab terkabulnya doa sebagaimana doa-doa dalam Al-Qur`an banyak dimulai dengan kata “Rabb”, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ البقرة: ٢٠١
“Dan diantara mereka ada yang mengatakan (berdoa), “Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari adzab An Nar (neraka).” (Al-Baqarah: 201)
Begitu pula dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (40) رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (41) إبراهيم: ٤٠ -٤١
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku orang yang mendirikan sholat dan anak keturunanku! Wahai Rabbku, kabulkanlah doaku! Wahai Rabb kami, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kaum muslimin pada hari ditegakkannya Al-Hisab (Hari Perhitungan).” (Ibrohim: 40-41)
3. Berdoa dalam keadaan safar, dan safar adalah salah satu sebab terkabulnya doa.
Akan tetapi doa orang tersebut tidak dikabulkan karena makanannya haram, pakaiannya haram, dan mendapatkan makanan dari hasil perkara yang haram.
Kemudian yang penting untuk diketahui juga ketika seorang hamba berdoa untuk tidak terburu-buru akan terkabulnya doanya, karena terburu-buru adalah salah satu sebab penghalang terkabulnya doa. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
يُسْتَجَابُ ِلأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ قِيلَ وَكَيْفَ يَعْجَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ اللَّهَ فَلَمْ يَسْتَجِبْ اللَّهُ لِي
“Dikabulkan bagi salah seorang diantara kalian (ketika berdoa) selagi tidak terburu-buru.” Para shahabat bertanya: “Bagaimana terburu-burunya (seseorang ketika berdoa), wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Ia berkata, “Saya telah berdoa akan tetapi Allah tidak mengabulkan untukku.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Kepada Saudaraku Kaum Muslimin
Menengok sejarah perjalanan waktu yang ada, sungguh kita patut merasa bersedih terhadap krisis yang menimpa saudara-saudara kita yang ada di berbagai belahan dunia. Mereka mengalami penindasan, pembantaian, pengrusakan, perampasan wilayah dan bentuk-bentuk kezhaliman yang lain. Mayoritas mereka dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Dan kita yang berada disini juga tidak memiliki kekuatan yang memadai, baik secara fisik maupun materi, yang dapat kita berikan sebagai bantuan kepada mereka selain dari doa yang kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kemenangan dan kesabaran bagi mereka, serta mendoakan kehancuran bagi musuh-musuh mereka.
Inilah realita yang harus bagi diri kita untuk bisa memetik hikmah dari peristiwa tersebut. Al-Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya, Al-Fawaid, mengatakan, “Bahwa keadaan seorang hamba, selamanya berputar diantara hukum-hukum yang berkaitan dengan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hukum-hukum yang berkaitan dengan turunnya musibah. Sehingga ia butuh, bahkan sangat membutuhkan sekali, kepada pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika ia melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ia sangat membutuhkan sekali kepada kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala turun kepadanya sebuah musibah. Sejauh mana kadar seorang hamba tersebut telah menegakkan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sejauh itu pulalah kadar kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan ia dapatkan ketika terjadi musibah yang menimpanya.
Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
وصلىالله على محمد وعلى آله والصحابة أجمعين والحمد لله رب العالمين
http://www.assalafy.org/mahad/?p=321
Isu Zikir Wahhabi:
Abaikan Saja, Kita Ikut Mazhab Syafi'e!
http://an-nawawi.blogspot.com
http://an-nawawi.blogspot.com
Baru-baru ini meledak satu isu berkaitan Fahaman Wahhabi di dada-dada akhbar ekoran penangkapan seorang bekas mufti Negeri Perlis oleh Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS) yang didakwa mendoktrinkan fahaman Wahhabinya kepada masyarakat. Namun, akhirnya dibebaskan tanpa sebarang pertuduhan.
Walaupun begitu, bukan itu isu yang mahu saya tangkap masuk ke dalam tulisan kali ini. Tetapi lebih kepada kenyataan oleh seorang tokoh lain rentetan dari isu Wahhabi tersebut.
Sebenarnya saya tertarik dengan kenyataan seorang Timbalan Menteri di Jabatan Perdana Menteri, Dato' Dr. Mashitah Ibrahim sebagaimana berikut dinukilkan dari riwayat Akhbak Berita Harian:
Beliau berkata, fahaman itu tidak sesuai kerana di Malaysia berpegang kepada Ahli Sunnah Wal Jamaah dan Wahabi boleh mewujudkan perselisihan sesama umat Islam.
Antara perbezaan pendapat yang menimbulkan perselisihan ialah tidak membaca qunut dalam solat subuh, membaca Yaasin pada malam Jumaat, membaca talkin, tidak berwirid selepas solat dan mengadakan tahlil.
Antara ajaran fahaman Wahabi ialah tidak mengamalkan bacaan doa qunut dan Yasiin selain tidak mengadakan tahlil dan tidak berzikir selepas solat seperti amalan Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Jari-jemari saya lebih teruja untuk menikam papan kekunci menoreh sekitar isu Wahhabi tidak berzikir (atau berwirid) setiap selepas solat (merujuk solat fardhu).
Sebagaimana yang disentuh oleh Dato' Dr. Mashitah di atas, pertamanya beliau menyentuh soal perselisihan di dalam agama dari kalangan umat Islam. Sebenarnya, dalam persoalan perbezaan pendapat di dalam agama, ia bukanlah suatu perkara yang asing. Malah ia sebenarnya telah lama disentuh oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin/orang-orang yang berilmu) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Surah an-Nisaa', 4: 59)
Apa yang menarik, selain Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan tentang perselisihan melalui ayat tersebut, Allah juga telah menyatakan solusinya apabila berlaku perbezaan pendapat di antara orang-orang yang beriman. Iaitulah dengan kembali merujuk al-Qur'an dan as-Sunnah.
Maka, apabila isu zikir ini timbul. Apa yang mahu saya tekankan adalah, pentingnya kita kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah.
Abaikan saja isu Wahhabi atau bukan Wahhabi.
Sebagai menghormati Mazhab Kebangsaan kita, Mazhab Syafi'e, berikut saya dahulukan pendapat Imam asy-Syafi'e sendiri berkenaan isu zikir selepas solat ini. Juga sebagai sebuah pengiktirafan bahawa beliau adalah salah seorang ulama besar dalam dunia ilmu yang wajar dijadikan sebagai contoh dan ikutan.
Imam asy-Syafi'e rahimahullah menjelaskan sebagaimana berikut:
وَأَخْتَارُ للامام وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللَّهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ من الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يَجِبُ أَنْ يُتَعَلَّمَ منه فَيَجْهَرَ حتى يَرَى أَنَّهُ قد تُعُلِّمَ منه ثُمَّ يُسِرُّ فإن اللَّهَ عز وجل يقول {وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِك وَلَا تُخَافِتْ بها} يعنى وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ الدُّعَاءَ وَلَا تَجْهَرْ تَرْفَعْ وَلَا تُخَافِتْ حتى لَا تُسْمِعَ نَفْسَك
Terjemahan: Aku berpendapat bahawa seseorang imam dan makmum hendaklah mereka berzikir kepada Allah di setiap kali selesai solat, dan hendaklah mereka merendahkan suara zikirnya, melainkan bagi seseorang imam yang mahu menunjuk-ajar para makmumnya berkenaan zikir, maka dia boleh mengeraskan suara/bacaan zikirnya, sehingga apabila dia telah mengetahui bahawa para makmum telah tahu, maka hendaklah dia kembali merendahkan suara zikirnya, kerana Allah 'Azza wa Jalla berfirman (maksudnya):
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam solatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Surah al-Israa', 17: 110)
Maksud kata الصلاة (ash-Sholah) wallahu Ta'ala a'lam adalah doa. لا تَجْهَرْ (Laa Tajhar): Janganlah engkau mengangkat suaramu, وَلا تُخَافِتْ (wa laa tukhofit): Janganlah engkau rendahkan sehingga engkau sendiri tidak mendengarnya. (Rujuk: Imam asy-Syafi'e, al-Umm, 1/127)
Perkara ini turut diperkuatkan lagi dengan penjelasan salah seorang ulama besar bermazhab Syafi'e iaitu Imam an-Nawawi rahimahullah:
قال اصحابنا إن الذكر والدعاء بعد الصلاة يستحب أن يسر بهما إلا أن يكون اماما يريد تعليم الناس فيجهر ليتعلموا فإذا تعلموا وكانوا عالمين أسره
Terjemahan: Para ulama dari mazhab Syafi'e (ash-haabunaa), berkata: Zikir dan doa setelah solat, disunnahkan supaya dilakukan dengan merendahkan suara, kecuali apabila dia seorang imam yang hendak membimbing (mengajar) orang lain (para makmum), maka dibolehkan untuk mengeraskan (menguatkan) suaranya, supaya mereka semua dapat belajar darinya, dan apabila diketahui bahawa mereka telah memahami serta sudah tahu (akan zikir-zikirnya), maka hendaklah dia kembali berzikir dengan merendahkan suara. (Rujuk: Imam an-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhazzab, 3/487)
Dari dua perkataan ulama besar ini, kita dapat melihat beberapa titik penting dalam persoalan zikir sebaik selesai solat fardhu:
1 – Mazhab asy-Syafi'e menyatakan bahawa amalan berzikir di setiap kali setelah selesai solat fardhu adalah sunnah (dianjurkan).
2 – Cara berzikir selepas solat adalah dilaksanakan dengan secara individu.
3 – Dilaksanakan dengan suara yang perlahan dan bukan dikuatkan, cukup sekadar diri sendiri yang mendengarnya.
4 – Boleh dikeraskan bacaan sekiranya bertujuan untuk mengajar dan memberi bimbingan kepada orang lain yang mahu memperlajarinya.
Demikianlah empat intipati utama yang dapat kita ambil dari perkataan Imam asy-Syafi'e dan Imam an-Nawawi di atas.
Jadi, jika benar kelompok Wahhabi meninggalkan atau menolak amalan berzikir selepas solat fardhu, maka kefahaman ini jelas bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Imam dari mazhab Syafi'e tadi.
Malah, berzikir setelah solat, ianya adalah bersandarkan kepada hadis-hadis yang sahih. Cukuplah saya bawakan salah satu contoh zikir yang tsabit dari sunnah yang dianjurkan untuk diamalkan. Dari sebuah hadis, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Terjemahan: Sesiapa yang di setiap kali selesai solatnya (solat fardhu), dia menyucikan Allah (berzikir Subhanallah) 33 kali, memuji Allah (mengucapkan al-hamdulillah) 33 kali, dan membesarkan Allah (mengucapkan Allahu Akhbar) 33 kali, yang semuanya menjadi 99 kali kemudian dicukupkan 100 kali dengan Laa ilaaha illallahu wahdahu la syarikalah... maka, Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya walaupun sebanyak buih di lautan. (Hadis Riwayat Muslim, Bab: Zikir-zikir yang dianjurkan sebaik selesai solat, 3/262, no. 939. Dari hadis Abi Hurairah radhiyallahu 'anhu. Rujuk zikir-zikir seterusnya: Klik Blog Fiqh)
Maka, dengan terang lagi bersuluh dengan bersandarkan kepada hadis Nabi dan perkataan dua ulama besar dari mazhab asy-Syafi'e bahawa berzikir setelah selesai solat fardhu itu hukumnya adalah dianjurkan (sunnah).
Jika benar Wahhabi menolak sunnah berzikir setelah solat fardhu ini (sebagaimana yang dinyatakan oleh Dato' Dr. Mashitah), bermakna mereka (kelompok Wahhabi) telah salah.
Namun, perlu kita fahami juga berkenaan dengan adab-adab di dalam berzikir. Ini sebagaimana yang dijelaskan oleh dua imam tadi iaitu:
1 – Cara berzikir selepas solat adalah dilaksanakan dengan secara individu (bukan secara berjama'ah/koir).
2 – Dilaksanakan dengan suara yang perlahan dan bukan dikuatkan, cukup sekadar diri sendiri yang mendengarnya. Apatah lagi dengan berlagu, maka itu jelas-jelas telah salah.
3 – Boleh dikeraskan bacaan sekiranya bertujuan untuk mengajar dan memberi bimbingan kepada orang lain yang mahu memperlajarinya.
Kesimpulan dari kenyataan Imam asy-Syafi'e dan Imam an-Nawawi ini diperkuatkan lagi dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menyentuh berkenaan adab-adab di dalam berzikir secara umumnya:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Terjemahan: Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Surah al-A'raaf, 7: 205)
Berkenaan ayat ini, seorang lagi ulama besar dalam bidang tafsir yang bermazhab Syafi'e menjelaskan:
وهكذا يستحب أن يكون الذكر لا يكون نداء ولا جهرًا بليغًا
Terjemahan: Demikianlah zikir dianjurkan, iaitu dengan suara yang tidak dikeraskan dan tidak dinyaringkan. (Rujuk: al-Hafiz Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'anil Adzim, 3/539)
Perkara ini menjadi lebih jelas apabila kita merujuk kepada sebuah hadis, di mana Sahabat bernama Abu Musa al-'Asy'ari menceritakan:
رفع الناس أصواتهم بالدعاء في بعض الأسفار، فقال لهم النبي صلى الله عليه وسلم: "أيها الناس، أربعوا على أنفسكم، فإنكم لا تدعون أصمَّ ولا غائبًا؛ إن الذي تدعونه سميع قريب
Terjemahan: Ketika itu, orang ramai mengeraskan (memperkuatkan) suaranya di dalam berdoa di ketika melakukan safar (perjalanan), maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pun berkata (membantah perbuatan mereka yang mengeraskan suara dalam berdoa):
Wahai manusia, kasihanilah diri kamu. Kerana kamu sebenarnya tidak menyeru kepada yang tuli (pekak) dan yang jauh, sesungguhnya Dzat yang kamu seru adalah Maha Mendengar lagi sangat dekat. (Rujuk: al-Hafiz Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'anil Adzim, 3/539)
Jika ini dapat kita fahami, jelaslah bahawa rata-rata masyarakat negara kita yang mengaku bermazhab Syafi'e sebenarnya telah membelakangkan perkataan Imam-imam besar mereka. Khususnya dalam persoalan berzikir selepas solat yang saya sentuh ini.
No comments:
Post a Comment